Tinggalkan Budaya Kufur Tahun Baru Masehi
Oleh : Ainun Dawaun Nufus
(MHTI Kab. Kediri)
Pengamat Sosial Politik
Momen perayaan tahun baru merupakan waktu yang sangat ditunggu-tunggu sekali oleh kebanyakan orang terutama pada kalangan remaja. Kebanyakan mereka mereka merayakan tahun baru dengan melakukan berbagai macam kegiatan hura-hura, diantaranya ada yang melakukan kemubadziran dengan konvoi keliling kota tanpa tujuan yang jelas bersama teman-temannya, ada yang membakar uang dengan melakukan pesta kembang api dan petasan, ada yang berdua-duaan dengan pacarnya untuk melakukan perbuatan kemaksiatan, dan ada pula yang menggunakan topi kerucut dan meniup-niup terompet kesana kemari sembari menunggu detik-detik pertukaran tahun baru masehi.
Budaya merayakan pergantian tahun merupakan kebiasaan orang-orang kafir. Sesunguhnya, yang terjadi adalah infiltrasi budaya kufur di tengah-tengah kaum muslim. Dan kini, sebagian besar muslim telah benar-benar terseret dalam budaya kufur tersebut. Mereka tidak merasa bahwa perayaan tahun baru adalah hadlarah (budaya) asing. Bahkan mereka menganggapnya sebagai sebuah kewajaran.
Perayaan malam tahun baru menjadi puncak kemaksiatan. Anak-anak muda melakukan hura-hura, pesta narkoba, hingga seks bebas, dengan alasan merayakan malam tahun baru. Menjelang Tahun baru, masyarakat larut dalam eforia semalam. Tingginya tindak kriminalitas dan ajang maksiat pun tidak bisa dipungkiri menghantui masyarakat tiap malam pergantian tahun itu.
Status hukum perayaan malam tahun baru jelas bagi umat Islam yakni haram. Semua bentuk perayaan tersebut jelas-jelas merupakan tindakan penyimpangan terhadap akidah dan syariah yang diturunkan Allah SWT. Perayaan tahun baru adalah budaya yang dimiliki oleh kaum di luar Islam.Namun mengapa saat ini kaum muslim latah ikut-ikutan merayakan, atau membesarkannya meski dengan sekedar ucapan selamat tahun baru, atau bersuka ria memadati tempat-tempat hiburan khususnya pada malam pergantian tahun.
Hura-hura di malam tahun baru menjadi cerminan bahwa kapitalisme semakin dominan. Kapitalisme mengutamakan kepentingan kapital, di mana ada dorongan kuat untuk digelar acara-acara hedonis dan hura-hura. Di balik acara tahun baru ada kepentingan bisnis, mendorong masyarakat untuk membelanjakan uangnya sebanyak-banyaknya.
perilaku hedonis kaum muda di malam tahun baru sulit dibendung. Salah satunya penyebabnya, himbauan ulama untuk menghentikan perilaku hedonis tidak tersosialisasikan dengan baik. “Himbauan ulama tidak maksimal karena tidak seimbang dengan sosialiasi ide-ide sekuler dan hedonisme. Media massa, utamanya televisi terlihat gencar mem-blow up acara hura-hura di malam tahun baru.
Ada kepentingan politik dan ekonomi dalam perayaan tahun baru, sehingga pemerintah enggan membuat aturan hukum yang melarang hura-hura di malam tahun baru. Kepentingan ekonomi, tahun baru bagi kelompok kapitalis sangat luar biasa bisa meraup keuntungan. Kepentingan politik, yaitu membudayakan budaya hedonis, sekuler untuk menjauhkan anak muda dari ajaran agama.
Islam telah melarang umatnya melibatkan diri di dalam perayaan hari raya orang-orang kafir, apapun bentuknya. Melibatkan diri di sini mencakup perbuatan: mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan untuk menyaksikan atau melihat perayaan orang kafir, mengirim kartu selamat, dan lain sebagainya. Adapun perayaan hari raya orang kafir di sini mencakup seluruh perayaan hari raya, perayaan orang suci mereka, dan semua hal yang berkaitan dengan hari perayaan orang-orang kafir (musyrik maupun ahlul kitab).
