Jangan Lupa: Pembangunan Indonesia Masih Kapitalis Sentris
Oleh : Umar Syarifudin – Syabab Hizbut Tahrir Indonesia
(Direktur Pusat Kajian data dan Analisis)
Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto memandang dua tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla pembangunan infrastruktur telah menyebar di seluruh wilayah Indonesia dan tidak Jawa sentris. "Program pembangunan khususnya infrastruktur di darat, air dan udara serta infrastruktur lainnya seperti listrik yang menggunakan uang rakyat, sudah tidak lagi Jawa sentris karena pembangunan tersebut menyebar di seluruh daerah," ujarnya di Jakarta, Kamis republika.co.id (20/10).
Tanggapan Kritis
Catatan pertama, kasus papa minta saham belum tuntas. Yang kedua, masalahnya Indonesia yang telanjur tunduk kepada IMF, Bank Dunia dan negara-negara besar pun terpaksa tak bisa menolak untuk menerima jadwal AFTA 2003 dan APEC 2010. Artinya, Pemerintah komitmen mendukung globalisasi tingkat ASEAN (ASEAN Free Trade Area) pada 2003 dan globalisasi tingkat ASEAN – Cina (ACFTA) pada 2010 serta globalisasi tingkat dunia pada 2015. Akhir 2015, Indonesia mesti membuka pasarnya lebar-lebar dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Liberalisasi ekonomi ini tak akan sukses tanpa adanya liberalisasi politik. Dalam situasi ini partai politik akhirnya ditantang berkompetisi melalui jalur demokrasi. Liberalisasi ini melahirkan partai politik dan politikus yang pragmatis dan materialistis. Situasi ‘butuh uang’ ini menjadi pintu masuk bagi kekuatan negara besar dan perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia ikut andil. Caranya dengan memberikan dukungan finansial kepada partai politik maupun wakil rakyat. Tentu tidak gratis. Mereka pun menitipkan kebijakan dalam rangka menjaga eksistensi usaha mereka. Inilah konsekuensi politik liberal. Lalu lahirlah berbagai undang-undang dan peraturan negara yang liberal, mementingkan asing daripada memenuhi aspirasi rakyat.
Di lapangan legislatif, intervensi asing juga terjadi dengan sangat nyata. Ada lebih dari 76 UU yang draft-nya diberikan dari pihak asing, seperti UU Migas, UU PM, UU Kelistrikan, UU SDA, UU Perbankan dan sejenisnya yang jelas-jelas telah meliberalisasi sektor-sektor vital di Indonesia. Dari fakta-fakta inilah kita menyebut bahwa negeri ini juga sedang dalam ancaman neoimperialisme.
Lahirnya UU-UU liberal, dan lembeknya Pemerintah di hadapan perusahaan asing seperti PT Freeport, misalnya, adalah bukti nyata aspirasi rakyat diabaikan dan Pemerintah tunduk pada kekuatan para cukong di dalam dan luar negeri. Jadi, dalam demokrasi tidak ada yang namanya kedaulatan rakyat; yang ada adalah kedaulatan para pemilik modal.
Hasilnya, pemerintah Indonesia sedang mengikuti tapak perjalanan perekonomian yang gagal mengangkat harkat martabat bangsa. Maka perombakan struktur personalia kabinet kali ini pun tidak memberi makna mendasar bagi tegaknya kedaulatan ekonomi nasional. Hal ini memberi petunjuk, saat neoliberal makin sejati, maka dominasi konglomerasi nasional dan internasional akan berjalan seperti biasa dengan kecenderungan menguat di tengah rakyat jelata tidak mengerti bagaimana mengangkat harga dirinya.
Sekarang kita bicara neoliberalisme, setidaknya terdapat 3 (tiga) aktor utama yang memungkinkan neoliberalisme dipraktikkan secara global. Pertama, perusahaan-perusahaan transnasional (TNC), seperti Freeport-McMoran. Kedua, lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia (World Bank) dan IMF. Ketiga, organisasi-organisasi kerjasama perdagangan internasional, seperti WTO (World Trade Organization), AFTA, NAFTA, termasuk juga yang mutakhir adalah MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) yang akan diberlakukan akhir 2015. Ketiga aktor itulah yang menciptakan aturan main global dan proses produksi global. (Nanang Pamuji Mugasejati & Ucu Martanto, Kritik Globalisasi dan Neoliberalisme, hlm. 7-8).
Sedang para penguasa Dunia Ketiga, dapat diumpamakan sebagai aktor figuran, yang hanya mempunyai peran pinggiran dan itupun hanya memerankan tokoh pecundang (looser) saja. Namun meski sebagai aktor figuran, penguasa Dunia Ketiga juga membentuk struktur sendiri di internal negeri masing-masing untuk menjamin berlangsungnya agenda-agenda neoliberalisme yang menyengsarakan rakyat. Menurut Bradley R. Simpson dalam bukunya Economist with Guns : Amerika Serikat, CIA, dan Munculnya Pembangunan Otoriter Rezim Orde Baru (Gramedia : Jakarta, 2010), struktur kekuasaan pro neoliberalisme untuk kasus di Indonesia sejak Orde Baru, tersusun dari 2 (dua) aktor utama sebagaimana tercermin dalam judul bukunya. Pertama, para birokrat (khususnya ahli ekonomi) yang telah dididik di AS dengan cara berpikir asing, seperti Widjojo Nitisastro, M. Sadli, Subroto, Ali Wardhana, dan Emil Salim, atau yang biasa disebut Mafia Berkeley. Mereka kenyang dengan teori-teori asing seperti “pembangunan” (developmentalism) dan neoliberalisme. Kedua, angkatan bersenjata (militer dan kepolisian), sebagai penjamin stabilitas ekonomi dan politik, yang memberi dukungan penuh terhadap agenda neolib Barat dan selalu siap melakukan tindakan represif yang kejam kepada siapa saja yang kritis terhadap negara.
Liberalisasi ekonomi juga semakin mengukuhkan dominasi korporasi-korporasi raksasa dan mematikan perusahaan-perusahaan dalam negeri akibat tidak mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan multinasional. Fakta telah menunjukkan bahwa liberalisasi ekonomi telah membuka selebar-lebarnya bagi asing untuk menguasai sektor hulu dan hilir. Di sektor hulu, dengan adanya kebijakan privatisasi BUMN, asing berhasil menguasi tambang-tambang migas hampir 84%, dan tambang-tambang lain yang memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi.
Memang, pembangunan tidak boleh Jawa sentris, bali sentris, dan seterusnya, tapi harus adil dan merata. Celakanya, Atas nama investasi, rezim penguasa menyerahkan sektor-sektor strategis, seperti jalan tol, pelabuhan, kereta api, listrik, dan lain-lain kepada investor asing. Rakyat kian menderita, beban utang semakin menggunung, dan korupsi kian merajalela. Biang penyebabnya adalah neoliberalisme dan neoimperialisme. Hanya dengan khilafah semua persoalan itu dapat dituntaskan. [VM]
Posting Komentar untuk "Jangan Lupa: Pembangunan Indonesia Masih Kapitalis Sentris"