Sorotan Kritis : Paradoks Media Massa Liberal
Oleh : Umar Syarifudin – Syabab HTI
(pengamat politik Internasional)
Saat ini ada sekian banyak pemikiran yang kontraproduktif bagi pembentukan masyarakat Islami. Sebagian juga gencar disebarkan melalui media. Masyarakat modern seolah dimaknai dengan kebebasan, demokrasi, pluralisme dan kesetaraan gender. Padahal buah busuk semua pemikiran tersebut adalah kerusakan moral, politik berbiaya mahal dan memanipulasi rakyat, juga tekanan terhadap hak beragama umat Islam. Sesungguhnya kaum Muslim telah memiliki tolok ukur yang jelas dalam menyikapi sebuah berita. Tolok ukur itu adalah Islam. Dengan tolok ukur inilah kaum Muslim tidak akan gampang diarahkan opininya oleh media massa sekuler yang ada menjauh dari nilai-nilai Islam.
Realitas
Media massa tidak bebas nilai. Media memiliki agenda di balik pemberitaannya kendati media memiliki kode etik jurnalistik. Coba perhatikan bagaimana banyak media massa memberikan soal Islam, banyak yang negatif dan stigmatif. Kita memahami, semua sistem dan pemerintah memerlukan opini publik untuk mempertahankan masyarakat yang stabil dan produktif, dan ini adalah disinilah pertempuran untuk merebut hati dan pikiran menjadi penting. Untuk membenarkan keputusan politik, politik, media dan opini publik menjadi sangat terkait.
Dalam studi paling komprehensif dan sistematis atas film-film Hollywood mutakhir, pakar media Jack Shaheen mempelajari 100 tahun representasi film Hollywood mengenai Arab dan kaum Muslim. Dia menemukan bahwa mayoritas 900 film yang dia pelajari menggambarkan Arab dan Muslim sebagai orang yang “brutal, kejam, fanatik agama, tidak beradab dan dengan karakter gila uang ‘yang lain’ cenderung untuk meneror Barat yang beradab, terutama orang Kristen dan Yahudi”.
Dalam banyak wacana berita barat, implikasinya selalu tampak jelas; masyarakat Barat harus curiga terhadap Muslim – semua Muslim. Tentu saja yang diabaikan dalam analisis ini adalah fakta bahwa kaum Muslim di banyak negara dengan mayoritas Muslim sering kali disibukkan, dan bergulat dengan kediktatoran yang brutal (yang sering didukung oleh negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat), kemiskinan yang akut, dan kampanye pemboman yang biasa terjadi, dimana semua hal itu telah membantu menciptakan kondisi di mana kelompok-kelompok seperti al-Qaeda dan ISIS bisa berkembang – keduanya membunuh lebih banyak kaum Muslim daripada non-Muslim.
Dalam banyak wacana berita di barat, implikasinya selalu tampak jelas; bahwa masyarakat Barat harus mencurigai Muslim – semua Muslim. Berbagai pakar telah tampil di media terkemuka untuk menawarkan meningkatnya perkiraan jumlah teroris Muslim, dengan beberapa menunjukkan bahwa kaum muslim yang “damai”, adalah kelompok minoritas, dan, yang lebih penting lagi, mereka menjadi damai karena telah salah memahami ajaran agama mereka yang dikatakan penuh kekerasan.
Contohnya Inggris, sebuah laporan yang ditulis oleh seorang mantan perwira kontra terorisme Scotland Yard yang diterbitkan pada hari Kamis, mengatakan bahwa jumlah kriminalitas bermotif kebencian terhadap umat Islam di London didorong oleh tendensi oleh para politisi dan media.
Laporan itu juga mengatakan serangan-serangan itu mulai dari ancaman kematian dan pembunuhan hingga serangan-serangan tingkat rendah, seperti meludah atau memanggil dengan sebutan nama, adalah bagian dari yang dilakukan oleh para ekstremis dan menjadi kecendrungan masyarakat. Dokumen itu – yang dikeluarkan oleh pusat penelitian Muslim University of Exeter di Eropa – ditulis oleh Dr Jonathan Githens-Mazer dan mantan detektif khusus Dr Robert Lambert.
“Laporan itu adalah bukti empiris yang utama yang menunjukkan bahwa para penyerang Muslim selalu dimotivasi oleh pandangan negatif atas umat Islam baik karena komentar dari kecendrungan di masyarakat maupun dari laporan-laporan atau komentar-komentar di media para nasionalis ekstrimis, ”kata laporan itu. Juga dikatakan bahwa bahwa orang-orang normal adalah orang-orang yang bertanggung jawab atas kekerasan terhadap umat Islam. “Selain itu, orang-orang yang diwawancarai yang mendapat informasi yang baik secara jelas mengakui bahwa pelaku utama dari kriminalitas anti-muslim tingkat rendah bukanlah gang kejahatan melainkan hanya para individu-individu dari berbagai latar belakang yang merasa berhak melakukan pelecehan, penyerangan dan intimidasi atas umat Islam dalam hal bahwa hal ini mencerminkan elemen-elemen dari arus utama media dan komentar-komentar politik yang menjadi hal biasa dalam satu dekade terakhir. “
Hasil studi di Jerman menunjukkan bahwa gelombang permusuhan terhadap Islam meluas hingga mencakup kaum intelektual dan para pemimpin redaksi surat kabar di negeri ini. Sehingga hal itu menyebabkan rakyat Jerman menganggap bahwa Islam adalah ancaman terhadap keamanan.
