Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Refresh #KIN4 : Antara Hearing dan Listening


Oleh : Siti Aisah, S.Pd 
(Ibu Rumah Tangga)

Rentetan acara #kongresibunusantara4 yang berlangsung dari tanggal 18-25 Desember 2016 di Jakarta dan 82 kota lainya di Indonesia. Tema yang diusung pun sama yaitu “negara soko guru ketahanan keluarga”. Alhamdulillah acara ini dihadiri kurang lebih oleh 44.200 muslimah dari berbagai kalangan profesi acara dengan khidmat serta lancar. Lalu apa yang bisa dipetik dari acara tersebut?

Keluarga adalah pondasi utama pembentuk generasi masa depan, impian mewujudkan  keluarga Sakinah mawadah dan warohmah dalam kehidupan saat ini terasa utopis karena para suami dan istri tidak menjalankan sesuai kewajibannya masing-masing. Dengan pembukaan lapangan pekerjaan hanya khusus perempuan, maka dengan tidak sadar para perempuan pekerja ini yang nota bene adalah seorang istri atau ibu akan meninggalkan rumahnya kurang lebih 7-10 jam dalam sehari. Bisa dipastikan mereka akan butuh dengan bantuan lain dalam pengeloalaan urusan rumah tangga. Intensitas pertemuan pun antar anggota keluarga terbatas atau sangat kurang. Sehingga terkadang komunikasi antara orang tua dan anak hanya sebatas hearing saja tanpa dibarengi dengan listening.

Hearing adalah aktivitas yang hanya sekadar mendengar saja, tanpa adanya empati atau respon balik terhadap apa yang telah didengar oleh inderanya. Sedangkan listening adalah tidak hanya mendengar saja tapi dibarengi dengan adanya respon terhadap apa yang telah didengarnya itu. Perbedaan hearing dengan listening adalah ketika tanggapan pertama kali yang keluar dari mulut Ibu, nenek atau pun gurunya tentang hal tertentu yang dibicarakan sang anak. Pada akhirnya akan diketahui aktivitas yang dilakukan hearing ataukah listening. Contoh aktivitas hearing dan listening adalah ketika anak usia 7 tahun bercerita bahwa ia telah diganggu oleh temannya. Biasanya untuk respon hearing adalah jikalau diganggu teman berarti jangan balik ganggu atau balas ganggu saja lagi. Tapi lain halnya dengan listening, ini akan menjadi obrolan panjang antar orang tua khususnya ibu dengan anak. Ibu akan bertanya lebih dulu kronologi kejadian kenapa terjadi hal tersebut. Sebab akibat yang terjadi dijelaskan dan solusi terhadap masalahnya pun akan dipahami ibu dengan baik. Sehingga anak akan memahami apa yang dijelaskan ibunya. Usia 7 tahun adalah masa-masa anak mulai bersekolah dasar. Jika ia merasa didengarkan di dalam rumah dan mempunyai solusi atas masalah-masalahnya yang terjadi dengan didampingi oleh kepribadian atau sosok yang ia hormati di rumah, maka ia tidak akan mencari teman atau solusi lain di luar rumah.

Usia anak yang makin bertambah, masalah kenakalan remaja dan pencarian jati diri, menjadi beberapa hal yang perlu di perhatikan dalam penanganannya. Tugas tanggung jawab ini tidak bisa dilimpahkan hanya kepada keluarga saja. Ataupun pihak sekolah. tapi harus benar-benar dianalisis akar permasalahannya. Dalam makalah #KIN4 tentang sistem pendidikan islam mewujudkan insan kamil oleh Indri Liestianti, S.S (25/12/16. Gedung budaya sabilulungan, Soreang Bandung) memaparkan bahwa terdapat tiga pilar yang harus saling mendukung dalam dunia pendidikan, yaitu pendidikan di dalam keluarga, pendidikan di masyarakat (edukasi publik) dan pendidikan dalam institusi pendidikan. Jika salah satu pilar ini rapuh, akan berakibat pada kerapuhan secara keseluruhan dalam sistem pendidikan.

