Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bedah Bandung, Dibedah Secara Tidak Substansial!


Oleh : Indra Lesmana
(Ketua Umum GEMA Pembebasan Kota Bandung)

Pada hari Jum’at malam lalu tepat pada tanggal 28 Oktober 2016, Ridwan Kamil menyelenggarakan Bedah Bandung di UPI. Hal ini menyusul kritikan yang muncul dari salah seorang mahasiswa UPI yakni Rifan. Namun demikian, dalam soal ini kami ingin menganalisa secara objektif dari paparan yang telah disampaikan oleh RK pada malam sabtu itu yakni menyoal agenda Bedah Bandung ini tanpa ada upaya keberpihakan diantara keduanya.

Dalam beberapa pernyataan RK cukup memberikan gambaran terhadap realitas aktivitas kepemimpinannya selama ini dalam kancah perpolitikan ditanah air tentunya dalam cakupan regional Bandung. Beberapa poin penting yang kami catat adalah Mengenai keterlibatan dalam kekuatan perubahan dalam zona Bandung ini. Jalan selain APBD dalam pendanaan adalah hal yang mesti dilakukan (Pendanaan Infrastruktur), Ukuran kemajuan Bandung masih dalam perspektif pembangunan, Pemimpin memiliki prioritas yang utama dibandingkan wajah kebijakannya dihadapan rakyat Bandung, RK dalam posisi dilematis dan diapit oleh regulasi yang lebih tinggi dalam menindak kebijakan tertentu, Mimpi Bandung sebagai cita-cita warga bandung perlu dipertanyakan. Dari keenam inti pembahasan dari persentasi RK terlihat bahwa upaya defensif terhadap riuh minoritas publik tak dapat diakui lagi, dan mayoritas forum telah bersepakat dengan apa-apa yang disampaikannya mengenai perencanaan dan alasan-alasan yang membantah “kritikan ilmiah” yang dialamatkan kepadanya. Sekali lagi, dalam persoalan ini tentulah harus dibedah secara sehat, hal ini agar tidak memihak berdasarkan konvensi mayoritas dalam menilai Bandung, akan tetapi tetap dalam koridor yang wajar dan adil, tidak memihak minoritas maupun mayoritas, keduanya sejajar terhadap fakta yang diperselisihkan.

Menilik dari enam hal yang kami dapatkan, tentu pada poin pertama kami ingin mengutarakan bahwa sesungguhnya realitas kelahiran pemimpin tidak bisa dipungkiri akibat adanya komitmen dalam mempercayakan urusan masyarakat bandung terhadap pemimpin itu terlebih sistem yang menopang tatacara pemberlangsungan kekuasaan itu dalam memerintah masyarakat. Walaupun terlihat dalam pemilu yang diselenggarakan 5 tahun sekali, Dalam prosesi itu tampak jelas bahwa rakyat kota bandung memilih dalam rangka melimpahkan berbagai urusan untuk diurusi otoritas kota kelak yang terpilih. Maka, dalam konteks perubahan, pemimpin dengan political power yang dimilikinya memiliki proporsi yang besar dalam menentukan itu, kerena otoritas kotalah yang telah berada legal diatas tempayan kekuasaan dan seabrek regulasi yang melegitimasi dirinya legal dalam kancah pengurusan rakyat. Dari sini dapat dilihat, proporsi political power ditopang oleh dua hal yakni sistem yang berjalan, kedua paradigma masyarakat yang menjadikan manfaat sebagai tolak ukur dalam kemajuan. Jika dilihat sebab-sebab mengapa pemimpin dapat hadir diatas tampuk kekuasaan dan menguasai rakyat kota bandung, memang benar ada andil rakyat dan bertanggung-jawab besar dalam memunculkan penguasa dengan seabrek kebijakan yang hendak, sedang dan akan dilakukannya. Dari dua entitas yang disebut sebagai 25% dari kekuatan perubahan yakni otoritas kota dan masyarkat menunjukan hal yang mesti ditempatkan pada kedudukannya masing-masing. Dengan melihat tempatnya masing-masing, Otoritas kota sebagai penguasa atas rakyat memiliki 100% tanggung-jawab dalam menentukan kebijakan untuk merealisasikan perubahan, karena seluruh rakyat memberikan wewenang terhadapnya, apalagi mekanisme demokrasi membenarkan legitimasi segenap suara itu, walau faktanya tidak merealisir. Maka inilah maksud perubahan itu dengan adanya kebijakan yang telah realisasikan. Inilah konteks perubahan yang memastikan bahwa sesungguhnya yang memiliki pengaruh dalam perubahan itu adalah andil kebijakan yang diturunkan oleh otoritas kota sendiri, karenanya kebijakan muncul buah dari keputusan politik. Sehingga peranan masyarakat, media, dan kapital itu masuk melalui pintu yang sama yakni keputusan politik. Dapatlah pembagian yang dominan adalah keputusan politik ini atau sebagaimana dikatakan sebagai political power.