Padahal Rasulullah telah dari 1400 tahun yang lalu mewanti-wanti kita agar tidak terjerumus ke dalam hal tersebut. Sebagaimana Rasulullah bersabda dalam haditsnya yang artinya:
“Sungguh kalian akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai-sampai jika mereka masuk ke dalam lobang biawak gurun tentu kalian akan mengikutinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pesta tahun baru juga disertai acara meniup terompet dan memakai topi kerucut. Sanbenito merupakan sebutan bagi topi tersebut. Pada masa Raja Ferdinand dan Ratu Isabela berkuasa di Andalusia. Ketika kaum Muslimin dibantai, keduanya memberi jaminan hidup kepada orang Islam dengan satu syarat, yakni keluar dari Islam. Maka untuk membedakan mana orang yang sudah murtad (converso) dan mana yang belum adalah dengan cara melihat seorang Muslim menggunakan baju seragam dan topi berbentuk kerucut dengan nama sanbenito.
Topi itu digunakan saat keluar rumah, termasuk ketika akan berpergian kemanapun. Dengan menggunakan sanbenito, mereka akan aman dan tidak dibunuh. Kini, enam abad setelah peristiwa yang sangat sadis itu berlalu, para remaja dan anak-anak Muslim justru memakai sanbenito untuk merayakan tahun baru masehi dan merayakan ulang tahun. Meniup terompet dan memakai topi kerucut sanbenito sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah. Sebaliknya justru berasal dari kaum kafir, kaum yang sudah merampas kejayaan Muslim Andalusia, dan menghancurkan sebuah peradaban maju Islam di Andalusia ketika itu.
Hal yang sama juga berlaku pada perayaan tahun baru masehi. Perayaan tahun baru Masehi secara khusus memang sangat erat dengan hari raya kaum kafir. Peringatan tahun baru sudah dimulai sejak 45 SM pada masa kaisar Julius Caesar. Januari dipilih menjadi bulan pertama diantaranya karena dikaitkan dengan nama dewa Janus. Umat Kristen akhirnya ikut merayakannya. Berdasarkan keputusan Konsili Tours tahun 567 umat Kristen ikut merayakan Tahun Baru dan mereka mengadakan puasa khusus serta ekaristi. Lalu pada tahun 1582 M, Paus Gregorius XIII mengubah Perayaan Tahun Baru Umat Kristen dari tanggal 25 Maret menjadi 1 Januari. Sejak saat itu, umat kristen di seluruh dunia merayakan Tahun Baru mereka pada tanggal 1 Januari.
Umat Islam harus mewaspadai seruan-seruan yang mangajak merayakan atau mengucapkan selamat natal dan tahun baru. Sebab dibalik seruan itu ada bahaya besar yang bisa mengancam aqidah umat Islam. Seruan berpartisipasi dalam perayaan natal, tidak lain adalah kampanye ide pluralisme. Paham kufur yang mengajarkan kebenaran semua agama-agama di dunia. Bagi penganut ajaran pluralisme, tidak ada kebenaran mutlak. Semua agama dianggap benar. Itu berarti, umat muslim harus menerima kebenaran ajaran umat lain, termasuk menerima paham trinitas dan ketuhanan Yesus.
Seruan itu juga merupakan propaganda sinkretisme, pencampuradukan ajaran agama-agama. Spirit sinkretisme adalah mengkompromikan hal-hal yang bertentangan. Dalam konteks Natal bersama dan tahun baru, sinkretisme tampak jelas dalam seruan berpartisipasi merayakan Natal dan tahun baru, termasuk mengucapkan selamat Natal. Padahal dalam Islam batasan iman dan kafir, batasan halal dan haram adalah sangat jelas. Tidak boleh dikompromikan ! [VM]
Posting Komentar untuk "Tinggalkan Budaya Kufur Tahun Baru Masehi"