Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

BUNKRI: Bandung Dalam Pusaran Politik Pragmatis Skala Nasional

Deklarasi BUNKRI
Oleh : Aji Teja H
(Kajian Strategis GEMA Pembebasan Kota Bandung)
Hari minggu lalu tepatnya tanggal 30 Oktober 2016, Ridwan Kamil melalui instrumen masyarakat mengadakan Deklarasi Bandung untuk NKRI. Dalam acara itu dideklarasikan beberapa poin inti yang menyerukan kembali pengembalian nilai-nilai Pancalisa dan UUD 1945 dalam zona kehidupan sosial bermasyarakat. Acara ini sempat menuai kontroversi menyoal simbol-simbol syiah dan yahudi yang bertengger dikalangan peserta baik di kaos bahkan parade yang menjadi bagian acara tersebut. Tak kurang pula poster yang berisikan simbol yahudi (baca: pendeta). Akun bodong sempat menimbulkan kecurigaan dan akun twitter yang mengatasnamakan IJABI (kelompok syi’ah) seolah melakukan penggembosan dengan menyatakan dukungannya terhadap penyelenggaraan BUNKRI ini. Tentu saja, sensitivitas umat Islam tersulut tatkala BUNKRI seolah didukung oleh kelompok-kelompok yang memang bersebrangan dan menjadi common enemy bagi umat Islam di Indonesia.

BUNKRI hadir dalam kondisi politik nasional yang penuh dengan aksi-aksi anti ahok. Tidak dipungkiri, Pilkada DKI menjadi awal bersih-tegangnya situasi saat ini. Mungkin bisa ditarik sejak viralnya video yang disokong oleh aktivis GEMA Pembebasan Jakarta dalam penolakannya terhadap ahok berdalih Tolak Pemimpin Kafir, hingga ucapan ahok mengundang amarah macan yang tertidur (Umar Islam) dengan menghina surat Al-Maidah ayat:51. Tentu hal ini semakin meningkatkan eskalasi kemarahan Umat Islam. Ditambah isu BUNKRI yang sarat dengan simbol-simbol anti Islam, walaupun penyelenggaraan mengatasnamakan negara yang dipandang kenetralannya. Namun perlu disadari, penyelenggaraan BUNKRI berdasarkan perspektif tempat penyelenggaraan mesti di Bandung dalam mengawalinya, mengindikasikan bahwa ada yang tidak beres di Bandung terhadap NKRI terlebih mengharuskan adanya deklarasi secara resmi dipimpin oleh Otoritas Walikota. Ketidakberesan tersebut memungkinkan kepada beberapa hal kemungkinan, Pertama, menunjukan tuduhan terhadap masyarakat kota bandung bahwa rakyat kota bandung dalam keadaan tidak membela negara. Kedua, Bandung sebagai icon kota Islami di Nusantara tengah dijadikan triger awal dalam upaya deklarasi ini, hal ini menunjukan bahwa ada problem mengenai ke-Islam-an Kota Bandung, terkhusus umat Islam. Anggapan ini diperkuat oleh beberapa aksi anti-ahok yang menuntut diadili secara hukum. Kami sempat menyambangi konsolidasi aksi yang digawangi oleh API pada hari Rabu lalu (26/10/16). Dalam paparannya, gol yang ingin diperoleh dari rangkaian aksi ini adalah, tertangkapnya ahok dan diadili secara hukum karena penghinaannya terhadap Al-Quran. Walaupun demikian polri memastikan bahwa proses hukum atas kasus ini sedang diproses (liputan6.com, 31/10/2016). Namun, benarkan problem inti berada pada kedua hal diatas, sehingga penyelenggaraan BUNKRI memposisikan Masyarakat Bandung sebagai pihak yang bersalah? Padahal isu bandung tengah pada prioritas isu teknis yakni mengenai macet dan isu banjir. Tampaknya ada lintas kepentingan yang masuk kedaerah Bandung, yang tentu saja isu diluar Bandung, dimana viralnya telah melebar pada tataran Nasional. Alhasil, kejanggalan alasan BUNKRI di bandung dan Intruksi pemerintah pusat terhadap walikota menjadi dua hal yang memastikan, bahwa BUNKRI adalah problem politik pada tingkat nasional dalam konteks ini adalah para pemain ditataran Nasional yang tengah dalam pertarungannya.

