Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kemana Arah "Gerakan Budaya" Kota Bandung?


Oleh : Yuda Satria
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat
GEMA Pembebasan Kota Bandung

Pada tanggal 11 Okteber lalu, Wali Kota Bandung RK mengatakan bahwa insturmen masyarakat mesti dibuat untuk memperkuat budaya khususnya wilayah urban (Bandung). Menurut RK upaya memperkuat itu bukan melalui regulasi namun pembentukan gerakan budaya. Hal demikian turut disampaikan dalam World Culture Forum (WCF) di Nusa Dua Bali. Menurutnya, sistem yang baik adalah sesuatu yang bisa membuat masyarakat mengerjakan dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Dilain hal, RK pun menjadikan Singapura sebagai acuan dalam menerangkan konsepsi penjagaan terhadap budaya itu. RK pun menegaskan pula bahwa pembangunan kota bandung tidak hanya berorientasi pada aspek ekonomi, akantetapi budaya pun diangkat sebagaimana perioritas ekonomi sehingga RK menilai bahwa tidakan tersebut adalah dalam upaya mencapai keseimbangan dalam kehidupan masyarakat. Tidak tanggung-tanggung, tampak pula RK mencoba untuk mengukuhkan komitmen berbudaya dan mengakui keberagaman melalui agenda yang diselenggarakan oleh komunitas Solidaritas Masyarakat Bandung bertajuk Deklarasi Bandung Untuk Bela Negara, seolah membudayakan kebudayaan tersebut berdiri diatas keberagaman. 

Namun kiranya beberapa poin yang menjadi pandangan RK sangat ambigu, dan selalu berkontradiktif terhadap tindakan-tindakan yang selama ini dilakukan oleh pemkot Bandung dalam menurunkan kebijakan-kebijakannya kepada masyarakat. Kebijakan RK yang tersentral kepada orientasi profit atau standar materil tentu saja menggeser sistem nilai budaya itu sendiri, Kota Bandung yang diidam-idamkan sebagai kota yang dimana masyarakatnya “turun tangan, gotong royong dan saling membantu” sangat tidak relevan dengan pergeseran nilai ini. Pergeseran nilai yang kami maksud adalah menyoal orientasi materil ini dalam pembangunan kota. Orientasi materil yang bersandar kepada pertimbangan kemanfaatan menurut persepsi individual, dalam konteks inilah RK memiliki persepsi tersendiri sebagai pemilik otoritas. Hal ini dapat dijelaskan secara gamblang menyoal pembangunan beberapa infrastruktur kota yang jauh dari pembangunan manusia, semisal Bandung Tekno Polis, Bandung Sky Walk, LRT, Cable Car, dan proyek-proyek lainnya yang menampakan nilai-nilai materil belaka. Inilah seolah menjadi standar atas kemajuan kota.

Jika demikian, maka dominasi nilai materil ini telah hinggap dan menjadi subjek pengendali. Artinya, Nilai materil inilah yang menjadi patokan dalam menentukan dan mengarahkan seluruh nilai-nilai yang ada. Termasuk kebiasaan-kebiasaan yang secara turun temurun mengakar kuat ditatar sunda dimana kehadirannya yang telah membudaya, mengadat-istiadatkan kebiasaan itu lambat laun menjadi patokan bagi anggota-anggotanya dalam bertingkah laku dan bersikap. Misalnya budaya urang sunda yang terkenal dnegan 5 watak yang sering dijadikan jargon  cageur, bageur, bener, singer, dan pinter yang sudah lahir sekitar jaman Salakanagara dan Tarumanagara. Dengan watak yang disebutkan demikian, kebiasaan-kebiasaan orang sunda senantiasa sopan, kalem, Ramah dan Murah Senyum dan Gemar dalam beribadah. Namun demikian, kebudayaan yang telah mengakar sehingga bergeser kepada ranah keyakinan leluhur nenek moyang bagi masyarakat sunda telah kehilangan nahkoda dalam mengendalikan kebiasaan-kebiasaan dalam wujud budaya. Warga sunda tampak kehilangan alasan untuk apa mereka senyum, untuk apa mereka bener, untuk apa mereka pinter dan lain sebagainya. inilah ruang yang menjadi pijakan Pemkot Bandung dalam mengisi kekosongan alasan tersebut.

