Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

(MASIH) Terkait Polemik Kepemimpinan Non-Muslim dan Secercah Solusi Menyinari Ghazwul Fikr


Oleh: Iit Supriatin

Pro-kontra menjelang pilkada DKI 2017 mulai bermunculan. Hal ini disebabkan majunya kembali salah satu calon incumbent (pejawat) dari kalangan non-Muslim di tengah pendudukan mayoritas Muslim.

Sebagian kalangan yang pro tentunya akan membela kepemimpinan non-muslim ini dengan alasan yang di ulang-ulang. Diantaranya menolak ayat al-Qur’an yang menerangkan haramnya pemimpin kafir (QS. Ali Imran: 28), mengutip dan memahami sepotong-sepotong konteks ‘Allah akan menolong Negara yang adil sekalipun kafir dan akan membinasakan negara yang zhalim sekalipun beriman’, beredarnya opini menyesatkan ‘pemimpin kafir yang jujur lebih baik dari pemimpin muslim yang korup’, menyebarluaskan ungkapan tokoh ulama syi’ah Ali bin Thawus yang kemudian dipelintir menjadi perkataan Sayyidina Ali bin Abi Thalib  ‘pemimpin kafir tapi adil itu lebih baik dari pemimpin muslim yang zhalim’, tak ketinggalan pelemparan isu soal SARA ‘orang kafir boleh menjadi pemimpin di tengah-tengah mayoritas Muslim dan menolak pemimpin kafir berdasarkan agama di anggap SARA’.

Sedikit kilas balik mengenai fakta-fakta yang terjadi di tengah-tengah kepemimpinan non-Muslim yang bersinggungan dengan kegiatan keagamaan (Islam) ataupun sosial. 

Instruksi Gubernur DKI Nomor 168 tahun 2015 secara implisit  ‘melarang kegiatan pemotongan hewan di sekolah dasar’. Kemudian intruksi ini dicabut setelah menuai protes sejumlah tokoh Islam dan menyulitkan pihak sekolah. Pelarangan tabligh akbar dan takbiran keliling di jalan dengan alasan mengganggu  fasilitas umum, tapi (anehnya) konser Metallica dibolehkan dan barongsai di fasilitasi. Intruksi Gubernur (INGUB) tentang penggantian seragam muslimah (meski akhirnya diperbolehkan menggunakannya setelah mendapatkan aksi protes) di hari jumat dengan pakaian betawi. Lalu rencana diadakannya lokalisasi pelacuran (perzinahan). Gerakan ‘kondomisasi’ ke kalangan pelajar dan mahasiswa. Yang paling memprihatinkan adalah pembongkaran masjid  bersejarah untuk pembangunan rumah susun. Tentu saja ini hanya sebagian dari fakta-fakta yang masih ada.

Berbicara tentang kepemimpinan tidak bisa lepas dari Islam. Islam telah mengatur segala aspek kehidupan termasuk diantaranya dalam hal kepemimpinan. 

Kepemimpin yang ideal dalam Islam adalah yang memiliki dua sifat dasar; Kuat (mampu/profesional) dan amanah. Sebagaimana dalam firman Allah,

“Sesungguhnya manusia terbaik yang kamu tunjuk untuk bekerja adalah orang yang kuat dan amanah.” (QS. Al-Qashas: 26)

Apabila kedua sifat dasar tersebut tidak di miliki oleh seorang pemimpin, sebagaimana Umar bin Khatab pernah mengadu kepada Allah, “Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu; orang fasik yang kuat (mampu) dan orang amanah yang lemah.”, maka Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyarankan untuk menerapkan skala prioritas. Mana karakter yang lebih dibutuhkan dan yang lebih sedikit dampak buruknya , itulah yang dikedepankan. Untuk perang misalnya, Ibnu Taimiyah dalam kitabnya al-Siyasah al-Syar’iyah menjelaskan riwayat dari Imam Ahmad, diperlukan pemimpin yang kuat/mampu (memiliki keberanian dan pengetahuan strategi perang)  sekalipun fasik, karena kemampuannya menguntungkan umat Islam sementara sifat fasiknya merugikan diri sendiri. Sementara orang amanah (shaleh) tapi lemah, kelemahannya berdampak pada umat Islam dan keshalehannya menguntungkan diri sendiri. 

Memilih pemimpin bagi kaum muslimin adalah hal yang vital dan perlu kehati-hatian. Dan di antara syarat seorang pemimpin haruslah orang Islam yang mengerti betul hukum-hukum Islam dengan mudah. Seorang pemimpin memiliki peranan yang sangat penting, bukan hanya mengatur urusan dunia, tapi juga mengarahkan umat dalam pencapaian tujuan yang di ridhai Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Seorang pemimpin harus faham betul mengenai tugas, kewajiban dan arah pemerintahan yang akan di capainya. Menjadikan agama sebagai aturan dasar dan  sesuai syari’at dalam pelaksanaannya. Dengan demikian di dalam Islam, agama dan pemerintahan (kekuasaan) sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. 

