Negara Ujung Tombak Bagi Ketahanan Keluarga


Oleh : Binti Istiqomah (MHTI Kab. Kediri)

"Bunda, adik tidur ya. Adik sakit, " Itulah salam perpisahan yang terucap dari mulut kecilnya sebelum akhirnya menutup mata dengan wajah tersenyum, kembali pada Sang Illahi.

Bryan Aditya Fadhillah (4), bocah di Palembang menghembuskan nafas terakhirnya setelah dianiaya oleh ibu kandungnya, Siska (23). Emosi mendengar tangisan sang buah hati, membuat ibu muda tersebut justru memukul dan menggigit lengan balitanya hingga berdarah. Tangisan semakin menjadi, sebuah tendangan mampir dibagian ulu hati (news.detik.com 23/11/16)

Namun Aditya tidak sendiri. Di kabupaten Magetan, bayi berjenis kelamin perempuan yang baru lahir juga mengalami nasib tragis ditangan orang tuanya sendiri, Arik (24) dan Suprapti (24). Sebelum dibunuh, pasutri tersebut sudah menawarkan bayinya kepada teman-temannya untuk dirawat. Lantaran tidak ada yang menerima, bayi yang bahkan belum punya nama tersebut ditutup lubang hidungnya hingga tak bernyawa (kompas.com 21/10/16)

Membaca fakta-fakta di atas tentu timbul pertanyaan dalam benak kita. Sudah sedemikian sadiskah orang tua saat ini, hingga tega menghabisi nyawa anak sendiri? Jika orang tua, sosok yang paling bertanggungjawab atas keberadaan sang buah hati tak lagi menerima. Lalu, berapa banyak lagi nyawa tak berdosa harus terbuang sia-sia?

Ketidaksiapan Mental vs Himpitan Ekonomi

Tidak pahamnya tujuan pernikahan, seringkali menjadikan pasangan suami istri tidak bisa menjalankan fitrahnya dengan baik. Hanya sekedar mengikuti trend yang sedang gencar-gencarnya diserukan, tak jarang membuat muda-mudi melangsungkan pernikahan. Ada juga yang malu karena merasa usia sudah waktunya, disamping terus adanya dorongan dari keluarga menjadikan seseorang tak lagi menimbang bagaimana akhlak calon pasangannya. Padahal banyaknya usia tak lantas menjadi ukuran siap atau tidaknya seseorang untuk menapaki bahtera rumah tangga. Walhasil, bisa dibayangkan kondisi rumah tangganya seperti apa?

Ketika menikah tidak lagi dilandasi akidah yang kokoh dan bukan untuk tujuan ibadah, tapi hanya mengejar eksistensi diri, atau sekedar untuk bisa terpenuhinya kebutuhan biologis dan materi. Maka bisa dilihat seperti saat ini, banyak bangunan rumah tangga yang rubuh karena tak kuat menahan goncangan badai yang menerpa. Kesalahan kecil dalam bersikap berujung ketidakharmonisan. Kesalahpahaman dalam berkomunikasi berbuah pertengkaran hebat. Pada akhirnya salah satu dari pasangan suami istri yang tidak kuat memutuskan untuk minggat. Juga adanya pihak ketiga dalam rumah tangga akibat gaya hidup bebas sebelum menikah, menjadikan rumah tangga kian goyah. Nilai kepercayaan pun semakin pudar, sejalan dengan tumbuhnya benih-benih kecurigaan yang kian menambah resah. Belum lagi himpitan ekonomi yang kian mencekik dari hari ke hari, ditambah gaya hidup hedonisme yang tak henti meracuni, akhirnya menjadikan sang istri terjun melawan arus demi ikut mencari pundi-pundi rupiah. Apalagi saat ini hal itu semakin dimudahkan oleh program-program pemberdayaan ekonomi perempuan (PEP) oleh pemerintah. Akibatnya, kewajiban sebagai ummu wa rabbatul bayt tergadaikan. Pengasuhan dan pendidikan anak tak lagi diutamakan, malah justru diabaikan karena sudah disibukkan dengan pekerjaan.  Sehingga tingkah laku anak menjadi tak karuan dan cenderung melawan ketika diarahkan. Tak jarang dari anak-anak ini yang terlibat tawuran, bahkan lekat dengan pergaulan bebas yang berdampak pada kriminalitas. Faktor-faktor itu pulalah yang menjadi sebab melonjaknya angka perceraian khususnyabagi pasangan muda tiap tahunnya. Karena itulah pihak Kementerian Agama dikabarkan akan menambah durasi kursus pra nikah, untuk mengantisipasi meningkatnya angka perceraian.