Namun sayangnya, Pemkot Bandung mengisi kekosongan itu dengan ketidaktahuan, dan semena-mena menurunkan kebijakan tanpa adanya filterisasi apalagi filterisasi dalam menempatkan budaya tolak ukur. Contoh riil dilapangan adalah dilibatkannya Bandung dalam pasar bebas MEA dan memajukan UMKM berbasis pada pola liberalisasi ekonomi menunjukan budaya telah termarjinalkan sebagai pengendali namun menjadi alat yang dikendalikan. Dikendalikan oleh apa? Dikendalikan oleh oerientasi profit, Uang! Hal ini dapat dibuktikan dengan berbagai festival budaya yang terus diperkukuh dan seolah menjadikan bandung semakin berbudaya, namun realitanya mengambil keuntungan dari budaya itu. Lantas, dimanakah RK menghormati budaya yang ada bila orientasi materil menjadi puncak dari segala tujuan pembangunan kota bandung? Ironis! Inilah kesalahpahaman dalam upaya melestarikan budaya. Alih-alih melindungi budaya, malah menghancurkan budaya dengan orientasi profit sebagaimana pemkot lakukan selama ini. Apalagi, kehancuran itu memang nyata adanya dengan kesewenang-wenangan swasta yang berupaya mengendalikan kota, dan Pemkot tunduk oleh swasta dan korporasi baik dalam maupun luar negeri.

Dalam pandangan kami, budaya yang muncul sebagai simbol-simbol dan merepresentasikan kota bandung justru tampak sebagai komoditas yang menunjukan dibalik pelestarian budaya ada motif lain yang menihilkan motif pelestarian budaya itu sendiri. Motif itu adalah motif mencari keuntungan secara materil. Itulah yang kami maksud dampak pembangunan kota yang berorientasi profit semata, materil semata. Dengan demikian, dapatkah kita nilai pelibatan budaya dan ekonomi selama ini sama-sama seimbang? Tentulah tidak, hal demikian menunjukan kebijakan ekonomi yang ada di kota bandung dan berselaras dengan kebijakan pemerintahan Jokowi JK justru memberangus budaya yang ada walaupun dengan seribu dalih bahwa mereka mempertahankannya atas nama nenek moyang di tatar sunda. Itu hanya sekedar dalih yang melegitimasi kebijakan mereka yang justru berpihak kepada komplotan kapitalis Asing!

Lantas, bagaimana kita menilai upaya diwujudkannya Gerakan Budaya? Ini adalah satu ruang yang akan mengurung masyarakat bilamana mengamini kebijakan RK semacam ini. Mengapa? Hakikatnya gerakan budaya dibentuk untuk membenarkan pencaplokan ekonomi terhadap budaya. Membenarkan kebijakan-kebijakan orientasi profit yang membalutkan budaya sebagai pakaiannya sehingga benar-benar mengelabui rakyat kota bandung. Bagaimana mungkin ketika sistem nilai dalam masyarakat telah dikendalikan oleh orientasi profit sebagai dampak penerapan kebijakan RK ini mampu membubuhkan orientasi kelestarian budaya semata-mata karena budaya itu sendiri? Hal demikian sangat jauh dari kemungkinan bahkan mustahil! Masyarakat Kota Bandung yang telah dibuat kering dan gersang dikepung oleh oerientasi materil sangat jauh dimungkinkan untuk membudayakan gerakan itu. Jikalau ada, tentu saja motifnya tiada lain digerakan oleh uang, begitulah kebijakan pragmatis RK yang sungguh mengelabui rakyat dan mengelabui dirinya sendiri.