Tentunya kita harus jeli melihat konteks perubahan ini, mana perubahan yang bersifat (1) paradigmatik kemudian terwujud dalam bentuk regulasi. Dan (2) mana upaya merealisasikan regulasi. Kesalahan terjadi tatkala menempatkan poin kedua inilah yang malah dikatakan perubahan, padahal perubahan dalam wujud merubah tatanan perkotaan adalah pengertian yang pertama buka yang kedua. Poin kedua hanya bagian dari proses dan 3 kekuatan yang disebut sebagai bagian dari teori kekuasaan itu dengan pembagian 25% masing-masing, hanya menjadi penunjang semata atas kebijakan yang 100% wewenang otoritas kota. Kami menilai bahwa pembagian persentase kekuatan itu salah posisi, dan menempatkannya pada wahana yang sama sederajat, padahal ketiga kekuatan itu harus masuk kepada keputusan politik yang berdiri diatas kekuasaan dan otoritas kotaan yang melaksanakannya. Social power, Information power dan Capital power semua ini memerlukan pintu dalam upayanya merealisasikan dirinya, pintu itu adalah keputusan politik yang ditopang oleh sistem. Walaupun, diperjalanan harus dihadang oleh regulasi yang telah diberlakukan. Maka, disinilah titik pentingnya, bahwa otoritas kota bertanggungjawab atas kota yang dipimpinnya, hal itu dikarenakan warga bandung telah memberikan kewenangan untuk itu, mengarahkan dan menerapkan aturan tertentu. Disinilah otoritas kota memiliki dua kemungkinan dalam berkebijakan, apakah menerapkan keburukan bagi warga bandung atau menerapkan kebaikan bagi warga bandung. 