Seorang peneliti dalam ilmu politik dan seorang profesor media komparatif di Universitas Erfurt, Jerman Timur, Kai Hafez mengatakan bahwa “Wacana media di Jerman tentang Islam saat ini memaksa masyarakat untuk menghubungkan Islam dengan isu-isu negatif. Sehingga citra Islam sebagai musuh terkait erat dengan tahapan yang memperlihatkan penyebaran Islam politik.”
Kapitalisasi Industri Media
Mc Quail (2002: 66) dalam bukunya “Mass Communication Theories” dalam Subiakto dan Ida (2012) mengatakan bahwa setidaknya ada enam perspektif dalam melihat peran media. Pertama, media massa dipandang sebagai window on events and experience. Media dipandang sebagai jendela yang memungkinkan khalayak “melihat” apa yang sedang terjadi di luar sana ataupun pada diri mereka sendiri.
Kedua, media juga sering dianggap sebagai a mirror of events in society and the world, implying a faithful reflection. Yaitu, cermin berbagai peristiwa yang ada di masyarakat dan dunia, yang merefleksikan apa adanya. Ketiga, memandang media massa sebagai filter atau gatekeeper yang menyeleksi berbagai hal untuk diberi perhatian atau tidak. Keempat, media massa acap kali pula dipandang sebagai guide, penunjuk jalan atau interpreter, yang menerjemahkan dan menunjukkan arah atas berbagai ketidakpastian atau alternatif yang beragam.
Kelima, melihat media massa sebagai forum untuk merepresentasikan berbagai informasi dan ide-ide kepada khalayak, sehingga memungkinkan terjadinya tanggapan dan umpan balik. Terakhir, media massa sebagai interlocutor, yang tidak hanya sekadar tempat berlalu lalangnya informasi, tetapi juga partner komunikasi yang memungkinkan terjadinya komunikasi yang interaktif.
Beberapa jenis media massa antara lain televisi, radio, majalah, koran, dan juga internet. Dalam keseharian masyarakat Indonesia, televisi tetap menjadi media yang paling besar pengaruhnya karena mudah diakses dan memiliki jangkauan yang luas. Bahkan menurut survey MarkPlus pada tahun 2014, televisi masih menempati peringkat pertama sebagai “Most Frequency Accesed Media” di Indonesia.
Kapitalisasi dalam industri media televisi terus menggurita. Konglomerasi dalam industri pertelevisian di Negara-negara Barat bahkan Indonesia dalam era kapitalisme ini tidak bias dielak. Politik dan ekonomi menjadi alasan utama. Ketika modal dan kekuasaan mengepung media massa, kalangan industri media massa lebih menyerupai “pedagang”, mengendalikan pers dengan memanfaatkan kepemilikan saham atau modal untuk mengontrol isi media atau mengancam institusi media yang “nakal”, mengendalikan pers dengan merekayasa.
Persoalan modus komersialisasi industri media massa mengandung berbagai kelemahan bahkan bisa jadi menyebabkan kontraproduktif bagi kaum kapitalis sendiri. Di antara kelemahannya itu antara lain: Pertama, para kapitalis media memang telah berusaha maksimal untuk mengurangi resiko usaha. Sebagian besar pasar yang ada sekarang ini lebih cenderung membentuk kekuatan oligopolistik, dimana beberapa industri media menciptakan serangkaian hambatan yang menutup peluang pendatang baru yang mereka kuasai.
dalam artian penekanan harga, produksi dan keuntungan, kekuatan oligopolistik yang ada justru mengarah ke arah terbentuknya monopoli yang sangat jauh dari mitos: pasar yang penuh persaingan. Para kapitalis media lebih suka mengelompokan diri dan menjadikan kekuatan ekonomi berpusat dan bersifat monopolistic. Selanjutnya jika seluruh media kemudian membentuk pasar monopoli maka sesungguhnya bagian dari sistem demokrasi kapitalistik.
Selanjutnya cara melihat manusia dalam sistem liberal, tak ubahnya ibarat barang dagangan. Termasuk melihat perempuan, ibu dan anak hanya jadi komoditi. Wajar dalam sistem saat ini, perempuan dieksploitasi, hanya diperdagangkan. Contohnya saja 90 persen iklan selalu memanfaatkan perempuan. Bahkan produk yang tidak berkaitan dengan perempuan sekalipun.