Jika gerakan budaya itu sifatnya temporal, tentulah pernyataan bahwa sistem yang baik adalah sesuatu dimana masyarakat dapat menyelesaikan secara mandiri adalah pernyataan yang tidak masuk akal bila disandingkan dengan pergeseran nilai-nilai yang ada. Satu sisi, Pemkot membuat masalah dengan menggeser nilai-nilai yang ada dikota bandung, dan menghancurkan budaya kearah objek komoditas yang diperjualbelikan demi meraup keuntungan materil. Satu sisi, pemkot, RK Berlepas tangan dalam mengetaskan masalah yang dibuat oleh dirinya sendiri. Justru masyarakat dibuat bahkan dipaksa untuk membuat gerakan yang mengetaskan masalah yang hakikatnya bersumber dari pemkot? Inilah logika yang aneh dan tidak masuk akal. Sebagai pemimpin, justru pernyataan itu tidaklah tepat, justru mengkebiri posisi RK sebagai pemimpin yang semestinya harus terus mengetaskan problem masyarakat karena itulah pemimpin yang harus mengurusi, mengayomi masyarakat. Jika pernyataan itu terus menjadi dalih, maka tampaklah RK sebagai pemimpin yang berorientasi profit secara nyata. Hal itu mengindikasikan hubungan pemkot dan masyarakat kota bandung yang tidak harmonis, akan tetapi hubungan diantara keduanya berbasis pada untung dan rugi!

Paparan diatas, tampaknya telah cukup menunjukan bahwa terjadi kesalahpahaman, salah kaprah dalam kebijakan dan kerancuan berfikir yang dilakukan oleh pemkot. Pandangan penulis, semestinya masyarakat kota bandung harus mencari jalan secara mandiri dan merdeka tanpa terkooptasi dengan kebijakan pemkot bandung yang memencarakan cara berfikir kita. Hal yang mesti diingat adalah mengisi kekosongan “alasan” dalam berbudaya dan berkebiasaan itu dimana kekosongan itu telah dirampas oleh kebijakan RK. Dalam konteks inilah agar kejelasan dalam berbudaya mampu terfilterisasi dengan benar, mana yang tidak diadopsi dan mana yang mesti tidak diadopsi sehingga berbudaya tanpa terbajak oleh kepentingan orang lain, apalagi kepentingan pemerintah yang telah berkomplot dengan pemilik modal. Kekosongan tersebut tampaknya harus diisi dengan konsepsi yang bersumber diluar daripada manusia agar tidak terpenjara oleh pandangan benar salah menurut manusia.

Kami menilai, Ideologi Islam yang merupakan konsepsi sempurna, mestilah mengisi kekosongan tersebut, menjadi alasan mengapa kita tersenyum, menjadi alasan mengapa masyarakat saling bantu-membantu, menjadi alasan bagaimana masyarakat berhubungan satu sama lain. Hal demikian terealisasi dikarenakan alasan yang sungguh benar-benar pasti dikarenakan masyarakat kota bandung menginginkan ketaatan sempurna kepada penciptanya, alasan itulah yang menggerakan tingkah dan kebiasaan-kebiasaan yang baik berbasis pada Ideologi Islam. Jiak demikian adanya, begitula bandung akan tersenyum, akan juara dan akan harmonis. Tentunya, kenyataan masyarakan yang berbudaya berbasis pada Islam memerlukan dukungan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap kenyataan masyarakat yang menginginkan ketaatan kepada Pencipta, itulah mengapa RK semestinya menyadari bahwa kepemimpinan yang harus dibangun harus berbasis pada Islam, menurunkan kebijakannya berstandar kepada Syariah bukan undang-undang yang dibuat oleh kepentingan manfaat apalagi orientasi profit. Hal demikian hanya akan menyebabkan masyarakat kota bandung mengalami penghidupan yang sempit, karena dipalingkan dari apa-apa yang diturunkan oleh Allah SWT berupa hukum-hukum syariah-Nya. [VM]

Posting Komentar untuk "Kemana Arah "Gerakan Budaya" Kota Bandung?"

close