Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Indonesia Dilibas Bayangan "Trump Effect" (1)


Oleh : Hanif Kristianto 
(Analis Politik dan Media)

Babak baru Amerika Serikat (AS) dipimpin Donald Trump (DT). Sah sudah pelantikan Jumat 20 Januari 2017, penanda Trump siap menyetir AS. Pasca keterpilihannya dalam pilpres, beragam respon ditunjukan masyarakat dunia. Ada yang bergembira dan bersuka cita. Tak sedikit yang ketar-ketir hingga khawatir. Publik dunia pun menanti-nanti. Kira-kira seperti apa wajah AS di bawah kepemimpinan DT?

Pelantikan Donald Trump tidak luput dari perhatian Indonesia. Juru bicara Istana Kepresidenan, Johan Budi Sapto Pribowo, menyatakan Indonesia mengharapkan yang terbaik dari Trump untuk kelanjutan kerja sama Indonesia dengan Amerika ke depan. "Presiden Joko Widodo sudah mengatakan harapannya dari pelantikan Donald Trump adalah hubungan (kerja sama) yang baik. Hal itu sebenarnya berlaku untuk siapa pun yang menjadi Presiden Amerika," ucap Johan di Istana Kepresidenan, Jumat, 20 Januari 2017. 
(https://nasional.tempo.co/read/news/2017/01/20/078838063/donald-trump-jadi-presiden-as-ini-harapan-jokowi)

Bagi publik Indonesia, ‘Trump Effect’ menjadi suatu wacana tersendiri. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan mitra strategis  AS di Asia Tenggara. Bicara Indonesia tidak dapat dilepaskan dari Islam dan umatnya. Terlebih kesadaran politik umat Islam naik beberapa level di banding tahun sebelumnya. Kondisi demikian tidak terlepas dari semakin sadarnya umat Indonesia untuk bisa keluar dari kemelut ‘pertikaian antar-saudara’. Meski politik pecah belah dan adu domba masih terasa hingga saat ini. Kesadaran politik ini pula yang membuat negara mitra Indonesia, berbuat rencana untuk tetap bercokol di Indonesia. Segala tipu daya dan upaya diskenario sedemikian rupa. Hingga rakyat pun tidak menyadarinya.
 
AS bagi Indonesia dalam politik dijadikan rujukan dalam menentukan arah pemerintahan. AS seolah model sempurna dari pelaksana demokrasi dunia. Faktanya, bayangan manis itu tidak seperti kenyataannya. Karena demokrasi memang didesain untuk berkuasa atas nama rakyat yang mengakuinya. Demokrasi didesain bukan untuk memberikan kemakmuran bagi rakyatnya. Sebaliknya, konflik, kemiskinan, kekerasan, dan kemunduran tampak dialami negara demokrasi. Demokrasi pun tidak akan sempurna, karena demokrasi tidak memiliki akar kuat di tengah rakyat. Selama ini demokrasi bagi AS dijadikan propaganda untuk meraih dukungan dari negara sekutu dan mitranya. Serta upaya untuk hegemoni di dunia ketiga.

Memahami Politisi dan Polugri AS

Sikap DT sebagai negarawan dan politisi AS sangat terbuka. Tanpa basa-basi dan kompromi. Hal ini berbeda dengan Obama yang perkataan dan tindakannya menimbulkan tanya. DT dengan beragam ucapan dan perkataanya bagi yang kontra denganya dijuluki dengan ‘big mouth’. Pernyataannya sering bersebrangan dengan keinginan publik, bahkan cenderung kontroversial. Masa kampanyenya dapat diamati pernyataanya yang mengegerkan. Misalnya tidak akan menerima umat islam di AS, membangun tembok perbatasan, dan mengikuti kemelut perang di Timur Tengah. Dunia Islam pun memberikan reaksi dengan ketidaksepakatan dengan sikap arogannya.

Ideologi kapitalisme telah mendominasi kehidupan politisi AS, sehingga ideologi itu mengendalikan kehidupan mereka. Standar manfaat mendominasi kehidupan dan perilakunya. Selain itu sikap arogan dan suka menimpu yang dominan kuat dalam kehiduapn mereka. Politisi AS berpikir secara mendalam yang mengungguli kebanyakan politisi di dunia, berfikir cepat. Kemudian membuat beraneka ragam strategi dan memecahkan masalah. Barangkali ambisi untuk menjajah, di samping pendidikan yang tinggi, berpengaruh terhadap aktivitas politik mereka. 

Polugri AS adalah politik orang kaya dan pemilik perusahaan monopoli. Artinya, politik AS adalah politik imprealisme murni, yang tidak mengenal nilai-nilai luhur. Politis AS menganggap seluruh dunia adalah ladang bercocok tanam milik mereka. Mereka memandang negara-negara besar lainnya tidak layak untuk mempunyai pengaruh. Negara-negara besar itu dipaksa harus mundur, keluar, dan rela terhadap keadaan dunia yang ada, yaitu adanya ketundukan terhadap dominasi pihak-pihak yang kuat.

Pemahaman yang jernih terhadap politisi dan polugri AS akan membawa kepada dunia baru bahwa AS tidak selamanya menolong. Hasrat menguasai suatu negara begitu nampak dari beragam perjanjian dan kerjasama yang dilakukannya. Terlebih AS hadir di berbagai negara, khususnya di negeri-negeri kaum muslim. Indonesia bagi AS dipandang sebagai lahan untuk mengeruk SDA dan mencengkramkan hegemoni dalam beragam bidang dan hal. Karenanya rakyat Indonesia harus menyadari setiap di balik peristiwa yang dilakoni AS di Indonesia. Kewasapadaan dan kepekaan sepak terjang AS ini harus terus diwaspadai bagi keselamatan bangsa. Terlebih jika ingin selamat dari penjajahan gaya baru AS.

Efek ke Indonesia

Ada tiga hal—(politik, ekonomi, dan terorisme-radikalisme)—yang menjadi catatan dari ‘Trump Effect’ bagi Indonesia. Tiga hal itu merupakan lahan strategis bagi keberadaan AS untuk bisa bertahan di Indonesia dan Asia Tenggara. AS memahami betul ada mitra yang mencoba merangsek pasar Indonesia yakni China dan Rusia. AS harus berjaga-jaga dan menggalang kekuatan untuk membendung bahkan mengusir dominasi itu. Justru yang terjadi sebaliknya, pemerintah Indonesia salah tingkah dalam bersikap. Bahkan terkadang berdiri di semua kaki sebagai bukti tunduk pada kepentingan Asing dan Aseng. Dalam hal ini Asing yakni kapitalisme dari Barat; dan Aseng yakni kapitalisme dari Timur. [VM]

Posting Komentar untuk "Indonesia Dilibas Bayangan "Trump Effect" (1)"

close