Regulasi Ujaran Kebencian: Bukti Inkonsistensi Demokrasi


Barangkali kita pernah mendengar bahwa demokrasi pernah mengklaim dirinya akan menjamin kebebasan rakyat untuk mengekspresikan  pendapat melalui kebebasan berbicara (freedom of speech). Lantas kalau memang demikian, logikanya saat demokrasi diterapkan di tengah masyarakat, maka disaat tingkat kekritisan masyarakat kini meningkat -khususnya di kalangan umat Islam- seharusnya rakyat bisa mengekspresikan pendapatnya tanpa rasa takut dan terancam, karena ada jaminan. Namun yang terjadi malah sebaliknya, sebab di hadapan kita, rakyat negeri ini sudah dihadang UU regulasi ujaran kebencian (hate speech) yang merupakan wujud implementasi UU ITE. Hal ini merupakan "senjata" atau alat yang digunakan penguasa/pemerintah untuk "cegah dan tangkap" rakyat yang dianggap sebagai pelontar ujaran kebencian. Jelas ini bukti inkonsistensi sebuah sistem.

Kasus yang baru saja terjadi di penghujung tahun 2016, adalah kasus yang menimpa Habib Rizieq dan Dwi Estiningsih yang dilaporkan ke polisi karena menggunakan istilah kafir (untuk tokoh non muslim di uang baru) dan menyampaikan kesalahan teologis (dalan peringatan natal). Padahal apa yang mereka sampaikan hanya menjelaskan apa yang menjadi tuntunan agamanya. Mereka bisa dikenai regulasi hate speech dan UU ITE. Tapi di lain kasus, penista agama islam, penghina Rasulullah Saw dan penikmat kebebasan berekspresi lainnya nyaris dijamin ‘aman’ di negeri ini. Kalau saja tak ada gerakan massa atau people power, barangkali ‘selamat’ lah mereka. Hal ini juga bukti inkonsistensi sistem demokrasi.

Mengapa semua bisa terjadi? Karena sejak awal, regulasi terkait hate speech telah mengandung pro-kontra. Beberapa mengkhawatirkan regulasi ini akan menjadi alat menekan lawan politik dan mematikan ruang kritik terhadap rezim yang berkuasa. Namun, hal ini justru terkesan mengekang umat Islam. Mereka yang menyampaikan pandangan-pandangan Islam yang diyakininya malah disudutkan dengan dalih intoleransi atau mengancam kebhinekaan dan SARA. Di sisi lain, adanya media sosial kian menumbuh suburkan orang-orang yang menyampaikan kritik, hal tersebut telah berhasil membuat rakyat ini melek problematika. Namun hal tersebut itu belumlah cukup karena masyarakat butuh solusi dan muara bagi segala kritik. Tidaklah salah, pendapat dari  seorang pengamat politik di Amerika Serikat, John L. Espossito dalam sebuah tulisannya menjelaskan bahwa sejak lahirnya demokrasi sampai era modern, demokrasi tidak pernah menjadi alat untuk menyelesaikan problematika masyarakat. Juga, pendapat yang dikemukakan seorang birokrat barat John Adams, bahwa demokrasi akan melemah dan membunuh dirinya dan merubah dirinya menjadi anarki.

Saatnya kita membuka mata dan hati kita bahwa selama 14 abad, -dengan diperkuat data historis & empirisnya yang otentik- Islam dengan sistemnya Khilafah, telah membuktikan bahwa aturan Allah yang maha sempurna adalah solusi tuntas bagi problematika masyarakat. Termasuk dalam pengaturan untuk menampung dan memfasilitasi suara dan kritikan rakyatnya terhadap penguasa. Tidak ada standar ganda, intimidasi, bahkan pembungkaman. Malah sebaliknya, dengan semangat ‘amar ma’ruf nahyi mungkar, segala bentuk pendapat dari rakyat akan diakomodir sesuai dengan standar hukum syara’. Wallahu a'lam bishshwab. [VM]

Pengirim : Rengganis Santika (Aktivis MHTI Sukabumi)

Posting Komentar untuk "Regulasi Ujaran Kebencian: Bukti Inkonsistensi Demokrasi"