Keberjalanan isu ahok telah menggulirkan ruang yang melebar bagi siapa saja yang ingin ikut andil memanfaatkan momen. Sebagaimana penuturan Bpk. Iman Soleh, S.IP (Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP UNPAD) bahwa isu ini memungkinkan adanya penumpang gelap. Hal ini mengindikasikan kuat adanya kepentingan politik baik dalam memainkan isu ahok dan menunggangi massa yang telah memuncak kemarahannya penghinaan penghinaan ahok atas Al-Maidah:51. Keterlibatan ormas-ormas Islam dalam aksi anti ahok rentan dipolitisir bahkan ditunggangi oleh aktor tertenru, hal demikian dikarenakan beberapa pertimbangan, Pertama, aksi anti ahok mulai bergeser kepada ranah kemarahan dan bergerak secara emosional. Kedua, aksi tolak ahok mulai bergeser dari isu “Tolak Pemimpin Kafir” menjadi “Tangkap Ahok”. Paralihan isu ini tampaknya telah mengkebiri problem utama bahkan mengerucut pada pengetasan problem secara parsial, sehingga tidak mempermasalahkan lagi tentang pemimpin kafir, yang terpenting adalah Ahok ditangkap. Walaupun meski dapat dilihat kepemimpinan ahok 5 tahun kebelakang menandakan masyarakat tak peduli kafir atau tidak kafirnya seorang pemimpin. Jika demikian, siapa yang bermain dalam mengepung ahok sebagai pusat target tembakan itu tiada lain adalah lawan-lawan politiknya. Sebagaimana diketahui, keluarnya Ahok dari Gerindra mengindikasikan bahwa kini, lawan politik Ahok tidak bisa dipungkiri dari kalangan oposisi pemerintah, Gerindra. Statement sinis kader Gerindera terhadap dukungan untuk ahok pun kerap dilayangkan kepada partai-partai yang dianggap mendukungnya. Misalnya, Arief Puyono (Waketum DPP Gerindra) mengatakan bahwa Partai yang dukung Ahok termasuk turut serta ikut menista agama. Partai Gerindra akan mendukung PDIP bila mencalonkan Basuki Tjahaja Purnama (ahok) sebagai calon wakil gubernur pada Pilkada DKI 2017 (rimanews, 24/8/16). Tampaknya Gerindra mengalami kekhawatiran bila pola Jokowi menjadi RI 1 terulang lagi bilamana Ahok menjadi RI 1 bila menjadi Gubernur DKI Jakarta kelak. Satu-satunya kekuatan bagi PDIP adalah dengan memanfaatkan Ahok bila ditahun mendatang Mega tak mau kehilangan konstituen pada pemilu serentak 2019.

Namun dengan eskalasi meningkat, massa yang termobilisasi dengan isu agama ini “memungkinkan” menjadi kendaraan politik bagi lawan politik ahok, sedemikian juga secara tidak langsung menjadi lawan politik bagi partai pendukungnya, PDIP. Sekaligus partai koalisi Pemerintah sekaligus Jokowi dan seabrek deretan orang-orang pendukungnya. Penghinaan terhadap Al-Maidah seolah menjadikan ahok sebagai “orde barunya” reformasi yang mengkebiri mayoritas massa umat Islam. Pembacaan akan hal ini sering diselaraskan dengan situasi chaos pada tahun 1998. Berdasarkan temuan TPGF menyatakan bahwa kerusuhan memiliki pola umum yang dimulai dengan berkumpulnya massa pasif yang terdiri dari massa lokal dan massa pendatang (tak dikenal), kemudian muncul sekelompok provokator yang memancing massa dengan berbagai modus tindakan seperti membakar ban atau memancing perkelahian, meneriakkan yel-yel yang memanasi situasi, merusak rambu-ratnbu lalu lintas, dan sebagainya. Setelah itu, provokator mendorong massa untuk mulai melakukan pengrusakan barang dan bangunan, disusul dengan tindakan menjarah barang, dan di beberapa tempat diakhiri dengan membakar gedung atau barang-barang lain. Di beberapa lokasi ditemukan juga variasi, di mana kelompok provokator secara langsung melakukan perusakan, baru kemudian mengajak massa untuk ikut merusak lebih lanjut (Temuan TPGF). 

