Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perang Non Militer AS


Oleh : Umar Syarifudin 
(Pengamat Politik Internasional)

Imperialisme sebagai kebijakan atau praktek untuk memperluas kekuatan dan kekuasaan suatu negara terutama dengan menguasai teritorial secara langsung atau mengendalikan kehidupan politik atau ekonomi wilayah lain, dalam arti luas : perluasan jangkauan atau dominasi kekuasaan, otoritas, atau pengaruh. Memasuki milenium ketiga Perang Non Militer telah menjadi model perang modern untuk menaklukan sebuah negara bangsa. Efektifitas dan efisiensi Perang Non Militer ternyata telah menunjukkan hasil yang jauh lebih dahsyat dari ledakan Bom Atom di Hiroshima dan Nagasaki. Bubarnya Uni Soviet dan Pakta Warsawa yang kemudian disusul dengan hancurnya Yugoslavia yang dikenal dengan “Balkanisasi” semakin mempopulerkan model Perang Non Militer pada akhir abad 20.

Sebelum pecah Perang Dunia Kedua, AS sebetulnya sudah merancang blueprint sistem keamanan global sebagai bagian integral dari kepentingan nasionalnya. Pembentukan IMF dan World Bank di Bretton Woods, New Hampshire, AS tahun 1944, adalah langkah awal AS untuk membangun Tata Dunia Baru (New World Order). AS telah menyadari bahwa Pasca Perang Dunia II negara-negara Eropa Barat akan mengalami kehancuran ekonomi dan membutuhkan bantuan dana dalam jumlah besar untuk membangun kembali negaranya. Dan hal tersebut kemudian menjadi kenyataan dengan bantuan Marshal Plan – yang kemudian menjadi ladang IMF dan World Bank untuk terjun memberi bantuan sekaligus menguasai keuangan negara-negara Eropa korban Perang Dunia II. Bukan itu saja, AS kemudian mendirikan NATO untuk melindungi investasinya – sekaligus untuk membendung pengaruh Uni Soviet di Eropa.

Hegemoni ekonomi AS dengan dollar–nya boleh dibilang berawal ketika terjadi pertemuan para anggota OPEC di Teheran, pada tahun 1971 – dimana para anggota OPEC menyepakati agenda pemberlakuan penggunaan mata uang “dollar” sebagai patokan harga minyak dan juga alat pembayaran minyak. Dengan kesepakatan tersebut otomatis “dollar” menjadi penggerak ekonomi dunia – ketika permintaan minyak meningkat otomatis permintaan terhadap dollar pun meningkat. Sehingga hampir dua pertiga Bank Sentral di seluruh dunia secara resmi kemudian menetapkan foreign exchange reserve dengan mata uang dollar. Ditambah lagi setelah negara-negara produsen minyak dengan keuntungannya yang berlimpah menanamkan kembali dollarnya di New York sehingga menjadikan ekonomi AS zero currency risk. Bukan itu saja, AS bahkan mengharuskan negara-negara produsen minyak untuk menyisihkan dana penjualan minyaknya kepada IMF dan World Bank.

Setelah bubarnya Uni Soviet pada 1989, AS baru menyempurnakan GATT menjadi WTO tahun 1995, sebagai badan dunia yang mengatur perdagangan internasional. Dengan terbentuknya WTO, maka melengkapi badan dunia penakluk negara bangsa yang sudah ada sebelumnya, yakni IMF, WORLD BANK & NATO.

Dalam konteks keamanan global abad 21, AS telah mengintegrasikan sistem keamanan nasionalnya secara sistemik kedalam empat badan dunia tersebut. Dengan kata lain AS telah membangun sistem pertahanan keamanan pangan dan energinya terintegrasi dengan IMF, World Bank, WTO dan NATO. Bila kita simulasikan secara lebih konkrit, sebagai contoh misal alarm tanda bahaya berbunyi di suatu kawasan belahan dunia, dengan cepat pula dapat diketahui tindakan apa yang harus diambil. Tinggal skema mana yang menjadi pilihan untuk mengeksekusinya, Militer atau Non Militer. Atau kombinasi keduanya.

Misal alarm kawasan Timur Tengah berbunyi, tepatnya di Irak, AS segera menyiapkan NATO dan Serangan Militer. Hal tersebut terjadi karena sesuai dengan kode ancaman. Bila terjadi ancaman langsung yang mengganggu stabilitas keamanan minyak dan dollar maka AS tanpa kompromi akan melakukan serangan militer. Ketika Saddam Husein menginvasi Kuwait untuk menguasai ladang minyak dan beralih ke “Euro“ untuk transaksi minyaknya – AS merasa keamanan nasionalnya terancam. Serangan militer pun dilancarkan. Tidak perlu alasan. Dan dibalik serangan militer tersebut, AS sesungguhnya mengirimkan sebuah pesan kepada teman dan lawan untuk tidak mengganggu kepentingan nasionalnya. Jadi tidak mengherankan bila belakangan ini operasi intelijen dan penyadapan kembali menjadi topik dunia internasional yang hangat. Seperti kita ketahui bersama bahwa minyak adalah jantung kehidupan AS, tanpa minyak roda industri dan militer AS akan lumpuh. Konsumsi minyak AS sebesar 22 juta bph, dimana 13,5 juta bph berasal dari impor. Kawasan Timur Tengah adalah pemasok utama kebutuhan minyak AS, disamping beberapa kawasan dunia lain termasuk dari Indonesia.

