Dalang Krisis Somalia
Oleh : Umar Syarifudin
(Pengamat Politik Internasional)
Kantor PBB bagi Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) melaporkan bahwa kebutuhan atas bantuan kemanusiaan di Somalia tetap sangat besar; sebanyak 4,9 juta orang memerlukan bantuan dan 1,1 juta orang kehilangan tempat tinggal mereka di seluruh negeri Somalia.
Perang saudara di Somalia sudah berlangsung sejak tahun 1991 & masih berlangsung hingga sekarang. Sangat sulit mendeskripsikan perang ini sebagai konflik antara siapa melawan siapa akibat begitu banyaknya pihak yang terlibat dalam perang ini di mana pihak-pihak yang terlibat memiliki kepentingannya masing-masing. Akibat perang sipil Somalia, antara 300 ribu hingga 1 juta orang dilaporkan harus kehilangan nyawanya. Perang ini juga berakibat pada menjamurnya aktivitas pembajakan di perairan Somalia karena perairan Somalia sering dilewati oleh kapal-kapal yang melintasi Terusan Suez. Dilihat dari segi kependudukan, Somalia nampaknya memiliki komposisi penduduk yang homogen. Hampir semua penduduknya berasal dari etnis Somali, berbahasa Somali, & memeluk agama Islam. Namun faktanya, Somalia memiliki komposisi kependudukan yang jauh lebih rumit & beragam karena mereka terbagi-bagi dalam sejumlah klan (kelompok berisi orang-orang yang memiliki kesamaan garis keturunan). Keberadaan klan di Somalia tidak bisa dipandang sebelah mata karena penduduk Somalia cenderung menempatkan kepentingan klannya sendiri di atas segalanya.
Tahun 1969, Muhammad Siad Barre yang berasal dari klan Marehad / Marihan naik menjadi pemimpin baru Somalia lewat kudeta militer. Selama memimpin Somalia, Barre menerapkan gaya pemerintahan tangan besi atas rakyatnya. Barre juga memiliki cita-cita memperluas wilayah Somalia & sempat melakukan invasi militer ke Ogaden - wilayah Ethiopia yang berpenduduk mayoritas etnis Somali - pada tahun 1977. Perang tersebut berakhir dengan kekalahan pihak Somalia, namun pemerintah Somalia tetap melanjutkan dukungannya kepada kelompok pemberontak di Ogaden. Pemerintah Ethiopia lantas membalasnya dengan cara mendukung kelompok-kelompok penentang rezim Barre.
Memasuki dekade 1980-an, kondisi domestik Somalia semakin memburuk akibat merosotnya perekonomian negara & semakin jenuhnya rakyat Somalia terhadap gaya pemerintahan otoriter rezim Barre. Untuk menjaga kelangsungan rezimnya, Barre lalu membentuk pasukan khusus bernama Red Berets (RB; Baret Merah; Duub Cas) pada tahun 1986. Semua anggota RB berasal dari klan Marehad & RB nantinya menjadi terkenal atas tindakan brutalnya terhadap orang-orang dari klan non-Marehad. Akibatnya sudah bisa ditebak. Bukannya berhasil memadamkan perlawanan, mereka yang menentang rezim Barre malah semakin gigih melakukan perlawanan dengan membentuk kelompok-kelompok bersenjata.
Para penentang rezim Barre mengandalkan fanatisme klan sebagai modal untuk mendapatkan dukungan bagi kelompoknya masing-masing. Kelompok-kelompok tersebut antara lain Somali Salvation Democratic Front (SSDF; Front Demokratik Keselamatan Somalia) yang berasal dari klan Majertin, Somali National Movement (SNM; Gerakan Nasional Somalia) yang berasal dari klan Isaaq, Somali Patriot Movement (SPM; Gerakan Patriot Somalia) yang berasal dari daerah Ogaden, & United Somali Congress (USC; Dewan Somalia Bersatu) yang berasal dari klan Hawiye.