Dalam situasi yang seperti ini, mobilisasi massa yang terus dilakukan dimana-mana padahal lingkup politik ahok hanya sebatas jakarta saja, memungkinkan terjadinya lecutan-lecutan untuk memaksimumkan kemarahan Umat Islam ini. Bergeloranya kemarahan akan menimbulkan kondisi yang tidak stabil dan mudah diprovokasi. Bila berjatuhan korban hal ini akan menimbulkan situasi yang amat genting, boleh jadi pembacaan Yusril yang menganggap situasi ini seperti 98 adalah benar. “Sebagai salah seorang yang berada di pusat pusaran krisis 1998, saya memahami situasi yang kita hadapi sekarang ini serius," ujar mantan penulis pidato Presiden Soeharto ini” ungkap Yusril (JPNN, 26/10/16). Hal itu pun meneguhkan situasi genting tatkala edaran informasi mengenai aksi besar-besaran 4 November yang dilayangkan oleh Polri terhadap seluruh jajarannya dengan memberikan status SIAGA I. tepat hari ini tanggal 31/10/2016, Jokowi pun menemui Prabowo, entah apa yang dibahas apakah menyangkut aksi besar-besaran itu, namun Jokowi menyebutkan pembahasan seputar Pilkada dan UU Pemilu. Pertemuan ini menandakan bahwa ada kondisi yang genting dan mengancam terhadap kepemimpinan Jokowi.

Dengan demikian, Bagaimana BUNKRI sebagai bagian integral dari kerangka keamanan Rezim ini? Tentulah Bandung dijadikan Trigger peredam dalam menumpas kemarahan Umat Islam. BUNKRI tampak menjadi kendaraan bagi kepemimpinan politik legal, Jokowi. Hal itulah mengapa Otoritas Kota berada pada pusaran kepentingan politik dalam skala Nasional. Jika melihat skema diatas, maka tampaklah bahwa BUNKRI adalah untuk memutarbalikan fakta. Yakni berdalih agar masyarakat (khususnya Umat Islam) untuk membela negara, namun justru Negara dalam konteks ini adalah Koalisi pemerintah dan Jokowi didalamnya menyerang balik dengan BUNKRI demi meredam massa, dimana massa termobilisasi oleh lawan politiknya, ialah oposisi pemerintah itu sendiri. Maka, semakin jelas posisi bandung dalam lingkaran kekuasaan yang ada, Bandung sebagai alat yang terombang-ambing sebagaimana Masyarakat yang terengah-engah melihat situasi politik yang ada. Berbagai pembenaran-pembenaran dalam wujud keberagaman, budaya, saling menghargai, tolerasi dan sebagainya menjadi buah bibir yang merias kepentingan politik sesaat! 

Dalam kondisi demikian, tentulah Otoritas kota bandung harus memiliki sikap yang independen, dan tidak sarat dengan kepentingan tertentu, termasuk menafikan dalih regulasi. Otoritas bandung harus memahami betul mengenai posisi masyarakat bandung yang teromabng-ambing ini dalam kondisi politik skala nasional. Hal itu mengharuskan upaya ‘menahkodai’ masyarakat kearah yang benar, bukan diarahkan kepada pusaran politik pragmatis sebagaimana ditandai dengan penyelenggaraan BUNKRI, yang akhirnya membenarkan masyarakat untuk diredam dan disalahkan dan disaat yang sama dinaikan dan dilecut oleh aktor politik lain. Seharusnya otoritas walikota mengambil alih masyarakat dan melepaskan dari dua jeratan koalisi pragmatis ini. Hanya saja, pengarahan itu atau upaya menahkodai itu tampaknya menjadi hal yang mustahil dikarenakan regulasi yang ada memaksa Kota untuk taat aturan, sekalipun aturan tersebut menyisipkan kepentingan politik tertentu. Inilah posisi dilematis seorang pejabat publik yang menjadi bawahan dari sistem yang mengakomodir suara-suara kompromistis masuk dan menjebak pejabat publik agar berkompromi juga dengan keaadaan.