Dengan memperhatikan dampak-dampak yang ditimbulkan dari kebijakan otoritas kota bandung, tampak terlihat bahwa kebijakan yang ada mengindikasikan penerapan keburukan kepada warga kota bandung, hal ini justru lahir dari rahim political power. Sebagaimana umum diketahui, bahwa penggunaan dana CSR, Hibah dan perjanjian model PPP adalah jawaban terhadap kesimpangsiuran dana APBD yang terbatas. Namun, sisi gelap kebijakan ini adalah pengurusan yang harus diserahkan kepada tangan swasta dimana ketentuannya adalah orientasi profit bukan murni semata-mata mengurusi kepentingan rakyat. Perlu dipahami pula, bahwa dibanyak negara PPP berakhir dengan buruk dan tidak bekerja dengan baik sebagaimana diinginkan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Beberapa problem umum yang menjadi implikasi penerapan PPP adalah otoritas kota menggunakan dana pajak untuk membiayai kontruksi dan bagaimana pelayanan dapat berjalan. Hakikatnya, publik membayar pembangunan yang dilakukan swasta, selain itu konsep PPP membuka lebar praktek-praktek korupsi, kebohongan dan persekongkolan rahasia antara pemerintah dan pengusaha (www.world-psi.ord). satu sisi konsep PPP telah menipu masyarakat, sisi yang lain dengan basis profit tentu saja kebijakan ini akan mencelakakan rakyat. Jika demikian adanya, maka ada dua peroblem menyoal pembangunan infrastruktur dikota bandung: pertama dalam rangka apa suatu proyek itu dipaksakan untuk diadakan. Kedua adalah menyoal konsep buruk dari public private partnership yang lebih menguntungkan swasta ketimbang otoritas kota. Realita ini justru otoritas kota bandung memiliki mentalitas kepemimpinan pedagang bukan bermental mengurusi kepentignan rakyat. Bukan soal mana pedangan baik dan buruk, namun dalam konteks PPP misalnya, kesepakatan bahwa swasta yang mengerjakan infrastruktur justru memberikan masalah baru, yakni ketidakseriusan dalam membangun fasilitas publik dan terbukti beberapa proyek menabrak RTRW, menabrak aturan lingkungan, menabrak undang-undang hanya semata-mata untuk kepentingan bisnis, bisnis. profit! Kebijakan ini benar-benar tidak layak bila rakyat disalahkan dengan 25% tanggung jawab, atau media 25% harus menjilat kebijakan buruk ini, atau capital power diposisikan hanya 25% dalam memberikan seolah ‘bantuan’. Penyamaan derajat dalam peran sangatlah mengaburkan dan membiaskan kebijakan yang ada. Pembagian itu telah menyeret masyarakat untuk mengakui masalah karena dirinya sendiri, padahal masalah diciptakan oleh otoritas kota bahkan yang paling diuntungkan adalah capital power dimana mereka mengobrak-abrik keadaan kota bandung sehingga berdampak kerusakan dalam berbagai aspek kehidupan. Boleh jadi, inilah yang memiliki pengaruh dalam kebijakan, yakni capital power yang memiliki bobot 100% dalam membuat perubahan-perubahan hanya dengan bermodalkan uang.

Dangan melihat seperti itu,  tampaknya ukuran kemajuan atau rapor pemkot seolah bisa dianalogikan dengan siswa yang sedang mengerjakan ujian. Apakah dapat dibenarkan bila dalam suatu ujian tertentu seorang siswa membawa soal dari rumahnya yang telah dibuat dan dikarang sendiri, kemudian mengerjakannya disekolah dan meminta kepada guru untuk memeriksanya sehingga keluarlah rapor bahwa siswa itu mendapatkan nilai begini dan begini. Dari analogi tersebut, apakah pantas berbagai proyek dan infrastruktur yang diinisiasi oleh pemkot dalam lajur kerjasama swasta tanpa adanya tuntutan yang nyata dari masyarakat sebagai kebutuhan mendesak? Malah masyarakat dijadikan bagian integral dalam penilaian itu. Celakanya penilaian hanya mengandalkan survey berdasarkan ukuran yang tidak substansial, yakni antara indikator yang diukur merupakan dampak dari kebijakan dengan sumber munculya kebijakan tidak sama sekali muncul dari keinginan rakyat. hal ini seolah terputus dan selaras dengan analogi yang telah digambarkan itu. Secara sistemik, rakyat pun mengalami ketidakterwakilan akibat sistem kebijakan yang mengacu pada demokrasi. DPRD belum tentu mewakili warga bandung dikarenakan mereka adalah kelompok minoritas saja dan faktanya tidak mewakili kehendak warga bandung, hal itu dikarenakan mekanisme suara mayoritas berlaku berlaku dalam penyusunan undang-undang didalamnya, poros kebijakan otoritas kota bandung. Padahal, pertimangan proyek infrastruktur harus mempertimbangkan dengan penuh keseriusan tidak asal-asalan, apakah infrastruktur itu ketika diadakan akan membahayakan masyarakat atau tidak? Apakah ketiadaannya akan membahayakan masyarakat atau tidak? Itulah yang menjadi pertimbangan, bukan malah yang dijadikan pertimbangan adalah apa-apa yang tidak menjadi kebutuhan mendesak bagi masyarakat. 

