Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

“Islam Terus ‘Diserang’, Dakwah Tak Boleh Dibungkam”


Oleh : Wahyu Titis Lestariningrum, S.Si.,Apt
(Aktivis MHTI Cilacap)

Ironi negeri Muslim

Di negeri muslim terbesar ini, meski mayoritas penduduknya adalah muslim, namun umat Islam di Indonesia harus menghadapi kenyataan pahit, selalu ditekan untuk tidak menampakan keislaman mereka dalam ranah public maupun politik. Bahkan untuk mengekspresikan sebuah kriteria kepemimpinan yang benar menurut agama mereka pun dituding melanggar SARA (suku, agama, ras dan antargolongan). 

Tekanan terhadap Islam dan kaum muslimin tidak hanya terjadi belakangan ini. Masih ingat kasus dibuangnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta?, Sejak awal kemerdekaan hingga saat ini tekanan dan penistaan terhadap agama dan Al Qur’an terus berlanjut, tak hanya larangan dalam urusan Negara, urusan individu pun mendapat tekanan yang luar biasa. Kaum perempuan tak bisa mengenakan pakaian muslimah secara syar’i. Mengenakan jilbab (sejenis pakaian gamis panjang ) dan khimar (kerudung) dalam aktivitas resmi masih sulit. Kita ingat tahun 1980-an siswi yang mengenakan kerudung dikeluarkan dari sekolah.

Padahal hal serupa tidak pernah disasarkan kepada orang-orang non-muslim. Ketika kaum Hindu di Bali menginginkan pemimpin mereka harus beragama Hindu, tak dicap SARA. Demikian pula saat di Papua ada keharusan bahwa kepala daerah Papua haruslah orang Papua asli-dan tentu Kristen-, para penyerang Islam itu pun diam seribu bahasa. 

Tak heran, isu SARA ini sengaja untuk menyerang Islam. “sementara giliran kita bicara pemimpin harus muslim, lalu muncul tudingan SARA. Jadi jelaslah isu SARA adalah alat yang digunakan, sejak dulu untuk menyerang Islam dan kaum muslimin.

Perspektif UU

Direktur Pusat Kajian dan Bantuan Hukum (PKBH) Chandra Purna Irawan, menjelaskan, kaum Muslim dijamin oleh konstitusi Negara untuk melaksanakan ajaran agamanya. Ini tertuang dalam Pasal 28E ayat (1), ayat (2) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. “Berdasarkan ketentuan hukum tersebut, tentu kaum Muslimin berhak menjalankan agamanya termasuk dalam memilih pemimpin,’tulisnya dalam sebuah artikel berjudul : Kata ‘Kafir’ Bukan Delik Pidana.

Menurutnya jika kata “Kafir” dimasukkan sebagai delik pidana SARA, ini sangat menyakiti kaum Muslimin. “sama saja menuduh bahwa Allah SWT sebagai pembuat kejahatan dan Muslim sebagai penebar kejahatan, kebencian atau terror,” jelas Chandra.

Ia menilai tudingan SARA kepada kaum Muslim ini sangat berbahaya. Dikhawatirkan ini bisa menyebabkan kemarahan rakyat secara semesta. Makanya ia mengingatkan penguasa dan penegak hukum jangan “menepuk air di dulang terpecik muka sendiri”.

Kalimat : “ Haram Pemimpin Kafir” menurutnya, sama sekali tidak mengandung unsur kebencian atau sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.

Dakwah Tidak Boleh Dibungkam

Dalam pandangan Islam, mempertentangkan suku, ras dan antargolongan tidak boleh, karena manusia memang diciptakan Allah bersuku-suku dan berbangsa-bangsa  untuk saling mengenal, bukan untuk saling bertentangan.

Demikian pula ras manusia ada beraneka ragam.Tidak ada kelebihan antara satu ras dengan ras lainnya dalam pandangan Islam. Maka, tidak boleh ada pertentangan antar ras ini. Hal yang sama terjadi antargolongan di masyarakat semisal ada golongan kaya, golongan miskin, berpendidikan, pribumi dan lainnya. Semuanya sama posisinya di hadapan Allah SWT. Yang membedakan hanyalah taqwa mereka.