Peran media dalam sistem kapitalisme saat ini sebagai pilar alat penting untuk menebarkan demokrasi. Media hari ini didominasi konten yang hanya menghasilkan kerusakan. Kebanyakan cuma hiburan yang melenakan, memuja seks bebas dengan pornografi dan kekerasan. Akhirnya, umat Islam dan generasi muda dibuat kehilangan identitas Islamnya. Sementara negara tidak mampu melakukan perlindungan dari buruknya dampak media yang merusak ini.
Dibutuhkan : Media Pro Penyadaran
Jika tanpa ditopang sistem Islam, umat Islam akan sangat sulit melawan begitu gencarnya opini yang diciptakan secara linear dan tidak ada satu pembanding dan nyaris tidak ada pembanding, kalau kita mencari sesuatu melemparkan satu counter opini saja, habis-habisan dibabat. dalam konteks inilah kita menghadapi satu leburan isu yang digagas oleh Barat secara sistematis yang terus menerus secara berkesinambungan diberondong kepada publik.
Yang kita butuhkan adalah media massa yang kritis melihat bahwa media adalah pembentuk kesadaran. Sangat penting bagi umat Islam pada umumnya, dan terutama bagi mereka yang telah mengambil atas dirinya untuk melanjutkan cara hidup Islam, agar memahami hubungan ini, mekanisme dan peran kita. Kita perlu mengungkapkan motivasi yang nyata dan akibat-akibat yang menghancurkan dari perang melawan Islam dan juga akibatnya di negeri-negeri Muslim. Bukan hanya terhadap minoritas Muslim, tetapi juga terhadap penduduk barat pribumi.
Sudah saatnya bagi kita umat Islam, yang tinggal di timur dan barat, untuk melepaskan diri dari rantai mental rendah diri dan rasa takut yang ditiupkan Barat. Kita perlu untuk menantang sikap stereotip dan propaganda dan terlibat dalam pertempuran untuk merebut hati dan pikiran.
Jelas, begitu besar kebencian para pemimpin di Barat terhadap Islam politik yang bersih. Untuk itu, mereka melakukan penyesatan dan pura-pura buta terhadap kebenaran yang mengancam budaya dan ideologi mereka yang rapuh. Yang pasti, kini Barat berusaha mencegah agar kejernihan dan ketinggian gagasan Hizbut Tahrir yang disebarkan melalui berbagai media diyakini oleh seluruh umat. Akan tetapi Allah pasti memenangkan siapa saja yang menjalankan perintah-Nya, dan kemuliaan pasti menjadi milik orang-orang yang bertakwa.
Islam Menjawab
Dalam pandangan Islam, setiap warga negara berhak mendirikan stasiun TV dan menerbitkan media. Setiap warga negara dalam Daulah Khilafah memiliki kesempatan untuk mendirikan perusahaan media, baik media cetak maupun media elektronik asal media itu dikelola dengan tidak melanggar ketentuan akidah dan syariah Islam. Tiap warga yang mendirikan perusahaan media hanya perlu memberitahukan kepada Departemen Informasi Daulah Khilafah mengenai perusahaan yang akan didirikannya itu. Dalam pelaksanannya, pemilik perusahaan media, sebagaimana warga negara lainnya, akan dimintai pertanggung-jawaban atas setiap pelanggaran syariah yang dilakukan oleh media itu.
Media juga akan memainkan peranan penting untuk mengontrol dan menasihati penguasa dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya memimpin dan mengatur masyarakat dengan syariah Islam. Namun demikian, ada informasi-informasi tertentu yang sangat erat kaitannya dengan urusan negara, yang tidak dapat dipublikasikan secara bebas. Misalnya, informasi menyangkut pertahanan dan keamanan, seperti tentang gerak pasukan, atau berita tentang kemenangan dan kekalahan. Jenis informasi seperti ini harus dihubungkan secara langsung kepada Khalifah, sehingga bisa diputuskan mana yang harus dirahasiakan dan mana yang bisa dipublikasikan.
Informasi yang sehat merupakan perkara penting bagi Daulah Khilafah, yaitu untuk menyatukan negeri-negeri Muslim dan mengemban dakwah Islam ke seluruh umat manusia. Media informasi diperlukan untuk menggambarkan Islam dengan benar dan membina kepribadian masyarakat sehingga terdorong untuk hidup dengan cara yang Islami dan menjadikan syariah Islam sebagai tolok ukur dalam segala kegiatan hidupnya. Media informasi juga berperan dalam mengungkap kesalahan pemikiran, paham, dan ideologi serta aturan-aturan sekuler. Dengan cara itu, masyarakat menjadi paham tentang mana yang benar dan mana yang salah, serta terhindar dari pemikiran, pemahaman, dan gaya hidup yang tidak Islami. [VM]
Posting Komentar untuk "Sorotan Kritis : Paradoks Media Massa Liberal"