Rekonstruksi Pondasi Ketahanan Negara Dengan Ketahanan Keluarga
Oleh: Mihda Monika Rani
(Praktisi Kesehatan)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ketahanan berasal dari kata tahan: perihal tahan (kuat); kekuatan hati, kebetahan; kesabaran, dsb. Sedangkan nasional berarti kebangsaan; yang berkenaan dengan atau berasal dari bangsa sendiri. Sehingga bisa diartikan bahwa ketahanan nasional adalah kekuatan sebuah bangsa dengan SDM yang berkarakter untuk menghadapi segala tantangan dan hambatan dalam mencapai tujuannya.
Di era globalisasi saat ini, ketahanan nasional kita tengah terancam karena tergerus dengan nilai-nilai liberal yang kerap diistilahkan dengan nilai-nilai global dan menjadi lumrah di tengah-tengah masyarakat. Seperti contoh, kebebasan berekspresi yang pada akhirnya berimbas pada semakin meningkatnya kasus pergaulan bebas dan kenakalan remaja. Anggapan bahwa hidup hanya sekali hingga berhak melakukan apapun menjadi alibi agar kenakalan para generasi dapat dimaklumi oleh lingkungan masyarakatnya. Penggunaan narkoba dan minuman keras pun sering tidak terkendali seakan-akan menjadi kebutuhan pokok generasi saat ini. Apalagi ditambah dalih “suka sama suka” semakin membuat generasi merasa bebas melakukan hal-hal terlarang hingga berujung pada kematian, seperti yang dialami remaja asal Cilegon, Banten, Maureen Dwi Asmarani yang dipaksa pacarnya meminum minuman yang telah dicampur lotion anti nyamuk serta ragi yang dilakukan sebagai upaya menggugurkan bayi mereka (www.radarbanten.co.id, Juli 2016)
Keluarga sebagai pondasi ketahanan nasional saat ini memang harus mendapat perhatian khusus. Secara sosiologis, keluarga merupakan lembaga sosial dasar dari seluruh lembaga sosial yang berkembang di masyarakat. Sebagai pusat terpenting dari kehidupan individu, keluarga berperan pertama dalam memberikan pendidikan. Jika generasi sejak awal terbiasa melakukan hal-hal baik berdasarkan pemahaman yang benar maka akan terbentuklah sebuah ketahanan yang kuat dalam dirinya. Ketahanan individu inilah yang nantinya menjadi bekal untuk siap menghadapi setiap tantangan dalam kehidupannya.
Oleh karena itu, sebagai sebuah lembaga sosial, keluarga perlu memiliki seperangkat aturan atau nilai-nilai yang harus dipatuhi oleh semua anggotanya agar tercipta sebuah ketahanan keluarga yang kuat dan berimbas pada kuatnya ketahanan nasional. Nilai-nilai yang harus dipatuhi ini tentunya juga harus didasarkan pada pondasi yang kuat agar tidak mudah diabaikan oleh anggota keluarga.
Islam memandang keluarga sebagai tumpuan utama dan pertama dalam mempersiapkan generasi penerus peradaban. Setiap keluarga muslim berkewajiban memperkuat ketahanan keluarganya dengan landasan iman dan taqwa, serta kepatuhan dalam menjalankan syariat Islam dengan sebaik-baiknya. Allah berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman! peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan" (TQS. At-Tahrim:6).
Ketahanan keluarga Islami adalah konsep dalam menjaga kehidupan rumah tangga Islami dari nilai-nilai liberalisasi dan sekuler yang dapat mengancam eksistensi keluarga tersebut dalam mengamalkan nilai-nilai yang Islami. Hanya saja saat ini ada beberapa faktor yang melatarbelakangi lemahnya ketahanan keluarga muslim. Pertama, lemahnya komitmen individu terhadap nilai-nilai keislaman. Nilai-nilai keislaman adalah pondasi dalam membangun ketahanan keluarga. Rendahnya pengetahuan akan nilai-nilai yang Islami membuat komitmen terhadap nilai keislaman menjadi rendah. Akibatnya ketahanan keluarga akan mudah rapuh.
Kedua, gaya hidup yang hedonis dan matrealistis. Kehidupan yang lebih mementingkan materi membuat orangtua hanya berpikir untuk mencari uang yang banyak. Anak hanya dicukupi secara materi namun mengabaikan aspek kasih sayang dan perhatian. Akibatnya anak-anak banyak mencari perhatian di luar rumah, sehingga cenderung melakukan perilaku menyimpang. Ketiga, berkembangnya nilai-nilai jahilliyah yang mudah diakses melalui kemajuan teknologi yang terjadi saat ini. Nilai tersebut akan mudah diserap jika pondasi nilai-nilai keislaman keluarga rendah.
