Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pancasila, Islam & Kita


Setiap upacara hari senin di sekolah, selalu ada sesi pembacaan pancasila secara bersama-sama oleh peserta upacara yang dipimpin oleh pembina upacara. Hal itu terus dilakukan karena negara Indonesia ini menjadikan pancasila sebagai dasar negara, sehingga pemerintah merasa perlu untuk terus menyosialisasikan hingga ke sekolah-sekolah. Hari Lahir Pancasila pun digagas, yakni tanggal 1 Juni. Mengapa tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahir pancasila?.

Pada tanggal 1 Juni 2016 Presiden Joko Widodo telah menanda-tangani Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila sekaligus menetapkannya sebagai hari libur nasional yang berlaku mulai tahun 2017 (https://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila).

Dalam perumusannya, terjadi perubahan kandungan dan urutan lima sila Pancasila yang berlangsung dalam beberapa tahap pada tahun 1945. Tepatnya Pada bulan April 1945 dibentuklah BPUPKI yang diketuai oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat. Dalam upaya merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yang resmi, terdapat usulan-usulan pribadi yang dikemukakan dalam sidang BPUPKI yaitu diantaranya, Lima Dasar oleh Muhammad Yamin (29 Mei 1945) dan Panca Sila oleh Soekarno (1 Juni 1945).

Sebelum sidang pertama itu berakhir, dibentuk suatu Panitia Kecil untuk merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar Negara berdasarkan pidato yang diucapkan Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 dan menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamasikan Indonesia Merdeka.

Setelah Rumusan Pancasila diterima sebagai dasar negara, secara resmi beberapa dokumen penetapannya ialah rumusan pertama, Piagam Jakarta (22 Juni 1945). Kedua, Pembukaan Undang-undang Dasar (18 Agustus 1945). Ketiga, Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (tanggal 27 Desember 1949). Keempat, Mukaddimah Undang-undang Dasar Sementara (15 Agustus 1950). Kelima, Rumusan Kedua yang dijiwai oleh Rumusan Pertama (merujuk Dekret Presiden 5 Juli 1959).

Telah terjawab, bagaimana dan kapan bangsa ini mulai mengenal pancasila. Itu berarti sebelumnya Pancasila tidak dikenal. Dan itu berarti pula, tidaklah layak “membenturkan” pancasila dengan syariat Islam –yang terlebih dahulu masuk ke nusantara- dan mengatakan bahwa syariat Islam tidak sesuai dengan pancasila, sebagaimana yang akhir-akhir ini sering dibahas diberbagai media massa dan sosial media.

Menanggapi permasalahan tersebut, menarik jika kita menyimak pernyataan Prof. Dr. H. Fahmi Amhar:

“Sunan Kalijaga, Sultan Agung, Diponegoro, Imam Bonjol, Sultan Hasanuddin, Cut Nya' Dien, Haji Ahmad Dahlan saat mendirikan Muhammadiyah, KH. Hasyim Asy'ari saat mendirikan NU, para pendiri Boedi Utomo, para pencetus Soempah Pemoeda, pada masa mereka semua belum mengenal Pancasila. Mereka memang mengamalkan nilai-nilai yang kemudian disebut terkandung dalam Pancasila, karena mereka mengamalkan syari'at Islam. Semua yang menegakkan syari'at Islam, pastilah dapat dikatakan telah mengamalkan Pancasila. Tidak mungkin kita mengatakan para pahlawan itu anti Pancasila. Sunan Kalijaga dulu tetap disebut menyebarkan Islam, bukan menyebarkan Pancasila. Karena itu sangatlah aneh, kalau kemudian upaya penegakan syariat Islam dibenturkan dengan Pancasila. Karena tanpa syariat Islam, Pancasila tinggal sebagai falsafah yang tidak pernah dapat diperjelas bentuk kongkritnya seperti apa?. Seperti apa mengatur sumber daya alam dengan Pancasila?, Seperti apa membayar upah buruh dengan Pancasila?,

Seperti apa mengatur pernikahan dengan Pancasila? dan sebagainya. Kalau dengan syariat Islam jelas, tuntas dan puas”.

Pancasila juga bukanlah agama, karena ia merupakan kumpulan value (nilai) dan vision (visi) yang hendak diraih dan diwujudkan bangsa Indonesia saat berikhtiar mendirikan sebuah negara. Meski demikian, bukan berarti Pancasila anti-agama, atau agama harus disingkirkan dari 'rahim' Pancasila. Karena agama diakui, dilindungi dan dijamin eksistensinya oleh Pancasila. Masing-masing agama berhak hidup dan pemeluknya bebas menjalankan agamanya.

Dengan nilai dan visi ketuhanan, arah Indonesia sebenarnya bukanlah negara sekuler, bukan sosialis-komunis maupun kapitalis-liberal. Pengamat Politik LIPI, Mochtar Pabottingi, mengatakan bahwa Pancasila bukanlah ideologi negara, melainkan vision of state yang mendahului berdirinya Republik Indonesia (Republika, 1/6). Visi itu kemudian dituangkan dalam Pasal 29 ayat 1 UUD 1945, ''Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa''.

Karena itu, tidak ada satupun pasal dalam UUD 1945 yang menolak agama dijadikan sebagai sumber hukum dan sangat ganjil bin aneh jika agama -khususnya Islam- hendak disingkirkan dari kehidupan atau “dibenturkan” dengan Pancasila dan UUD 1945.

Sudahkah yang menyatakan diri “pancasilais” taat beragama dan menjalankan aturan agama, tidak korupsi, menjaga aset kekayaan negara dengan baik, dan sudahkah menghargai pendapat orang lain?. Dan sudahkah kita bagi yang Muslim taat pada syariat Islam dan ingin menegakkannya pada seluruh aspek kehidupan?. [VM]

Penulis : Yusuf, M.Pd. (Dosen STITM Tanjung Redeb)

Posting Komentar untuk "Pancasila, Islam & Kita"

close