Rencana Pembubaran HTI, Dilema Politik Kekuasaan
Kontroversi rencana pembubaran HTI tak bisa dihindari. Langkah demi langkah atas rencana tersebut seperti buah simalakama. Antara tuntutan dan tekanan user yang sangat kuat dengan dukungan publik yang menolak rencana tersebut kian masif. Jika rencana logika hukum normal mengacu pada UU Ormas no 17 tahun 2013 bisa berjalan lama. Setidaknya hampir sampai 2 tahun. Atau sebelum.pilpres 2019. Sementara dicari cara menggunakan logika hukum melompat cepat. Diantaranya dengan menggunakan Perppu atau Keppres berdasarkan UU Darurat. Namun inipun juga tidak mudah berkaitan dengan rumusan faktual keadaan darurat. Bagaimana dan seperti apa dikatakan keadaan darurat. Selain akan berpotensi melanggar konstitusi. Sekalipun sudah banyak contoh overlapping implementasi tata urutan perundangan di negeri ini. Buah dari amandemen UUD 1945 sebagai pintu masuk liberalisasi undang-undang di negeri ini. Meski ada sebagian kalangan yang menyebut bahwa amandemen berulang adalah sebuah keniscayaan dalam bingkai demokrasi. Tetapi fakta menunjukkan bahwa logika politik kekuasaan lebih dominan berjalan ketimbang logika hukum. Hukum sebagai panglima kemudian menjadi jargon yang padat dengan retorika tetapi kering oleh isi.
Hasrat menggunakan logika hukum melompat nampak semakin kuat. Jika melihat kecenderungan langkah-langkah penopangnya yang berjalan intens. Konsolidasi 21 Mei di Lirboyo yang akan mengeluarkan fatwa para ulama tentang langkah-langkah fisik antisipatif atas nama menjaga pilar-pilar negara. Edaran dari Kemendagri tertanggal 8 Mei tentang deteksi dini dan antisipasi di berbagai daerah melalui organ-organ birokrasi daerah. Instruksi penyeragaman anggota BIN untuk tidak berambut gondrong, berjenggot dan celana cingkrang. Adalah sederetan pressure yang dilakukan selain legitimasi permainan opini. Termasuk pengelolaan opini mengkaitkan HTI dengan ISIS yang kelihatan sangat dipaksakan. Atau paham takfiri kepads muslim yang dituduhkan namun telah dibantah. Pasca klaim sebagai anti pilar-pilar negara yang tidak terbukti. Dan khilafah yang disangkakan sebagai ideologi dan kontra dengan konsep nation state. Padahal merupakan bagian dari ajaran islam sebagaimana tercantum dalam mata pelajaran dan kitab-kitab klasik di pesantren-pesantren nahdliyin.
Berbagai upaya yang memperkuat rencana pembubaran HTI didukung dan diperkuat melalui saluran berbagai instrumen perangkat pemerintah sekaligus sebagai tekanan opini publik hingga hingga akar rumput. Ironisnya peristiwa ini terjadi pada saat tengah dipanggil paksanya Habib Rizieq Syihab. Dan upaya hukum oleh JPU untuk banding atas putusan pengadilan Ahok yang tengah mendapatkan dukungan penuh dari dunia internasional. Sebuah banding yang disinyalir sebagai langkah-langkah untuk membebaskannya.
Momentum demi momentum.berjalan begitu dinamis dan menegangkan seolah menyibak apa latar sebenarnya yang terjadi. Hingga berkembang sebuah kesimpulan kontemplatif. Potensi perpecahan di negeri ini karena faktor internal dan eksternal. Secara internal oleh karena ketidak adilan pembangunan. Secara eksternal karena tidak adanya kepemimpinan internasional atau dunia yang menciptakan kestabilan dan keadilan berbagai negara. Di sinilah arti sebenarnya dari latar begitu dilematisnya penguasa yang ada di negeri ini. Karena terjebak dalam pusaran ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kekuatan internasional yang sedang mengkooptasi.
Kunjungan Donald Trumpt di Saudi Arabia dan forum Eropa untuk menegaskan perlu langkah bersama untuk menghadapi terorisme dan radikalisme adalah sebuah indikasi. Bahwa kampanye menyeimbangkan antara pembangunan infrastruktur, pertumbuhan ekonomi dan meredam radikalisme adalah formula untuk melapangkan jalan cengkeraman neo liberalisme dan neo imperialisme. Lalu siapa dan untuk siapa serta untuk kepentingan apa HTI dibubarkan ? Adalah sebuah dilema politik kekuasaan. [VM]
Penulis : Landung Prakoso (Analis di Pusat Kajian Data dan Analisis)
Posting Komentar untuk "Rencana Pembubaran HTI, Dilema Politik Kekuasaan"