Banyaknya kelompok bersenjata yang terlibat dalam konflik untuk menggulingkan dirinya membuat Barre semakin terpojok. Sadar kalau dirinya tidak punya pilihan lain, Barre memutuskan untuk meninggalkan Mogadishu pada bulan Januari 1991 sebelum kelompok-kelompok penentangnya bisa menduduki ibukota. Namun Barre rupanya masih belum rela melepaskan tampuk kekuasaannya. Tidak lama usai meninggalkan Mogadishu, Barre & para pengikutnya membentuk kelompok baru bernama Somali National Front (SNF; Front Nasional Somalia) dengan harapan bisa kembali menguasai Somalia via jalur perjuangan bersenjata. Lengsernya Barre sekaligus menjadi awal dari dimulainya perang saudara Somalia.
Munculnya ICU sebagai penguasa de facto Somalia mengundang kekhawatiran dari Ethiopia, negara tetangga Somalia di sebelah barat. Karena selain ingin mengubah Somalia menjadi negara Islam, ICU juga ingin menyatukan wilayah-wilayah berpenduduk mayoritas etnis Somali, salah satunya wilayah Ogaden di Ethiopia. Maka, pada bulan Desember 2006, Ethiopia pun mengirimkan pasukannya ke Somalia & perang sipil Somalia memasuki babak baru. Masuknya pasukan Ethiopia mendapatkan dukungan dari TFG yang memang sedang membutuhkan bantuan untuk memerangi ICU & mendapatkan kembali statusnya sebagai penguasa berdaulat SomaliaKarena lebih unggul dalam hal kualitas persenjataan, hanya dalam waktu singkat pasukan gabungan Ethiopia-TFG berhasil merebut wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh ICU, termasuk Mogadishu. Keberhasilan tersebut lalu diikuti dengan bubarnya ICU menjadi organisasi-organisasi yang lebih kecil menjelang awal tahun 2007. Salah satu kelompok pecahan ICU tersebut adalah Al-Shabaab, yang terkenal berkat praktik agama Islam versi mereka yang cenderung kaku & seringnya kelompok tersebut menggunakan taktik bom bunuh diri. Kelompok lain yang terbentuk dari sisa-sisa bekas anggota ICU adalah Alliance for the Re-liberation of Somalia (ARS; Aliansi untuk Membebaskan Kembali Somalia).
Dengan mengusung ideologi agama & sentimen anti-Ethiopia, Al-Shabaab berhasil menarik simpati penduduk lokal untuk mendukung perjuangan bersenjatanya. Hasilnya, Al-Shabaab berhasil merebut kembali sebagian besar wilayah Somalia selatan yang sebelumnya dikuasai oleh pasukan Ethiopia & TFG hanya dalam kurun waktu beberapa bulan. Di pihak berseberangan, wilayah yang masih berada di bawah kendali pasukan Ethiopia & TFG kini tinggal ibukota Mogadishu & daerah kecil di sekitarnya. Namun Ethiopia & TFG bukan tanpa bantuan sepenuhnya. Pada tahun 2007, organisasi Uni Afrika membentuk pasukan koalisi bernama "African Union Mission in Somalia" (AMISOM; Misi Uni Afrika di Somalia) untuk membantu menjaga keamanan di wilayah yang masih dikuasai TFG.
Sejak menempatkan pasukannya secara langsung di Somalia pada tahun 2006, pemerintah Ethiopia merasa kesulitan untuk mendanai pasukannya yang ada di sana mengingat Ethiopia bukanlah negara kaya. Pemerintah Ethiopia juga dipusingkan oleh semakin banyaknya tentara Ethiopia yang gugur di Somalia. Maka, pada bulan Januari 2009, Ethiopia pun menarik mundur seluruh pasukannya dari Somalia. Mundurnya pasukan Ethiopia secara otomatis membuat pasukan TFG kini harus berjuang sendirian dalam perang melawan kelompok-kelompok pemberontak Islamis setempat.