Agama dan kekuasaan adalah saudara kembar. Agama adalah pondasi dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak punya pondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang tidak memiliki penjaga niscaya akan musnah. (Imam al-Ghazali dalam bukunya al-Iqtisha fi al-I’tiqad).

Memarjinalkan agama dalam memilih seorang pemimpin dan menentukan arah pembangunan politik pemerintahan seperti yang diserukan oleh pihak-pihak tertentu yang mengatasnamakan demokrasi dan HAM adalah keliru.  (Sumber: Hidayatullah)

Dicalonkannya pemimpin non Muslim di suatu daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam nampaknya langkah awal upaya peralihan negara ini menuju bentuk pemerintahan sekuler. Mayoritas ulama jumhur dan Muslim ahlussunah wal jama’ah secara tegas menentang dan meminta pemerintah untuk merujuk syarat pemilihan kepemimpinan berdasarkan konstitusi (syari’at) Islam. 

Al Qadhi Iyadh berkata, “Para ulama bersepakat bahwa kepemimpinan (Islam) tidak sah diberikan kepada orang kafir, dan bahkan bila pemimpin (muslim) kemudian keluar dari Islam maka dia harus turun.” (Shahih Muslim bi Syarh Al-Nawawi jilid 12 hlm 229).

Al Qadhi Ibnul Arabi mengatakan, “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan menjadikan orang kafir untuk menguasai kaum mukminin secara aturan syari’at. Jika itu terjadi, berarti menyimpang dari aturan syari’at.” (Ahkam Al-Qur’an, 1/641)

Berarti jelas, memilih atau mengangkat pemimpin di kalangan non muslim TIDAK disyari’atkan. Pertama, hal ini mendapat larangan langsung dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, kedua, dengan dikuasainya kaum mukminin oleh pemimpin yang tak se-akidah adalah  penyimpangan besar dari aturan syari’at Islam.

Seiring makin dekatnya pilkada, propaganda kaum sekularis pun makin gencar dilakukan. Dengan pengulangan opini-opini yang yang menyesatkan, pelegitimasian kepemimpinan orang kafir di tengah mayoritas kaum Muslimin dan usaha dalam menggiring opini umat Islam untuk memilih dan menerima pemimpin dari kalangan non muslim. Umat Islam hendak dibuat mengalami keraguan dalam menjalankan ajaran agamanya. Umat yang kurang faham tentu akan mudah terprovokasi. Pro-kontra, polemik dan perdebatan dalam tubuh Islam tak akan bisa dihindari. Baik secara individu, kelompok kecil maupun kelompok besar. Hal ini tentu makin menyudutkan umat Islam. 

Umat Islam dihadapkan pada perang pemikiran (Ghazwul Fikr) saat ini. Umat harusnya cerdas, dengan memelintir teks agar maknanya sesuai ide sekulerisme serta pencatutan nama Shahabat nabi untuk mendukung pendapat sekuler-liberalnya adalah pemahaman yang fatal dan menyimpang (syaadz) dari syari’at Islam. Efek Pemikiran liberalisme yang laksana racun berbahaya yang harus di tangani serius. Umat harusnya tersadar, dengan keluarnya kebijakan-kebijakan yang tidak relevan yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan (Islam) dan kegiatan sosial akhir-akhir ini, adalah efek sekulerisme dan pluralisme yang bisa menghancurkan nilai-nilai Islam.

Diperlukan solusi untuk mengatasi masalah ini. Bagi liberalis, generasi muda yang cenderung menyukai kebebasan ibarat lahan subur untuk menanamkan pemahaman-pemahaman liberalnya. Dengan realita seperti ini, maka generasi muda ini diharapkan ada di garda terdepan sebagai ‘umala-‘umala dalam ghazwul fikr melawan liberalisme. Mengambil andil terbesar menyebarluaskan pemahaman Islam, meluruskan pemikiran-pemikiran yang sesat di masyarakat serta mengajak umat untuk kembali ke dalam kehidupan Islam yang menjadikan al-Qur’an dan as-Sunah sebagai tuntunan. 

Diperlukan pembekalan ilmu yang cukup untuk menjadi ‘umala-‘umala tersebut. Mereka harus memiliki pemikiran-pemikiran cerdas dan komprehensip tentang Islam. Dengan demikian menggabungkan diri dalam majelis ilmu adalah langkah paling tepat. Misalnya masuk dan mengikuti harakah-harakah yang memiliki konsep Islam yang shahih dan tidak menyimpang dari sumber ajaran Islam yaitu Al Qur’an dan As-sunah. Harakah yang mampu mengajarkan Islam secara sistematis sehingga bisa dipahami secara utuh. Islam bisa diterima secara rasional tanpa dogmatis. Yaitu harakah yang pada akhirnya mampu mencetak ‘umala-‘umala dengan pemikiran ideologi Islam yang utuh dalam mewujudkan Islam rahmatan lil’aalamiin dan memberangus ideologi-ideologi imperialis yang menyesatkan menjadi kembali ke ideologi Islam. Wallahu’alam. [VM]

Posting Komentar untuk "(MASIH) Terkait Polemik Kepemimpinan Non-Muslim dan Secercah Solusi Menyinari Ghazwul Fikr"

close