Bila telah jelas ternyata kebijakan pemkot bandung membahayakan masyarakat dengan seabrek perjanjian investasi yang ada, orientasi profit yang menjangkiti pemkot itu sendiri karena berkolaborasi dengan kekuatan kapital, maka sudah barang tentu kebijakanlah yang menjadi dalih yang tepat bahwa kebijakan pemkot bandung mengarahkan kepada keburukan bagi masyarkat. Menyoal pemanfaatan information power dan dilegitimasikan bahwa dengannya adalah cara agar masyarakat dapat mengetahui soal kebijakan ini, begini dan begini. Tentu tidak ada salahnya sebagai informasi bersumber dari pihak pertama. Namun, jika disandingkan bahwa informasi itu tidak lepas dari kebijakan yang keliru dan memperburuk keadaan, informasi meski dari pihak pertama telah termanfaatkan oleh kekuatan politik yang memiliki 100% bahkan diatasnya telah terkendali 100% capital power dalam membuat perubahan itu dalam kenyataannya. Maka, inilah upaya pembenaran dan logika terbalik, semestinya masyarakat diajak berfikir mengenai kebijakannya itu bukan melihat siapa walikotanya tapi apa kebijakannya. Mau dikenal ataupun tidak walikotanya tidak akan memberikan pengaruh, yang memberikan pengaruh adalah kebijakannya apakah memperburuk atau memperbaiki. Itulah yang penting bagi masyarkat sehingga tidak terjebak dengan zona pencitraan. 

Kami melihat, ketika political power telah disandingkan dengan capital power sehingga bekerja sama melalui PPP dan dana hibah misalnya, hal ini menguras 100% kekuatan politik itu, bahkan boleh jadi capital power memiliki keleluasaan dan pengaruh yang dominan. Hal ini terbukti dengan pembangunan infrastruktur yang tidak memperhatikan beberapa aspek yang mesti dilihat baik dampak lingkungan, regulasi birokrasi dan penting tidaknya bagi masyarakat. Dari realitas ini, bilamana dinyatakan bahwa beberapa jalan atau sumber banjir misalnya menyalahkan provinsi, otoritas kota pusat tentulah tampak seperti lempar batu sembunyi tangan. Otoritas kota menjelajah keluar negeri demi meraup banyak dana dan investasi, pembangunan infrastruktur dibangun dimana-mana. Namun tatkala terjadi dampak dari pembangunan itu berupa macet dan banjir malah menyalahkan wilayah otoritas yang lebih tinggi. Walaupun, satu sisi dapat dibenarkan pula secara sistem dan aturan yang berlaku. Namun dari sisi bahwa sebagai walikota yang memiliki 100% pengaruh perubahan sangat tidak etis. Walaupun perlu disadari pula, posisi Walikota dengan kewenangannya yang dibatasi oleh undang-undang dan mendapatkan pengaruh dari wilayah otoritas yang lebih tinggi menyoal volume air (yang menyebabkan banjir) dari hulu yang harus ditangani oleh provinsi, hal itu menjadi posisi dilematis bagi otoritas kota bandung dalam merealisasikan keinginan-keinginannya dan menyelesaikan masalah yang hinggap kepada dirinya. Jika dilihat dari posisi dilematis tersebut, tampaklah bahwa dalam cakupan kota, warga bandung tidak memiliki 25% pengaruh dalam perubahan bahkan menyusut atau dengan melihat eksistensi wakil rakyat yang merekalah memiliki kemampuan melahirkan undang-undang dan membatasi kewenangan, warga bandung tidak memiliki pengaruh sedikitpun kecuali bila mampu menggerakan wakil-wakilnya, itupun bila ada irisan kepentingan diantara dua pihak itu. Jika tidak ada, aspirasi akan diterlantarakan sebagai suara sumbang yang tidak berguna.