Bulan Februari 2009, jumlah pihak yang memerangi TFG sedikit berkurang setelah TFG setuju untuk menambah jumlah kursi parlemen supaya bisa ditempati oleh para mantan anggota ICU. Namun Al-Shabaab masih tetap ngotot melanjutkan perlawanan bersenjata & bahkan menuduh orang-orang dari golongan Islamis yang menyetujui kesepakatan damai dengan TFG sebagai pengkhianat. Sebagai akibatnya, perang sipil Somalia pun terus berlanjut dengan Al-Shabaab sebagai kelompok pemberontak utamanya. Tahun 2010, Al-Shabaab meledakkan bom di Uganda sebagai peringatan kepada pemerintah Uganda agar segera menarik mundur pasukannya dari koalisi AMISOM. Serangan tersebut sekaligus menjadi serangan pertama Al-Shabaab di luar Somalia.
Somalia sebagai negara yang selalu menderita perang saudara antara para penguasa suku lokal, faksi sekuler dan faksi islam dan kini antara faksi islam moderat dan islam radikal. Namun jangan lupakan intervensi AS dan sekutunya terutama Eithopia. Keinginan hegemoni Somalia inilah yang membuat AS sebagai penyebab terjadinya kekerasan dan kekacauan yang terjadi di Somalia. Tentu saja AS akan selalu bertindak menurut kepentingan nasionalnya terlepas dari siapapun presidennya, termasuk pada era Trump ini.
Kepentingan-kepentingan AS terlihat menonjol dengan kebijakan-kebijakan AS terhadap Somalia, dengan dana yang mengalir dari pemerintahan Bush di tahun 2006, tentara Eithiopia membantai warga sipil, melakukan tindak kejahatan perang dan didukung oleh serangan AS dengan alasan adanya ancaman SICC yang merupakan tonggak terorisme. Ini semua terjadi meskipun SICC telah berhasil membawa kestabilan di Somalia. Sejak secara resmi mundur dari Somalia di bulan Januari 2009, pasukan Ethiopia masih bercokol di Somalia untuk melindungi kepentingan asing Barat. Di samping itu keberadaan pasukan penjaga perdamaian Uni Afrika juga melakukan tugas untuk menjaga kepentingan Barat di sana.
AS kini khawatir pengaruh Cina di Afrika yang semakin kuat. Didorong oleh kebutuhan mineral dan energi, Cina melakukan banyak bisnis di sana yang semakin menyaingi AS di benua Afrika. Afrika menjadi sasaran bagi kekuatan adidaya seperti AS, Cina dan Eropa untuk memperebutkan sumber alam, sebagaimana apa yang terjadi di masa kolonial dulu. Kekhawatiran terhadap minyak, sumber energi, pengaruh Cina, dan jalur laut akan selalu menjadi prioritas AS. AS juga sangat memperhitungkan ancaman Ideologi Islam yang menguat di Tanduk Afrika yang memiliki gejala untuk menyatu dengan Timur Tengah. Ketakutan akan kembalinya Khilafah yang terbentang dari Asia hingga Tanduk Afrika membuat pembuat kebijakan AS kehilangan tidur .
Dengan demikian, Somalia dan Afrika menjadi sasaran keinginan AS untuk mengendalikan sumber alam dunia. Semua presiden AS akan selalu menerapkan kebijakan untuk mendukung para rezim brutal selama mereka mampu melindungi kepentingan AS di Timur Tengah, Asia Selatan, atau Afrika. AS justru lebih tertarik melanjutkan penerapan kebijakan seperti pendudukan militer, serangan rudal, campur tangan politik.
Penyelesaian kekacauan di Somalia ataupun di seluruh negeri muslim memerlukan tujuan yang lebih menyeluruh. Kekerasan terhadap umat Islam harus ditolak karena perang antar sesama muslim adalah yang diinginkan musuh Islam. Inilah rencana AS untuk memecah belah Afghanistan dan Pakistan, sebagaimana rencana AS di Somalia dengan mendukung Sharif melawan Al Shahab untuk memastikan bahwa setiap perlawanan terhadap AS akan dibasmi. Hanya Khilafah yang mampu menghentikan pendudukan asing dan campur tangan politik asing dan mengembalikan harkat dan martabat umat Islam. [VM]
Posting Komentar untuk "Dalang Krisis Somalia"