Imbas Diterapkannya Sistem Kapitalisme-Sekulerisme

Saat ini negara-negara di dunia mayoritas menerapkan sistem Kapitalisme-Sekulerisme. Kapitalisme merupakan suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Sedangkan sekulerisme adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. 

Karenanya tidak dijadikannya akidah sebagai landasan membangun rumah tangga adalah dampak dari diterapkannya sistem kapitalisme-sekulerisme di negeri ini. Dimana sekulerisme membuat umat semakin dijauhkan dari agama yang seharusnya menjadi aturan hidup. Sedangkan kapitalisme menjadikan materi sebagai tujuan utama terbangunnya sebuah keluarga. Dari mulai mencari pasangan hingga menjalani kehidupan rumah tangga semua diukur dengan materi. Dibandingkan jabatan, popularitas, dan kerupawanan, akhlak menjadi urutan sekian untuk dipertimbangkan. 

Sejatinya program pemberdayaan perempuan ke sektor publik yang kemudian bermuara pada oritentasi ekonomi juga merupakan akibat dari penerapan sistem kapitalisme. Kapitalisme secara nyata menunjukkan perlakukan keji terhadap perempuan karena menilai perempuan sebagai komoditi yang layak dieksploitasi demi mendatangkan materi. Kapitalisme juga mengukur partisipasi perempuan dalam pembangunan bangsa hanya dari kontribusi materi. Akibatnya ketika krisis ekonomi melanda, banyak yang tak kuat sehingga menjadi pelaku maksiat. Ada suami yang korupsi demi memenuhi kebutuhan sang istri, menjadi pasangan pengedar obat palsu, menjual istri kepada pria hidung belang, atau seperti fakta di atas, hanya karena tak tahan mendengar tangisan, orang tua bahkan tega menghilangkan nyawa sang buah hati. Sungguh teramat miris dan sadis.

Pentingnya Peran Negara untuk Ketahanan Keluarga

Negara adalah perisai bagi ketahanan sebuah keluarga. Ibarat sebuah tombak, negara merupakan ujungnya. Kekuatan negara mampu menangkis segala ancaman yang datang dari musuh. Karenanya negara harus mengganti sistem Kapitalisme-Sekulerisme yang telah nyata kerusakannya dengan Sistem Islam. Negara akan mewajibkan masing-masing individu untuk memiliki akidah yang kokoh sehinggatumbuh darinya ketakwaan. Berbekal ketakwaan tersebut setiap orang akan menyadari tanggung jawabnya dalam membina rumah tangga. Sehingga permasalahan kecil justru menjadi bumbu yang semakin mempererat tali hubungan sebuah keluarga. 

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, himpitan ekonomi menjadi salah satu sebab banyaknya permasalahan rumah tangga yang berujung pada perceraian. Karenanya dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, negara akan mampu mengatasi berbagai masalah ekonomi yang ada. Negara akan menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai untuk para suami sehingga sang ibu juga tidak harus kehilangan peran pentingnya sebagai ummu wa rabbatul bayt. Ketika peran masing-masing individu sudah pada tempatnya, maka terbentuklah keluarga sejahtera dengan bingkai ketaatan. 

Tanpa adanya peran negara mustahil mewujudkan ketahanan utuh dalam sebuah keluarga. Karenanya tugas kita untuk kemudian mengembalikan peran negara yang mulai dikaburkan fungsinya. [VM]

Posting Komentar untuk "Negara Ujung Tombak Bagi Ketahanan Keluarga"