Sangat berbeda dalam soal agama. Islam memiliki pandangan yang khas. Ajaran Islam tidak mengakui kebenaranagama lain. Meski demikian, Islam tetap menghormati keberadaan agama tersebut di tengah masyarakat termasuk terhadap pemeluk-pemeluknya. Sehingga dakwah menyampaikan isi al-Qur’an harus terus berjalan dan tidak boleh mengikuti kondisi dengan jalan merubah makna.

Akar Masalah

Munculnya calon pemimpin kafir di tengah mayoritas Muslim adalah dampak dari penerapan prinsip sekulerisme dalam bernegara. Sekulerisme sendiri bermakna memisahkan urusan dunia dari agama. Agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan. Sedangkan hubungan sesame manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan social. Jadi sekulerisme adalah cara memandang kehidupan tanpa agama.

Secara dalil, Islam dengan tegas melarang sekulerisme, Allah berfirman: “Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al-kitab (Taurat)dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat” (TQS. Al Baqarah : 85).

Juga sabda Nabi SAW: “Barang siapa yang meniru-niru suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka” (HR. Abu Dawud). Juga sabdanya : “Sesungguhnya kalian akan mengikuti tuntunan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga ketika mereka masuk dalam lubang biawak sekalipun, kalian akan mengikuti. Kami bertanya: “Apakah mereka itu orang Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab :” Lalu siapa (kalau bukan mereka)”. (HR.Bukhari)

Saat ini, paham sekulerisme dimanfaatkan oleh orang-orang kafir untuk memanfaatkan kaum Muslim. Mereka yang minoritas bias berkuasa dengan berlindung di balik paham ini. Mereka pun bias dengan leluasa membuang aturan yang berbau agama dalam aturan Negara.

Padaha Islam memiliki ajaran yang komprehensif dan lengkap bagi manusia. Tidak ada aktivitas manusia yang tidak diatur oleh ajaran Islam. Hal yang kecil seperti buang air saja, Islam mengaturnya. Demikian pula urusan ibadah seperti Shalat, zakat, puasa, haji maupun urusan politik, social, budaya hingga pertahanan keamanan.

Oleh karena itu, pernyataan ’jangan bawa-bawa agama’; menilai orang jangan dari agamanya, tapi kinerjanya’; ‘Jangan bawa-bawa politik ke masjid’; Jangan tak pilih saya karena Al Maidah 51’; dan sejenisnya adalah bukan pernyataan yang bersumber dari ajaran Islam. Sebaliknya, itu adalah pernyataan yang bersumber dari ideology kapitalisme-sekuler yang ingin memisahkan agama dari kehidupan Negara atau ranah public.

Solusi Sistemik

Kaum Muslimin saat ini mestinya tetap tunduk kepada ketentuan Islam, bukan malah mengikuti paham sekulerisme yang jelas bertentangan dengan aturan agama, terlebih lagi upaya mencengkeram negeri Muslim dengan kekuatan politik dan ekonominya, inilah penjajahan gaya baru.

Melihat fakta hari ini, keberadaan system Islam untuk melindungi kesucian dan kehormatan Islam termasuk kitab suci dan Nabinya, mutlak diperlukan. Demikian sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Ghazali dalam Al-Iqtishad fi al-I’tiqad.

Sistem Islam yang akan menerapkan al-Qur’an dan as-Sunnah, menegakkan syariah sekaligus menjaga kekayaan, kehormatan dan kemuliaan umat Islam sehingga mereka tidak akan pernah dihinakan lagi. Rasul saw. Bersabda : “ Imam (Khalifah) adalah perisai; rakyat akan berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya (HR.Muslim). Jika Khilafah ada, niscaya penistaan demi penistaan tidak akan terjadi. Karena itu kebutuhan kita saat ini adalah berjuang bersama mewujudkan perisai/pelindung Islam dan kaum Muslimin tersebut. [VM]

Posting Komentar untuk "“Islam Terus ‘Diserang’, Dakwah Tak Boleh Dibungkam”"

close