Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pemerintah Kejar Setoran Pajak, Rakyat jadi Korban


Oleh: Jamilah, S.Pd – Muslimah HTI - Kediri

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa pemerintah tetap fokus pada penerimaan perpajakan rutin untuk tahun anggaran 2016 sebesar Rp 1.320 triliun. Angka yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2017 sudah dikurangi dengan defisit fiskal sebesar Rp 219 triliun. Amnesti pajak dinilai bisa menyokong defisit anggaran yang tahun ini diperlebar di kisaran 2,5 hingga 2,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). (republika.co.id). Sejauh ini, pemerintah optimis  bisa menembus target sebesar Rp 165 triliun. Ini mengingat  hingga akhir periode pertama saja uang tebusan yang terkumpul mencapai Rp 86,94 triliun yang dilihat dari setoran Surat Pernyataan Harta (SPH). Padahal, periode amnesti pajak masih berlanjut hingga Maret 2017. Kelebihan penerimaan pajak tahun ini disumbang oleh penerimaan dana tebusan program tax amnesty sebesar Rp 97 triliun hingga akhir September lalu. Artinya, tanpa program tersebut, realisasi penerimaan pajak tidak banyak berubah dari tahun lalu.

Miris sekali! Kekayaan alam yang melimpah ruah di negeri ini justru diabaikan atau tidak dikelola dengan baik untuk dijadikan sumber pendapatan. Sebaliknya pemerintah malah terus membebani rakyat dengan pajak. Luar biasa besar  pendapatan pemerintah dari sektor  pajak. Sebagai contoh kecil, dari pajak kendaraan bermotor.  Jika sebuah rumah memiliki dua  sepeda motor, maka pemerintah bisa mendapat kas sebesar  kurang lebih 250.000,- per  tahun. Belum lagi dari mobil,  Pajak Bumi dan Bangunan, pajak penghasilan, dan lain-lain. Ini baru dari satu rumah saja sudah menyetor  ratusan ribu bahkan jutaan rupiah. Apalagi kalau satu desa, kecamatan, kabupaten dan seterusnya. Ironisnya, meski semua sektor sudah dikenai pajak, Indonesia tidak kunjung sejahtera. Sehingga untuk membiayai belanja negara harus ditambah dengan utang. 

Namun kenaikan utang pemerintah dinilai gagal mendongkrak produktifitas ekonomi nasional. Sebab keseimbangan primer Indonesia justru mengalami defisit. Defisit primer berarti kondisi dimana pengeluaran tanpa beban utang lebih besar dari jumlah penerimaan negara. Padahal, utang seharusnya bisa menjadi modal tambahan untuk meningkatkan pendapatan nasional. Tetapi hal itu tidak terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah terus mencari sumber pajak “baru” dan mengerahkan segenap upaya untuk merealisasikannya. Misalnya dengan Tax Amnesty, bahkan seleb medsos dan bisnis online juga tak luput dari target pajak.

Negara kejar setoran, rakyat jadi korban pendzoliman negara. Negara tak ubahnya seperti  “dracula” yang menghisap “darah” rakyatnya hingga tetes darah yang terakhir. Padahal, kalau mau jujur, sebenarnya tax amnesty adalah untuk konglomerat.  Rakyat kecil  yang terkategori sebagai UMKM ataupun perorangan, terus  dibayang-bayangi dengan ancaman denda bahkan penjara jika tidak melaporkan harta atau penghasilannya secara jujur.  Dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak, jika dalam tiga tahun ke depan Ditjen Pajak menemukan ada harta yang tidak dilaporkan dalam SPT dan wajib pajak ini tidak ikut program tax amnesty, maka harta tersebut akan dianggap sebagai tambahan penghasilan. Wajib pajak tersebut juga akan terkena sanksi yang diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Karena telah dianggap sebagai penghasilan, wajib pajak ini harus membayar pajak dan terkena sanksi berupa denda sebesar 2 persen per bulan, selama maksimal dua tahun.

Kesempatan untuk mengungkapkan seluruh harta, baik dengan tax amnesty atau pembetulan SPT juga harus dilakukan secara jujur, tanpa ada yang disembunyikan. Karena sanksinya akan lebih berat, jika wajib pajak sudah ikut pembetulan SPT atau tax amnesty, tapi masih ada harta yang tidak dilaporkan. Sanksinya bisa terkena denda 200 persen atas harta yang tidak dilaporkan, bahkan bisa sampai pidana. Dari sinilah akhirnya masyarakat berbondong-bondong melaporkan diri untuk ikut program tax amnesty. Rakyat bersusah-payah mengumpulkan rupiah namun sebagiannya harus diserahkan kepada negara, sementara penguasa dengan mudahnya hidup mewah dari pajak dan hutang. Bahkan tega-teganya melakukan penggelapan pajak. 

Begitulah dalam sistem kapitalisme. Rakyat akan terus jadi korban pajak. sebaliknya, pajak di dalam Islam bukanlah untuk menambah pendapatan negara, melainkan membiayai kebutuhan yang ditetapkan oleh syara’ jika kas negara benar-benar kosong. Jadi penarikannya hanya bersifat insidental. Pajak juga hanya diambil dari kaum Muslim yang mampu. Dari kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang proporsional (ma’ruf), sesuai dengan standar hidup mereka di wilayah tersebut. Negara khilafah juga tidak akan menetapkan pajak tidak langsung, termasuk pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual-beli, dan pajak yang lain.

Selain itu, khilafah juga akan memberikan pelayanan publik secara gratis dan terbaik, seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Juga tidak ada biaya-biaya administrasi, termasuk denda layanan publik, seperti PLN, PDAM, Telkom, dan sebagainya. Termasuk, tidak memungut biaya administrasi dalam pembuatan SIM, KTP, KK, surat-menyurat dan sebagainya. Sudah saatnya Indonesia mengelola sendiri sumber daya alam yang melimpah di berbagai pelosok negeri ini baik di daratan maupun lautan dengan sistem Islam. [VM]

Posting Komentar untuk "Pemerintah Kejar Setoran Pajak, Rakyat jadi Korban"

close