Mengerikan, Indonesia Darurat Perceraian!
Oleh : Lilis Holisah, S.Pd.I
(DPD I Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Provinsi Banten)
Tabiat manusia menginginkan kehidupan yang harmonis dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam ranah domestik atau dikenal dengan kehidupan berumah tangga. Adalah hal yang sangat wajar jika seseorang berkeinginan untuk selamat dalam kehidupan pernikahan. Hanya saja menjalani kehidupan berumah tangga penuh dengan lika-liku yang harus dijalani, pada akhirnya ada yang bisa menyelamatkan biduk rumah tangganya, ada juga yang tak mampu mempertahankannya alias kandas di tengah jalan.
Mengamati fenomena perceraian di Indonesia, sungguh membuat miris. Angka perceraian di Indonesia meningkat setiap tahunnya. Bahkan termasuk yang tertinggi di dunia. Bukan sesuatu yang membanggakan yang pasti. Indonesia darurat perceraian!
Kasubdit Kepenghuluan Direktorat Urais dan Binsyar Kementerian Agama, Anwar Saadi mengungkapkan kenaikan angka perceraian mencapai 16-20 persen berdasarkan data yang didapat sejak tahun 2009 hingga 2016. Pada tahun 2011, angka perceraian sempat turun, yaitu sebanyak 158.119 dari 285.184 sidang talak tahun sebelumnya. Angka perceraian tertinggi terjadi pada tahun 2012. Pada tahun tersebut, angka perceraian mencapai 372.557. Dengan kata lain, terjadi 40 perceraian setiap jamnya di Indonesia. Peningkatan gugatan cerai suami istri tertinggi se-Indonesia ada di Banyuwangi, Jawa Timur. Persentase perceraian di Banyuwangi mencapai di atas 30 persen.
Sementara berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2013, angka perceraian di Indonesia menduduki peringkat tertinggi di Asia Pasifik. Dan angka perceraian tersebut tak kunjung menurun di tahun-tahun berikutnya.
Faktor ekonomi menjadi alasan utama kasus perceraian di Indonesia. Ketimpangan pendapatan antara suami dan isteri, -dimana pendapatan isteri lebih besar dari suami- adalah alasan isteri menggugat cerai suami. Disamping juga gaya hidup hedonisme yang menggempur manusia di era kapitalisme seperti saat ini.
Gaya hidup hedonisme merenggut idealisme pasangan dalam pernikahan. Dalam kehidupan yang serba materialistis saat ini, kehidupan diukur dengan materi. Kesenangan jasadiah menjadi tolak ukur kebahagiaan. Gaya hidup yang serba mewah membuat seseorang hidup diluar kemampuan ekonominya. Alhasil, faktor ini juga menjadi penyumbang angka perceraian yang terus meningkat.
Selain itu, dengan alasan ingin membantu ekonomi keluarga, seorang isteri banyak yang pergi menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri. Berdasarkan Pusat Penelitian Pengembangan Dan Informasi Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (PUSLITFO BNP2TKI), jumlah TKW tahun 2015 mencapai 166.771 orang dari total TKI 275.736 orang atau 60,48% dari jumlah total TKI di tahun yang sama.
Keluarnya para ibu ke luar negeri mengais rejeki, menyebabkan terabaikannya hak asuh anak dan terenggutnya kewajiban wanita dalam rumah tangga. Alhasil konflik rumah tangga pun tak bisa dihindari, pada akhirnya perceraian menjadi pilihan.
Gempuran pemikiran feminisme dan kesetaraan gender juga menyumbang pada tingginya angka perceraian. Paham feminisme dan kesetaraan gender yang diadopsi oleh sebagian kaum perempuan Indonesia, menyebabkan bangunan keluarga kian rapuh. Kaum perempuan merasa bisa mandiri tanpa bantuan kaum pria. Wanita bisa eksis di dunia kerja mengalahkan eksistensi kaum pria. Alhasil dengan pemikiran seperti ini, sebagian kalangan dari kaum perempuan merasa tidak memiliki kebutuhan untuk membangun rumah tangga bersama kaum pria. Perceraianpun menjadi pilihan hidup.
Faktor-faktor di atas adalah penyebab terjadinya perceraian di Indonesia, disamping juga karena banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menjadi pemicu perceraian. Semua itu dilatarbelakangi oleh penerapan sistem kapitalisme yang melahirkan banyak kerusakan.
Kapitalisme telah merampas hak-hak manusia. Demi meraup keuntungan, berbagai aset dikapitalisasi, seperti sumber daya air, barang tambang, minyak dan gas bumi, pendidikan dan kesehatan. Alhasil kehidupan menjadi demikian sempit. Untuk mendapatkan pelayanan publik harus bayar. Dalam memenuhi kebutuhan pun demikian susah, karena harga-harga sangat tinggi sementara pendapatan dan kesempatan kerja semakin rendah.
Dalam era kapitalisme, kemiskinan merajalela, kaum perempuan terpaksa harus berkompetisi dengan laki-laki agar bisa survive dalam kehidupan. Kapitalisme sama sekali tidak mengindahkan kesejahteraan sosial, kepentingan bersama, kepemilikan bersama ataupun yang semacamnya. Meski rakyatnya dihantui kemiskinan, tingginya angka perceraian, pemerintah seakan menutup mata dan tidak totalitas dalam penyelesaian.
Dimanapun manusia berada, ia selalu membawa fitrahnya sebagai manusia, menginginkan kehidupan yang sejahtera dan aman. Namun realitas tak selalu sesuai dengan harapan.
Realitas kekinian, -ketika Ideologi kapitalisme yang diterapkan di tengah-tengah umat manusia- fitrah ingin hidup dengan kesejahteraan ibarat mimpi di siang bolong. Hidup sejahtera laksana menggantang asap. Kehidupan sejahtera hanya layak didapatkan oleh orang-orang berkantong tebal. Sementara rakyat miskin dibiarkan hidup dalam kemiskinannya.
Islam sebagai agama yang sesuai dengan fitrah manusia memiliki sebuah sistem kehidupan yang lengkap. Politik Pemeritahan Islam, didedikasikan untuk melayani kepentingan masyarakat. Sebab, hakikat dari politik Islam adalah ri’ayah su’un al-ummah (pengurusan urusan umat) yang didasarkan pada syariah Islam. Karena itu, penguasa dalam Islam bagaikan penggembala (ra’in) dan pelayan umat (khadim al-ummah).
Dalam pandangan Islam, penguasa harus hadir dalam melayani kebutuhan umat. Terpenuhinya kebutuhan umat akan menutup pintu konflik rumah tangga yang berujung pada perceraian.
Secara ekonomi, penguasa harus memenuhi kebutuhan pokok setiap individu rakyat (sandang, pangan dan papan). Rakyat didorong untuk bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan itu semua. Jika kebutuhan pokok belum terpenuhi, keluarganya wajib membantu. Jika masih belum cukup, negara akan turun tangan. Tidak boleh ada individu rakyat yang mati kelaparan, atau hidup dalam kedingingan karena tidak memiliki pakaian dan rumah. Alhasil, peluang terjadinya perceraian sangat minimalis, karena Islam telah mewajibkan kepada penguasa untuk menyejahterakan rakyatnya. Selain itu, penguasa juga wajib melakukan pembinaan di tengah-tengah masyarakat untuk mempertebal keimanan setiap individu masyarakat. Dengan keimanan yang kokoh akan meminimalisir terjadinya kasus perceraian. Islam akan mengikis angka perceraian yang menjadi problem kekinian. [VM]
Posting Komentar untuk "Mengerikan, Indonesia Darurat Perceraian!"