Berdirinya otoritas kota dalam sistem demokrasi mengharuskan dirinya agar rela dieksploitasi oleh kepentingan partai melalui lajur sistem yang legal. Posisi ini harus mengorbankan masyarakat sekalipun atas nama konstitusi. Setelah masyarakat dikorbankan, masyarakat dijadikan alat legitimasi dan memunculkan instrumen buatan dalam diri masyarakat untuk menyelenggarakan BUNKRI. Betapa jahatnya sistem demokrasi yang saling mencaplok nama dan melegitimasi antar institusi baik negara maupun masyarakat demi kepentingan pragmatis bagi keompok-kelompok tertentu. Bila demikian adanya, isu bela negara dalam konteks dan konten BUNKRI menjadi tidak relevan terhadap sirkulasi politik yang ada. Namun isu ini adalah alat jual demi menyamaratakan dominasi sosial yang ada, sehingga dapat meredam segmentasi masyarakat yang terlecut itu, walaupun sumber lecutan bertolak dari pengusa sendiri.

Menurut kami, masyarakat harus menggeser kembali, keluar dari zona emosional yang telah menjebak pergerakan mereka lebih mengerucut kepada arah parsial. Masyarakat harus berlepas dari ketentuan-ketentuan publik yang telah terkooptasi oleh kepentingan individual kelompok penguasa tertentu, sehingga menjadikan masyarakat terpenjara dalam berbagai bidang kehidupan. Masyarakat harus berlepas diri jika tidak mau dipermainkan sebagaimana hari ini terjadi. Jalan satu-satunya adalah mengarahkan kembali emosi kemarahan semata-mata bertolak dari kejernihan fikiran yakni menempatkannya pada lajur perintah dan menjauhi larangan Allah SWT. Sehingga, dengan melihat dalam lajur itu, pandangan kemarahan tidak akan mengerucut tapi memandang dengan seimbang dan jelas bahwa ternyata, tangkap ahok adalah solusi praktis, dan masih ada yang harus diperjuangkan yakni memberangus keberadaan kepentingan politik tadi secara sewenang-wenang yang merupakan buah dari sistem. Sehingga, dengan perintah Allah SWT tersebut, masyarkat mestinya menyingkirkan sistem ini sehingga menggantikannya dengan sistem berbasis pada ideologi Islam.

Kami tidak menyebutkan bahwa ini semakin meningkatkan eskalasi yang menuai chasos walaupun berakhir pada revolusi, akan tetapi upaya ini adalah menempatkan penguasa pada posisi yang benar dan berpijak pada segmentasi masyarakat yang benar. Yakni menjadikan umat Islam sebagai tempat rujukan karena ide-idenya adalah ide Islam. Tidak sebagaimana hari ini penguasa berdiri tegak diatas segmen masyarkat kapital yang mengendalikan berbagai aspek kehidupan termasuk politik oportunis yang kini terjadi. Jika hal demikian dilakukan, komplotan yang berkepentingan diatas akan terjungkirkan dengan sendirnya, dan kepemimpinan baru akan tumbuh mengikuti ketentuan syariah. Maka, demikianlah pentingnya upaya membawa kembali umat Islam kepada koridor yang benar, memperjuangkan Agama bukan semata-mata tangkap ahok namun menegakan institusi penerap demi tertegaknya perintah-perintah Allah SWT dan upaya penjauhan larangan-Nya melalui institusi Khilafah, dimana Bandung akan hadir sebagai kota yang penuh keberkahan. [VM]

Posting Komentar untuk "BUNKRI: Bandung Dalam Pusaran Politik Pragmatis Skala Nasional"

close