Kerusakan yang terjadi bukan hanya ada pada permasalahan di dalam keluarga dan pendidikan saja, tapi ini sudah penjadi persoalan yang sistemik. Karena melibatkan juga masalah sosial, ekonomi, politik serta budaya yang menjadi lingkungan bagi keluarga dan institusi pendidikan. Sistem kapitalis yang dianut masyarakat menempatkan standart kebahagiaan adalah melimpahnya materi, sehingga para orang tua antara suami atau istri sama-sama mengejar kerja dan karier. Sebagian dari mereka terdorong karena keterpaksaan atau bahkan kebutuhan. Sehingga pondasi keluarga akan mulai goyah. Hal ini pun akan bertambah runyam permasalahannya karena sosial kulturalnya pun telah diwarnai dengan ide liberalisme, yaitu ide yang menganut bahwa hidup bisa bebas bertingkah laku, bersikap, berpendapat dll, sehingga anak akan seenaknya untuk membantah orang tua, selanjutnya anak pun akan bebas berkeyakinan sekalipun berbeda dengan orang tua. Para istri akan bebas bekerja, berhias dan berpergian kemana pun tanpa mahram. Tak kalah dengan itu para suami pun bisa bebas bergaul dan berpergian dengan wanita bukan mahramnya. Konflik perselingkuhan bahkan perceraian pun tak bisa dihindari. Sejalan dengan itu nilai-nilai agama semakin terpinggirkan, paham sekuler terus merongrong sendi-sendi kehidupan keluarga. Karena islam hanya dijadikan sebagai ibadah mahdoh saja. Pelajaran agama hanya dipelajari selama 3-4 jam dalam seminggu. Bukan  rahasia lagi, rata-rata lulus sekolah maka berhenti pula belajar agama.

Edukasi publik dalam hal ini adalah media masa dan sosial media. Seharusnya dapat menguatkan suasana keimanan dan ketakwaan terhadap Sang Khalik. Tapi saat ini media malah dijadikan alat untuk menjajakan gaya materialis dan hedonis. Saat ini apapun dijadikan objek selfi, mulai dari memposting makanan yang akan dimakan hingga berselfi di batu karang pantai yang terkadang ancaman ombak besar menghantui. Semakin banyak follower maka tingkat kepopulerannya pun meningkat, sangat disayangkan korban-korban media ini adalah para remaja. Tingkat kebutuhan gadget pun dibuat seolah-olah itu adalah kebutuhan yang paling penting. Institusi pendidikan yang berupa sekolah / madrasah hanya sebatas transferan ilmu saja, tanpa sifat mendidik. Sekolah full day pun dicanangkan pemerintah, tapi apakah berhasil untuk membuat generasi lebih baik, tanpa di barengi dengan perubahan sistem. Sistem pendidikan saat ini menganut sistem pendidikan sekuler yang isi kurikulumnya adalah antara lain paham-paham sesat arahan barat seperti pluralisme dan liberalisme. Oleh karenanya Mampukah generasi seperti ini menjadi generasi pemimpin cemerlang harapan umat.

Anak-anak yang mulai beranjak remaja ini sangat membutuhkan adanya listening dari para orang tua, guru, masyarakat dan perhatian negara. Oleh karena itu akar dari semua permasalahan yang membelit anak dan keluarga adalah tidak lain karena diterapkannya sistem kapitalis yang mengajarkan ide sekulerisme, liberalisme dan pluralisme. Solusi atas semua permasalah adalah dengan diterapkannya hukum islam. Konsep pendidikan dalam islam adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Pembentukan manusia bertaqwa yang memiliki kepribadian Islam (Syakhshiyyah Islamiyyah) secara utuh, yakni pola pikir dan pola sikapnya didasarkan aqidah islam adalah tujuan dari pendidikan islam.

Atas dasar itulah permasalahan yang terjadi hanya bisa diselesaikan ketika negara turut andil. Kurikulum pendidikan akan disesuaikan dengan kebutuhan anak, sehingga ide-ide diluar islam akan terfilter. Media massa dan sosial media tidak akan menampilkan hal-hal yang dilarang aqidah. Negara sebagai Soko Guru Ketahanan Keluarga. Semua ini akan terwujud Hanya dengan Khilafah Islam. Keluarga Samara bukan lagi Utopi tetapi menjadi Keniscayaan. Suami mudah menjalankan fungsinya sebagai kepala keluarga dan Istri mampu menjadi ummu wa robbatul bait wa madrastul ula bagi anak-anaknya. Mereka pun tumbuh menjadi generasi yang berkualitas. Lingkungan kondusif untuk menjaga keluarga dari gangguan yang merusak. Penerapan hukum yang tegas dan adil akan menjamin keamanan seluruh rakyatnya tanpa tebang pilih. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [VM]

Posting Komentar untuk "Refresh #KIN4 : Antara Hearing dan Listening"

close