Demokrasi Hanya Membolehkan Demonstrasi, Gagal Jadi Solusi


Oleh: Pipit Agustin R.

4 Nopember 2016 telah menjadi hari bersejarah baru di Indonesia. Ratusan ribu bahkan sampai jutaan umat Islam berkumpul di Jakarta melakukan aksi damai dengan satu dorongan, satu tujuan, dan satu suara. Mereka menuntut keadilan atas kasus penistaan agama yang telah dilakukan oleh calon gubernur pertahana DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok.

Aksi damai umat islam ini diapresiasi oleh Komnas HAM sebagai demonstrasi paling bermartabat yang pernah terjadi di Indonesia. Akan tetapi pemimpin tertinggi negeri yang katanya demokratis ini nampak tak bergeming. Diam bak karang saat diterjang gelombang. Gelombang demonstrasi yg beresonansi dari penjuru timur hingga barat negeri ini seolah tidak berarti. Apa gerangan yang terjadi di negeri bertitel demokrasi yang menempati ranking ke tiga dunia (setelah India dan AS) ini? Mengapa suara suara umat islam -yang merupakan mayoritas- tidak diapresiasi sebagaimana mestinya?

Respon penguasa terhadap aksi 411 menunjukkan lagi-lagi demokrasi tidak bekerja pada wilayah dimana umat islam yang menjadi korban. Lantas, seperti apa wajag asli demokrasi?

Ternyata, terlihat adanya standard ganda dalam demokrasi. Demokrasi yang katanya adalah sistem yang mewakili suara mayoritas, ternyata tidak berlaku bagi islam dan umatnya. Tuntutan umat islam -sebagai umat mayoritas- untuk menegakkan huku bagi Ahok tidak direspon/ direspon sangat lambat oleh pemerintah. Berbeda halnya jika tuntutan itu datang dari kalangan minoritas, pemerintah sangat cepat bertindak, seperti halnya kasus pembakaran masjid di Tolikara, Papua.

Kenapa? Bukankah demokrasi itu adalah sistem terbaik dan berpihak pada aspirasi rakyat? “Dari, oleh, dan untuk rakyat”, benar-benar cuma slogan. Slogan!

Nampak pula bahwa demokrasi sejatinya adalah sistem yang individualistik. Salah satu pilar yang paling menonjol dalam sistem demokrasi adalah kebebasan. Negara hadir untuk menjamin kebebasan individu ini; baik kebebasan beragama, berpendapat, bertingkahlaku maupun kebebasan untuk memiliki sesuatu. Karena itu, atas namanya pula setiap orang -termasuk Ahok- bebas berpendapat apa saja, termasuk mengomentari dan menistakan agama lain, kitab sucinya, dan hal-hal yang disucikan oleh penganutnya.

Dalam aplikasi lain, demokrasi dijadikan alat untuk menjarah dan menjajah negara lain. Memaksakan penerapan seluruh nilai-nilainya dalam praktek kehidupan bernegara. Namun disisi lain, saat umat islam bersuara, mengeluarkan pendapat untuk menuntut apa yang menjadi hak-haknya dalam beragama dalam rangka membela agamanya.

Seandainya paham kebebasan berkespresi tanpa batas yang kerap diklaim sebagai bagian dari nilai nilai HAM universal semacam ini diadopsi Indonesia, apakah mungkin negeri ini akan semakin damai dan sejahtera. Siapapun yang masih berpikir waras akan mengatakan tidak. Sederhananya, jangankan al Qur’an, seandainya ada pihak lain yang menuduh orang tua kita yang waras sebagai orang gila,  saya yakin kita tidak akan pernah rela dan marah besar terhadap penghinaan tersebut. Berarti hanya abnormal saja yang rela melihat orang lain menghina kehormatan keluarga dan orang tuanya. Dan lebih amoral lagi kalau ada umat Islam yang diam dan rela melihat pihak lain menghina al Qur’an.  Sebab, di mata umat, menjaga al Qur’an melebihi kecintaan kepada orang tua dan sanak keluarga.

Apakah ini demokrasi yang ia mengklaim untuk terus melindungi kaum penista agama, yaitu demokrasi yang dibangun di atas kecurangan, bukan berdasarkan pembuktian? Apakah kebebasan berekspresi akan dijamin oleh kalian, asalkan tidak mengekspresikan pendapat Islam?

Lebih dari itu, barat telah memperlihatkan kekalahannya dalam peperangan merebut hati umat Islam, dengan menggunakan ideologinya yang bengkok. Setelah kekalahan itu, Barat kembali merujuk kepada nilai-nilai hakikinya, melalui kontrol, pelarangan, teror, kekuatan dan pembunuhan. Ini adalah nilai-nilai itu sendiri yang kita saksikan di laman internet dalam menutupi peristiwa-peristiwa benteng Ganji, Falujah dan Guantanamo. Kejadian-kejadian itu seharusnya sudah cukup untuk membuka mata mereka yag mendukung kebebasan berpendapat secara membabi buta. Merupakan satu kegilaan mengharapkan suatu kebaikan untuk umat manusia dari barat yang tidak bisa toleran terhadap sepotong kain yang menutupi wajah wanita muslimah yang memilih mengenakan niqab. 

Kebebasan untuk menjelekkan, mengutuk, ataupun mengejek tidaklah menunjukkan suatu masyarakat yang dewasa. Ini justru merupakan simbol dari kecacatan dan ketidakmatangan ideologi dan sistem yang tidak bisa membedakan antara hak untuk mendebat dan mendiskusikan ide secara terbuka, mengungkapkan penentangan terhadap penindasan, atau meminta pertanggungjawaban penguasa –dimana semua ini adalah ciri sehatnya sebuah masyarakat yang beradab- dari budaya pengganggu kekanak-kanakan yang sering menghina dan mengumpat.

Gambaran jahat pelecehan terhadap al Qur’an adalah cerminan dari logika jahat sistem sekuler-liberal yang memeluk keyakinan absurd bahwa penghinaan terhadap entitas sakral dan keyakinan agama yang dipegang teguh dapat melahirkan suasana positif dalam diskursus gagasan/ ide. Penghambaan buta terhadap kebebasan berekspresi ini jelas bukanlah sarana kemajuan, melainkan adalah resep untuk kekacauan! Begitu juga ketidakrasionalan kaum sekuler yang gagal untuk memahami bahwa setiap manusia pasti memiliki kepekaan tertentu, termasuk keyakinan beragama, dimana jika tidak dihormati atau dilindungi akan mengarah pada kemarahan, kekacauan dan bahkan kekerasan. 

Islam sebagai risalah rahmatan lil alamin bukanlah agama yang anti terhadap kebebasan termasuk kebebasan berekspresi. Sebaliknya, Islam justru memberikan jaminan kebebasan tidak hanya kepada umat Islam namun juga non muslim tentunya dalam batasan batasan yang telah ditetapkan hukum syara. Jauh sebelum lahirnya ide HAM, Islam sudah memberikan jaminan kebebasan sekaligus perlindungan terhadap hak hak  individu dalam bentuk kebebasan beribadah, kebebasan berusaha dan kebebasan sosial.  Ketika daulah khilafah (negara Islam) masih tegak dan menerapkan hukum Islam, masyarakat muslim maupun nonmuslim dapat bebas menjalankan ibadah tanpa harus takut mengalami penistaan, diskriminasi dan intimidasi. [VM]

Posting Komentar untuk "Demokrasi Hanya Membolehkan Demonstrasi, Gagal Jadi Solusi"