Menggugat Pers Anti Islam!
Oleh : Umar Syarifudin
(Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia DPD Jatim)
Ketua MPR RI Zulkifli Hasan menginginkan media massa bersikap independen. Begitu pula mendukung Dewan Pers yang berencana menertibkan media yang selama ini melakukan pemberitaan yang tidak benar. "Ini harus ditertibkan, jangan sampai masyarakat tidak peduli lagi terhadap media lantaran ulah media sendiri," kata Zulkifli Hasan dalam rilis, Senin. Sebelumnya, Dewan Pers menerima sebanyak 750 pengaduan dari masyarakat terkait media massa selama 2016, 90 persen dari pengaduan tersebut untuk media arus utama dan sisanya media abal-abal. "Sebagian besar dari masyarakat, nomor dua dari birokrasi," ujar Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo di Jakarta, Rabu (4/1). (republika.co.id 10/1/17)
Catatan Kritis
Ada udang di balik batu kondisi pers saat ini. Di tengah derasnya arus informasi media menjadi mesin propaganda dan hegemoni. Hal ini disengaja untuk menciptakan suatu opini besar demi memalingkan rakyat dari fakta sebenarnya. Konglomerasi yang terjadi pada media pun semakin menunjukan bahwa kebenaran itu bersifat nisbi. Uang dan kepentingan di atas segalanya. Meski berjuluk media kredibel, namun terkadang pemberitaannya miring. Apalagi jika digunakan untuk menyerang Islam dan umatnya. Ideologi kapitalisme telah menjadi simbol media.
Simbol kapitalisme yang paling menonjol adalah media massanya. Mayoritas orang mendapatkan pandangannya terhadap dunia dari kacamata media. Kita akan sangat sulit melawan begitu gencarnya opini yang diciptakan secara linear dan tidak ada satu pembanding. Serta nyaris tidak ada pembanding. Kalau kita mencari sesuatu dan melemparkan satu counter opini saja, habis-habisan dibabat. Kita menghadapi satu leburan isu yang terus menerus secara berkesinambungan disampaikan kepada publik. Demokrasi selalu menerapkan kebebasan berekspresi tebang pilih.
Ketika dicermati secara seksama, media massa nasional tidak dimiliki oleh satu entitas yang homogen (monolitik) yang memiliki agenda yang sama dalam menyebarkan pandangannya. Sebaliknya, ada beberapa faksi yang saling bersaing untuk meningkatkan jumlah audiensnya dan pencapaian nilai komersial. Terkonsentrasinya jumlah kepemilikan terhadap media menghasilkan sistem yang bekerja untuk mempromosikan sekuleriame dan nilai-nilai komersialisasi. Kita akan bisa membaca kecenderungan pemberitaan media massa dewasa ini. Pendangkalan informasi bisa kita lihat sebagai kecenderungan umum yang dilakukan oleh media massa. Pemilihan berita-beritanya dilakukan atas pertimbangan mengganggu kepentingan pemilik modal atau tidak, sesuai kebutuhan pasar atau tidak. Pasar menjadi kuasa dan segalanya.
Media massa pragmatis, harus "menawarkan diri" kepada pembaca serta pemasang iklan untuk mempertahankan kehidupannya. Untuk itu, dilakukanlah kompromi-kompromi. Berita sudah tidak murni sebagai informasi innocent, melainkan sudah mengalami polesan promotif, baik dari pengusaha bahkan politisi dan merembes ke selebritas. Sisi lemah ini kemudian dijadikan alat oleh siapa pun, termasuk untuk membuat orang tak dikenal menjadi terkenal, bahkan untuk menjadikan mereka seolah sebagai "pahlawan".
Seseorang yang tadinya bukan apa-apa tiba-tiba bisa meroket namanya di kancah politik, misalnya, lebih karena kemampuannya "mendekati" media massa untuk membangun citra dirinya. Ranah politik praktis di Indonesia dengan karakteristiknya yang hingar-bingar, tak memerlukan kedalaman berpikir, sangat membuka peluang hadirnya tokoh-tokoh dadakan seperti itu.