Selanjutnya, fakta-fakta yang ada dengan jelas menunjukkan bahwa utang telah dijadikan alat ekploitasi oleh negara besar terhadap negara berkembang. Fakta itu juga dinyatakan oleh Steven Hiatt dalam buku As Games As Old As Empire –di dalamnya juga berisi pengakuan dari 12 orang economic hitman (perusak ekonomi) termasuk John Perkins- . Steven Hiatt menyatakan “Pembayaran dari negara-negara Dunia Ketiga (negara miskin dan berkembang) berjumlah sekitar US$ 375 milyar per tahun atau 20 kali lebih besar dari jumlah uang yang diterimanya (dari negara-negara kaya). Sistem ini juga disebut Marshall Plan yang terbalik, dengan negara-negara dunia Selatan memberikan subsidi kepada negara-negara kaya di belahan Utara dunia, walaupun separuh dari manusia di dunia hidup dengan US$ 2 per hari.”

Sementara utang dijadikan alat kontrol untuk mendektekan kebijakan diungkapkan oleh John Pilger dalam bukunya The New Rulers of the World (hal. 1): “In this world, unseen by most of us in the global north, a sophisticated system of plunder has forced more than ninety countries into ‘structural adjustment’ programmes since the eighties, widening the divide between rich and poor as never before. This is known as ‘nation building’ and ‘good governance’ by the ‘quad’ dominating the World Trade Organisation (the United States, Europe, Canada and Japan) and the Washington triumvirate (the World Bank, the IMF and the US Treasury) that controls even minute aspects of government policy in developing countries. Their power derives largely from an unrepayable debt that forces the poorest countries to pay $100 million to western creditors every day. The result is a world where an elite of fewer than a billion people controls 80 per cent of humanity’s wealth.” (Dalam dunia ini, yang tidak dilihat oleh bagian terbesar dari kami yang hidup di belahan utara dunia, suatu cara perampokan canggih yang telah memaksa lebih dari sembilan puluh negara masuk ke dalam Program ‘Penyesuaian Struktural’ (‘structural adjustment’ programmes) sejak tahun delapan puluhan, yang memperlebar kesenjangan antara kaya dan miskin yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini dikenal dengan istilah “nation building” dan “good governance” oleh “empat serangkai” yang mendominasi World Trade Organization (AS, Eropa, Canada dan Jepang), dan triumvirat Washington (Bank Dunia, IMF dan Departemen Keuangan AS) yang mengendalikan setiap detail dari kebijakan pemerintah di negara-negara berkembang. Kekuasaan mereka secara besar diperoleh dari utang yang tidak bisa terbayar kembali, yang memaksa negara-negara termiskin membayar $ 100 juta per hari kepada para kreditur barat. Akibatnya adalah sebuah dunia, di mana elit yang kurang dari satu milyar orang menguasai 80% dari kekayaan seluruh umat manusia.).

Semua lembaga internasional yakni IMF, Bank Dunia dan kelompoknya melakukan pendiktean kepada Indonesia dalam bidang perumusan kebijakannya. Program IMF yang “dipaksakan” kepada Indonesia melalui apa yang dinamakan Extended Fund Facility atau Letter of Intent. Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) menerbitkan apa yang dinamakan “country strategy report” untuk Indonesia yang isinya penuh dengan kebijakan yang harus dilakukan oleh Indonesia. Kalau semua itu digabung menjadi satu dan diteliti, akan menjadi sangat jelas bahwa sudah lama pemerintah Indonesia tidak pernah merumuskan kebijakannya sendiri yang mendasar. Semua aspek penting ditentukan oleh CGI, IMF, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB), USAID. Yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia hanyalah kebijakan-kebijakan detil yang sifatnya penjabaran untuk pelaksanaan dari kebijakan-kebijakan dasar yang ditentukan oleh “Kartel” IMF. Maka apa yang berlangsung di negeri ini adalah lingkaran neoimperialisme-neoliberalisme-neoimperialisme. Neoimperialisme memaksakan neoliberalisme. Neoliberalisme melempangkan jalan bagi neoimperialisme. Dan begitu seterusnya. Jika lingkaran ini terus berjalan maka kehidupan masyarakat negeri ini akan dilanda problem multi dimensi terus menerus. Karena itu lingkaran neoimperialisme-neoliberalisme-neoimperialisme itu harus dihentikan. [VM]

Posting Komentar untuk "Perang Non Militer AS"

close