Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jembatan Ploso Mangkrak, Sampai Kapan ?


Oleh : Abu Zaidan
(Anggota Departemen Politik DPD Hizbut Tahrir Kab. Jombang)

Salah satu akses transportasi warga Jombang jika ingin ke daerah Ploso dan sekitarnya adalah melalui jembatan Ploso. Namun kemacetan di  jembatan sungai brantas Ploso sering dirasakan oleh pengguna lalu-lintas yang melewati daerah itu apalagi di pagi atau sore hari serta dihari-hari libur. Hal itu dikarenakan  jembatan Ploso adalah jembatan yang menghubungkan empat kabupaten dan menjadi jalur satu-satunya dan biasanya juga digunakan sebagai jalur alternatif. Dengan kondisi jembatan yang sempit dan bertambahnya volume kendaraan yang melintas yang merupakan faktor utama terjadinya kemacetan di area jembatan brantas Ploso serta kondisi jalan yang hampir siku di lintas pertigaan jalannya membuat akses belok sulit khususnya untuk kendaraan yang besar dan panjang.

Sebenarnya untuk mengatasi kemacetan ini pemerintah kabupaten Jombang telah membangun proyek jembatan baru di sebelahnya sejak tahun 2012 lalu. Bahkan pembangunan tiang pancangnya sudah selesai pada pertengahan tahun 2014. Namun hingga kini proyek itu masih terbengkalai tanpa kepastian kapan akan diteruskan. 

Akar Masalah

Terhentinya proyek pembangunan jembatan baru Ploso, membuat pemerintah pusat mendesak Pemerintah Kabupaten Jombang untuk segera menyelesaikan pembebasan lahan. Sebab, hingga saat ini baru tiga tiang pancang yang sudah rampung dikerjakan sejak pertengahan tahun 2014. Sementara, pembangunan konstruksi lainnya mangkrak tak tergarap akibat belum selesainya proses pembebasan lahannya. Pernyataan tersebut disampaikan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Mochamad Basuki Hadimuljono saat melakukan kunjungan ke Kabupaten Jombang, Sabtu (20/2). Dia mengatakan, terhambatnya pembangunan jembatan baru Ploso bukan lantaran tidak adanya biaya. Tapi lebih disebabkan karena permasalahan belum tuntasnya upaya pembebasan lahan terdampak proyek.

’’Pembangunan jembatan baru Ploso memang terhenti dan saat ini baru selesai tiga tiang. Itu karena pembebasan lahan yang belum tuntas,’’ ujarnya, di sela kegiatan peresmian rumah susun (rusun) khusus santri Pondok Pesantren Darul Ulum Desa Kepuhdoko  Kecamatan Tembelang. Dia menambahkan, tahun kemarin ada puluhan miliar anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang tidak terserap. Hal ini disebabkan, karena terhentinya proyek pembangunan jembatan baru Ploso. ’’Tahun kemarin, ada Rp 23 miliar yang tidak terserap karena pembangunan tidak dapat dilaksanakan,’’ tambahnya.

Basuki meminta, Pemkab Jombang segera menyelesaikan upaya pembebasan lahan. Mengingat pembangunan tersebut juga untuk kebutuhan masyarakat Jombang sendiri. ’’ maka kami meminta beliau ini (Bupati, red) ini untuk segera menyelesaikan pembebasan lahannnya. Karena menurut saya, kalau bahasa kerennya itu lebih cepat lebih baik,’’ jelasnya.

Sementara itu, Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko sudah mematok deadline proses pembebasan lahan jembatan baru Ploso ini. Menurutnya, proses pembebasan lahan bisa diselesaikan tahun 2016 ini. ’’Target kami tahun ini sudah selesai semua,’’  ujarnya. Bupati menambahkan, hingga saat ini kurang dari 15 persen dari jumlah lahan terdampak di bagian selatan sungai yang menjadi tugas pemkab Jombang dalam proses pembebasannya.  ’’Jumlahnya sekitar 6 bidang yang belum selesai dibebaskan,’’ tambahnya. Masih menurut Nyono, selama ini yang menjadi kendala yakni ada warga yang enggan melepaskan tanahnya untuk kelanjutan proyek, lantaran belum ada titik temu antara pemerintah dengan pemilik lahan perihal harga appresial yang sudah ditetapkan pemerintah. ’’Mereka (warga terdampak) minta Rp 2 juta permeternya. Sedangkan harga dipasaran tidak sampai segitu. Nah ini yang menjadi kendala,’’ pungkas Bupati.