Dengan melihat kedudukan walikota berdasakan kemampuan memberikan kebijakan memiliki pengaruh 100%, namun posisi yang dilematis dan pembatasan undang-undang terhadapnnya mungkin menyusutkan dari 100%, bolehlah dikatakan kedudukan walikota menjadi 25%, belum lagi masuknya kekuatan kompromi, kekuatan kapital dalam mendominasi perealisasian pembangunan infrastruktur melalui skema public private partnership telah mengkerdilkan walikota, boleh jadi hanya memiliki 5% pengaruh, bahkan DPRD boleh jadi menyusut hingga batas 10%, dan kelompok berduit inilah yang mengendalikan keadaan dan kebijakan yang ada, Maka sesungguhnya Warga Bandung telah kehilangan kekuasaannya, warga bandung telah diobrak-abrik ditambah upaya depotilisasi yang ditimpakan kepada warga bandung telah menjadi kondisi yang menguntungkan bagi penguasaan warga bandung untuk diarahkan dan mengikuti kepentingan politik mereka, dimana mereka (pejabat publik) bersandar pada kepentingan kaum kapital (capital power). Gambaran ini telah menunjukan dengan gamblang, bahwa bedah bandung yang diadakan jum’at kemarin tidak sampai pada pembahasan yang substansial, namun terarah kepada citra yang terus dipertahankan.

Demikianlah kiranya, zona pencitraan menjadi zona yang pasti ada dalam sistem otoritas kotaan yang tengah bercokol di Indonesia, hal itu dikarenakan orientasi profit tampak terlhiat walaupun kita tidak menggunakan media dalam mendapatkan fakta itu, kita cukup berjalan keluar dan melihat masyarakat, tampak bahwa kehiduapn hari ini diukur oleh uang (manfaat), dan sangat mustahil bila kebijakan terlahir bukan selain daripada adanya pertimbangan untung dan rugi, orientasi profit. Maka dari itu, problem kota bandung bukan hanya problem ketidakmampuan pembangunan, bukan pula pembangunan yang mesti berkemajuan bersifat materil yakni dibangunnya berbagai infrastruktur canggih, bukan. Akan tetapi, problem bandung adalah problem paradigmatik, yakni mengarahkan kebijakan-kebijakan untuk sesuai dengan kehendak masyarakat. Namun dengan catatan, masyarakat memiliki panduan dalam menentukan kehendak yang dimana parlemen daerah (DPRD) dan induknya sistem demokrasi tidak mengakomodir itu.

Masyarakat harusnya memililiki panduan dalam menentukan benar dan salahnya, yang mesti tidak berangkat dari masyarakat itu sendiri, namun berangkat dari kehendak Pencipta manusia, panduan itulah hukum-hukum syariah. Dan keterwakilan mereka akan terjamin ketika penguasa daerah dan kepala negara menjadikan Al-Quran dan As-Sunah sebagai satu-satunya petunjuk dalam menurunkan kebijakan mereka. sehingga, kehendak masyarakat berada pada koridor yang benar, dan mengontrol kebijakan otoritas kota pun benar, namun hal itu mesti ditopang oleh sistem agar kewenagnan kepala daerah tidak terbajak pula. Maka penerapan sistem yang menunjang realisasi hukum-hukum syariah dalam mengintegrasikan kebijakan daerah dan negara menjadi keharusan dan kebutuhan yang mendesak dalam mengetaskan berbagai problem kehidupan. [VM]

Posting Komentar untuk "Bedah Bandung, Dibedah Secara Tidak Substansial!"

close