Noam Chomsky dalam bukunya “Kuasa Politik Media” yang mengungkap peran propaganda media massa dalam rekayasa opini public. Para penguasa sebenarnya memiliki tujuan yang kontraproduktif dengan keinginan publik/ rakyat untuk terus melanggengkan kekuasaan. Bahkan Noam Chomsky juga mengatakan bahwa pengusaha media liberal telah mendidik orang-orang bodoh sebagai corong pengusaha dan penguasa. Hipokrasi terang-terangan yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh liberal seperti ini hanyalah bukti lain dari kegagalan sistem sekuler Barat dan penjelasan mengapa semakin banyak umat Islam menolak demokrasi sekuler dan memeluk Islam sebagai sistem yang mampu menentukan masa depan politik, ekonomi, dan sosial mereka.
Menggugat Anti-Islam
Sangatlah penting untuk memahami landasan penopang media sekuler dan akar penyebab kebencian terhadap Islam. Sumber kebencian ini berlandaskan kepentingan ideologis Kapitalisme. Dasar pemikiran ini tidak hanya menolak pengaturan kehidupan oleh tuntunan wahyu tetapi juga berjuang untuk mematikan setiap usaha yang terkait dengan penerapan wahyu. Maka, sekularisme menuntut agar agama dibatasi dalam ranah privat saja. Islam, di lain pihak, sangat menentang ide seperti itu. Islam menuntut bahwa Syariah diterapkan tidak hanya di ranah privat tapi juga di lingkup publik.
Sumber pencitraan Islam yang negatif adalah bersifat Ideologis. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa prinsip dasar Islam berlawanan dengan Kapitalisme. Dengan demikian, bisa dipahami adanya jurnalis yang kritis terhadap Islam, yang sekedar mengikuti trend anti-islam, atau yang bertindak sebagai oportunis. Tidak heran apabila produk jurnalisme yang ada terkesan tidak cerdas dan penuh dengan kebingungan. Tentu saja kita tidak perlu terkejut dengan adanya media yang anti-Islam. Banyak sekali contoh bias media dalam peliputan berita.
Bukan tidak mungkin, dalam percaturan politik nasional, ketika media massa telah dijadikan alat propaganda untuk kepentingan menyerang Syariah Islam dan umat Islam. Isu disebar dan media massa -atas nama kebebasan-melahapnya sebagai sajian berita yang dianggap layak jual. Maka korporasi media lah yang sebenarnya memiliki pengaruh terpenting dalam industri media nasional. Keberadaan opini di Indonesia yang secara umum memang tidak berpihak pada penegakan syariah Islam, akan sangat tidak logis bagi korporasi media manapun untuk mendukung penegakan syariah Islam. Ini semua menunjukkan bahwa tanpa adanya negara, akan sulit sekali untuk membentuk opini nasional. Gema kebangkitan Islam, meski media-media sekuler nyaris tidak pernah meliputnya bahkan membungkamnya. Gaung suara kebangkitan Islam kian nyaring membahana.
Secara praktis muslim harus benar-benar paham tentang Islam dan umat Islam harus berani untuk merepresentasikan Islam secara benar. Mereka harus, bekerja memiliki media mereka sendiri sehingga muslim dengan berbagai latarbelakang dan keahlian mampu untuk bersatu membela Islam. Perlu juga diingat bahwa media yang kuat hanya bisa dibangun ketika masyarakat yang berideologis bernaung dibawah panji negara. Khilafah adalah solusi komprehensif untuk menjawab kebohongan media yang dikuasai oleh kaum Kapitalis. Menggugat media anti-Islam dengan terus berjuang mewujudkan kembali Khilafah Rasyidah yang akan menebarkan berkah! [VM]
Posting Komentar untuk "Menggugat Pers Anti Islam!"