AFI, Sebuah Tamparan terhadap Dunia Pendidikan Kita


Jagat sosial media di gegerkan oleh tulisan seorang anak remaja atas nama Afi Nihaya dalam statusnya yang berjudul Warisan. Ditengah kegalauan orang tua karena semakin maraknya kenakalan remaja, mungkin sosok Afi patut diberikan apresiasi. Seorang anak remaja yang cukup mempunyai daya kritis dan sudut pandang terhadap apa terjadi di sekitarnya. Sementara mungkin anak-anak seusia dia  lebih suka hura-hura, jangankan mempunyai daya kritis dan sudut pandang  terhadap persoalan sekitar, mengkritisi dirinya sendiri saja mungkin tidak bisa.

 Hanya saja sebagai seorang ibu muslim, saya cukup prihatin dengan sudut pandang yang  dimiliki ananda Afi ini. Meskipun di sisi lain, saya memang tidak bisa menyalahkan Afi. Afi hanyalah korban dari system sekuler ini. Wajar kalau dia mempunyai sudut pandang seperti itu. Dia menganggap bahwa semua agama adalah sama, sama-sama warisan orang tua, sehingga seseorang tidak boleh merasa agamanya yang paling benar. Dia pun beranggapan bahwa agama tidak boleh dijadikan sebagai dasar/pijakan dalam mengambil/membuat  kebijakan, karena jika agama yang dijadikan sebagai pijakan pastilah akan muncul perpecahan dan kehancuran. Kurang lebihnya seperti itulah cara berpikir anak ini terhadap agama. Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Afi, meskipun sebenarnya anak seusia Afi (yang tentunya sudah aqil balig) semestinya dia sudah bisa mencari jati diri, sehingga dia bisa melihat hakekat kebenaran. Tidak terombang ambing atau hanyut dalam arus kejahiliyahan. Tapi tentunya ini sulit bagi seorang Afi yang hidup dalam system yang sekuler, dimana pendidikan di  keluarga, masyarakat dan sekolah memang mengajarinya seperti itu. Maka kasus Afi ini, tidak lebih merupakan tamparan terhadap dunia pendidikan kita.

Diakui atau tidak system pendidikan yang dijalankan  di Indonesia saat ini adalah system pendidikan yang sekuler-materialistik. Bila disebut dalam system pendidikan nasional ‘masih mewarisi system pendidikan kolonial’. Watak sekuler-materialistik inilah yang menonjol. Sistem pendidikan ini memang bisa melahirkan orang yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknogi,  tetapi gagal membentuk kepribadian Islam dan penguasaan terhadap tsaqofah Islam, kalau boleh dikatakan tidak mempunyai idealisme keislaman. Dalam system pendidikan sekuler bukan berarti pelajaran agama ditiadakan tapi agama hanya diambil pada sisi ibadah dan sebagian nilai- nilai moral saja. Dalam masalah public misalnya masalah ekonomi, social, hukum, pemerintahan jangan  harap agama diikutsertakan.

System pendidikan yang material-sekuleristik tersebut sebenarnya hanyalah bagian belaka dari system kehidupan yang sekuler. Dalam system sekuler, aturan-aturan, pandangan dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang termasuk pendidikan. Muhammad Qutb (1986) dalam bukunya Ancaman Sekulerisme, mengartikan sekulerisme sebagai iqomatu al hayah ‘ala ghayri asasin mina al-dini atau membangun struktur kehidupan di atas landasan selain agama (Islam). Sementara, Syekh Taqiyuddin An Nabhani (1953) dalam kitabnya Nidhamu al Islam, menjelaskan sekulerisme sebagai fashlu al-din ani al-hayah atau memisahkan agama (Islam) dari kehidupan. Jadi system  kehidupan yang sekuleristik ini nyata-nyata telah menjauhkan manusia dari  hakekat visi misi penciptaanya : “Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku”(TQS. Ad Dzariyat ayat 56).

Setiap orang tua pasti berharap anaknya tumbuh dan berkembang menjadi anak yang salih dan salihah, anak yang cerdas, yang mampu memberikan solusi terhadap persoalan umat dengan menjadikan Islam sebagai pijakannya. Anak yang mampu memberikan kotribusi positif terhadap masyarakat, dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka kuasai. Bukan hanya sekedar itu, sebagai orang tua kitapun menginginkan anak kita menjadi pembela Islam yang tangguh, yang tidak rela ketika Islam dihina. Yang siap menjadi garda terdepan jika kaum muslimin disakiti. Bahkan mereka menjadi mengemban Islam,  melakukan amar ma’ruf nahi mungkar ditengah masyarakat. Akankah harapan ini terwujud ditengah system pendidikan sekuler ini?

Akankah kita bisa berharap akan lahir generasi seperti Muhammad Al Fatih? Yang bercita-cita menaklukkan Konstantinopel karena kecintaannya kepada Rasulullah. Mungkinkah akan lahir Thalhah yang rela menjadi tamengnya Rasulullah pada waktu perang Uhud. Akankah lahir generasi seperti Muaz bin Amr Al jamuh (14 th) dan  Muawwiz bin Afra ( 13 th) yang sangat ingin berjihad dan membunuh abu jahal, karena abu Jahal sering menghina dan menyakiti Rasul. Mungkinkah lahir generasi seperti ini ditengah kehidupan yang  sekuler? dimana nilai- nilai kebebasan setiap hari dicekokkan pada anak-anak kita. Bahkan sigmatisasi/labelisasai negative terhadap Islam (Islam radikal, Islam fundamental dll)  menjadi makanan sehari-hari. Sebaliknya sosok Afi sengaja di publish besar-besaran seolah ingin menunjukkan  ‘begini loh seharusnya seorang muslim’.

Sebagai orang tua, kasus Afi ini seharusnya menjadi  evaluasi bagi kita, akankah kita seperti ini terus, jika anak-anak kita tumbuh berkembang menjadi generasi yang minim idealisme ke-islaman lalu siapa yang akan membela Islam dan kaum muslimin ke depan. Padahal musuh-musuh Islam sudah menyiapkan berbagai strateginya untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Seberapa panjang usia kita. Masa depan Islam dan kaum muslimin ada dipundak anak-anak kita. Mari kita selamatkan anak-anak kita dari ancaman sekulerisme. 

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri” (TQS. Ar Ra’du ayat 11 ). Wallahu ‘alam. [VM]

Penulis : Ummu Hania, S.Si - Pemerhati masalah ibu dan anak

Posting Komentar untuk "AFI, Sebuah Tamparan terhadap Dunia Pendidikan Kita"