Keempat, minimnya komunikasi antar anggota keluarga. Tuntutan ekonomi terkadang membuat kedua orangtua harus bekerja. Kesibukan dalam bekerja seringkali membuat komunikasi antar anggota keluarga menjadi terhambat. Komunikasi yang terjadi justru lebih banyak melalui alat-alat komunikasi seperti smart phone. Padahal komunikasi primer antar anggota keluarga akan lebih meningkatkan keharmonisan keluarga. Kelima, lemahnya pembinaan keluarga. Pembinaan keluarga yang dimaksud adalah memperhatikan setiap hal yang terjadi pada anak dan memahami arahan apa saja yang harus diberikan kepada mereka sesuai kapasitasnya. Jika pembinaan keluarga ini lemah bahkan tidak berjalan maka ketahanan keluarga mustahil akan tercapai.
Berdasarkan hal ini, rekontruksi pondasi ketahanan nasional melalui perwujudan ketahanan keluarga sangat penting dilakukan. Ketahanan keluarga dapat dicapai bila mampu memenuhi lima aspek, sebagai berikut: Pertama, Kemandirian Nilai, khususnya nilai-nilai Islami mampu membentengi anggota keluarga dari perilaku hedonis dan liberalis. Orangtua menjalankan fungsi sosialisasinya berdasarkan nilai-nilai islam. Bila anak sudah memiliki pondasi nilai-nilai islam yang kuat, maka ia tidak akan mudah terpengaruh nilai-nilai negatif yang datang akibat globalisasi.
Kedua, Kemandirian Ekonomi baik dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Dalam Islam, seorang ayah berkewajiban untuk mencari nafkah yang halal bagi keluarganya, sebab nafkah yang haram bisa memberikan dampak yang negatif bagi anak. Orang tua harus benar-benar menjamin bahwa makanan yang dia berikan kepada anaknya 100% halal. Sedikit saja tercampur dengan yang haram maka anak akan merasakan akibat buruknya. Darahnya terkontaminasi haram, dagingnya tersusun dari zat haram maka hatinya akan tertutup dari rahmat Allah. Doanya tidak akan didengar oleh Allah SWT.
Ketiga, Kepekaan Sosial yang tinggi. Berlandaskan ketaqwaan kepada Allah, pembentukan karakter yang memiliki kepekaan sosial yang tinggi akan mudah dilakukan. Dimulai dengan melatih sikap santun pada orang lain, suka menolong, sangat perhatian terhadap masalah-masalah ummat, memperhatikan dan menghargai hak sesama, mampu berpikir berdasarkan perspektif orang lain, mampu berempati, artinya mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan seterusnya.
Keempat, Ketangguhan Menghadapi konflik. Menurut Gillin, konflik adalah bagian dari proses interaksi sosial manusia yang saling berlawanan. Artinya, konflik adalah bagian dari proses sosial yang terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan baik fisik, emosi, kebudayaan, dan perilaku. Atau dengan kata lain konflik adalah salah satu proses interaksi sosial yang bersifat disosiatif. Keluarga yang mampu menghadapi konflik akan menjadi keluarga yang tangguh. Konflik yang mampu diselesaikan dengan baik akan memberikan dampak yang positif, antara lain mampu meningkatkan solidaritas dan memunculkan nilai-nilai baru yang semakin mendorong terciptanya integrasi dalam keluarga.
Kelima, Kemampuan Menyelesaikan Masalah. Bila terjadi masalah dalam keluarga maka yang seharusnya dilakukan adalah menghadapinya. Keluarga muslim harus meyakini bahwa dibalik kesulitan pasti ada kemudahan. Masalah yang menimpa keluarga tidak boleh dihadapi dengan putus asa, sebab putus asa termasuk dalam dosa besar.
Bila kelima aspek tersebut dapat dipenuhi, maka ketahanan keluarga akan tercapai. Ketahanan keluarga yang baik akan memberikan pengaruh yang positif dalam kehidupan masyarakat dan negara. Nilai-nilai Islami yang menjadi pondasi ketahanan keluarga akan mampu menangkal nilai-nilai liberal yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa. Sehingga juga akan berpengaruh baik untuk rekonstruksi Ketahanan Nasional.[VM]
Posting Komentar untuk "Rekonstruksi Pondasi Ketahanan Negara Dengan Ketahanan Keluarga"