Pandangan Islam

Islam sebagai agama dan ideologi yang sempurna telah mengatur semuanya termasuk persolan pembangunan jembatan yang sangat dibutuhkan masyarakat namun terkendala pembebasan lahannya. Tanah adalah termasuk harta yang boleh dimiliki individu dalam pandangan Islam. Kepemilikannya juga terbilang mudah. Siapa saja yang mematok lahan tak bertuan (tanah mati) lalu menghidupkannya maka serta merta tanah itu menjadi miliknya. Sabda Nabi saw.:

مَنْ أَحَاطَ حَائِطًا عَلَى أَرْضٍ فَهِيَ لَهُ

“Siapa yang mematok sebidang tanah maka tanah itu miliknya,”(HR. Ahmad, Thabrani, Abu Daud, Bayhaqi)

Juga sabdanya yang lain:

مَنْ أَعْمَرَ أَرْضًا لَيْسَتْ لِأَحَدٍ ، فَهُوَ أَحَقُّ

“Siapa yang mengelola sebidang tanah yang tidak ada pemiliknya seorangpun, maka ia lebih berhak (memilikinya)”(HR. Bukhari).

Kepemilikan lahan itu juga disyaratkan adanya pengelolaan seperti menanaminya, membersihkan lahannya, membangun bangunan di atasnya seperti rumah, kantor, peternakan, dsb. Bila dalam jangka waktu 3 tahun tidak dikelola, maka berarti ia telah menelantarkan tanah tersebut dan negara berhak mengalihkan kepemilikannya kepada orang lain yang sanggup mengelolanya. Amirul mukminin Umar bin Khaththab ra. Pernah mengalihkan kepemilikan lahan milik Bilal al-Muzni yang mendapatkan pemberian lahan dari Rasulullah saw. Umar melihat Bilal tidak menggarap tanah tersebut. Maka beliau menegurnya, “Sesungguhnya Rasulullah tidak memberimu tanah sekedar untuk kau pagari sehingga mencegah orang lain (untuk mengelolanya)….Karena itu ambil saja bagian yang dapat kau garap, dan kembalikanlah sisanya.” Khalifah Umar juga berkata kepada kaum muslimin, “tidak ada hak setelah (menelantarkannya) selama tiga tahun.” Ini menjadi ijma sahabat sehingga hukum syara dalam kepemilikan lahan. Dalam Islam, patok tanah dan pengelolaannya yang menjadi bukti kepemilikan tanah. Adapun dalam hal pembuktian di pengadilan dibuktikan dengan adanya saksi-saksi layaknya muamalah dalam Islam.

Meski demikian bisa saja Daulah Khilafah mengambil alih kepemilikan lahan pribadi menjadi kepemilikan umum maupun negara bila ada alasan syar’iy untuk mengambilnya. Misalnya masyarakat membutuhkan jalan baru yang mau tidak mau harus melewati kawasan tersebut, atau perlu waduk untuk penampungan air. Karena jalan umum dan waduk adalah hajat hidup masyarakat, maka lahan tersebut akan dialihkan kepemilikannya menjadi milik umum. Negara juga bisa juga mengambil alih tanah tersebut untuk pembangunan sarana pemerintah seperti instansi pemerintah, laboratorium penelitian, markas militer, bila dirasa lahan tersebut memang layak dijadikan instansi pemerintah.

Tentu saja Negara Khilafah wajib memberi kompensasi atas pengambilalihan lahan tersebut dengan harga sebagaimana kelaziman harga tanah di wilayah tersebut. Haram bagi negara membeli tanah warga dengan harga di bawah kelaziman. Pembangunan sarana umum tersebut juga harus dikelola oleh pemerintah dan akses pemanfaataannya juga terbuka bagi umum. Bila dibangun jalan umum maka tidak boleh dikuasai swasta lalu warga harus membayar jika melewatinya, sebagaimana konsep jalan tol yang sekarang digunakan di tanah air. Bila dibangun rumah sakit maka setiap warga punya hak untuk berobat secara gratis di sana karena memang menjaga kesehatan masyarakat adalah kewajiban negara dengan tanpa memungut bayaran, sebagimana konsep BPJS saat ini . Bila dibangun pertambangan maka hasil tambangnya harus diberikan kepada masyarakat; apakah dalam bentuk langsung seperti BBM dan gas atau air, atau bisa pula dalam bentuk kompensasi yang lain seperti untuk ongkos pendidikan dan kesehatan bagi seluruh warga tanpa kecuali.

Tidak tergarapnya proyek jembatan ploso saat ini membutuhkan solusi yang segera harus dituntaskan dan sebenarnya Islam telah menawarkan kepada kita bagaimana mengatasinya. Tinggal bagaimana kita mau menggambilnya atau tidak, tentu sebagai muslim tidak ada pilihan lain selain mengambil Syariah Islam. Hanya saja Syariah Islam harus diambil secara kaffah dengan menegakkan Khilafah dan Islam akan menjadi rahmat bagi semuanya. [VM]

Posting Komentar untuk "Jembatan Ploso Mangkrak, Sampai Kapan ?"

close