Anomali Pemberantasan Korupsi


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menolak untuk menghadirkan tersangka dugaan kasus korupsi KTP Elektronik, Miryam S Haryani, kepada rapat Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket KPK. Justru KPK cuma mengirimkan surat yang ditujukan kepada Pansus. Namun surat itu dianggap tidak menyenangkan oleh seluruh anggota Pansus Hak Angket KPK yang hadir. "Malah ngancam lagi, obstruction of justice. Itu menurut saya kekurangajaran terhadap lembaga negara. Kalau begitu, lama-lama DPR-nya bisa marah," ujar Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tersebut saat ditemui setelah rapat Pansus Hak Angket KPK di KK 1, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (19/6). (http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/17/06/19/orso3g-anggota-pansus-hak-angket-kpk-kurang-ajar)

Catatan 

Kertika Indonesia mengadopsi demokrasi-kapitalisme, Korupsi yang meluas sangat cepat mendekati skala di mana krisis kepercayaan pada akhirnya akan merusak sistem itu sendiri. Indonesia, berada dalam krisis kepercayaan yang menyelimuti semua institusi pembuat keputusan dan pengambilan keputusan - politikus, media, bisnis - semuanya telah terbuka untuk umum dan dipermalukan karena korupsi, menipu, sangat tidak bermoral dan Beberapa kasus kecil praktik ilegal. Fakta bahwa ada banyak individu pejabat yang telah berakhir di penjara mengungkap kebobrokan sistem ini. 

Korupsi, penipuan, manipulasi dan penyembunyian kebenaran seakan legal dalam kapitalisme. Memang terlihat sebagai perilaku kapitalis yang sangat rasional. Sampai ada yang mengatakan bahwa korupsi adalah oli pembangunan. Jelas, masalahnya tidak hanya terletak pada individu atau institusi yang layak dicurigai, namun yang paling mendasar adalah kapitalisme itu sendiri yang menciptakan pola pikir yang menghasilkan perilaku dan praktik korupsi ini. Yang lebih buruk lagi jika orang melihat pola pikir ini sebagai kebajikan, terlepas dari jijik masyarakat luas saat korupsi terbongkar. 

Adapun terkait dengan kepercayaan terhadap para wakil rakyat, hal ini sudah sering diungkapkan. Itu antara lain karena banyaknya para anggota dewan yang bermental korup, yang sering lebih mementingkan diri sendiri dan kelompok/partainya ketimbang rakyat yang diwakilinya. Ketidakpuasan rakyat terhadap para wakilnya sangat beralasan.

Penipuan, manipulasi dan kebohongan semuanya berada dalam aturan dan motivasi kapitalisme. Sebaliknya, bisnis dan aturan perdagangan Islam dibangun di atas prinsip kepercayaan, integritas, keterbukaan dan transparansi. Setidaknya ada dua faktor penting yang bisa menjamin penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang baik: (1) Sosok pemimpin yang baik, kredibel dan amanah; (2) Sistem pemerintahan/negara yang juga baik dan tidak membawa cacat bawaan. 

Pertama: Menyangkut sosok pemimpin yang baik, kredibel dan amanah, jelas hal itu tidak ada kaitannya secara langsung maupun tidak dengan faktor usia; apakah muda atau tua. Namun, ketiganya lebih terkait dengan ketakwaan dan profesionalitas (skill/kemampuan). Karena itulah, dalam Islam, seorang pemimpin, misalnya, antara lain harus: Muslim (QS an-Nisa’ [4]: 59 dan 141) dan adil (QS ath-Thalaq [62]: 2), yaitu istiqamah dalam menjalankan ketaatan, yang merupakan salah satu ciri ketakwaan; di samping harus berakal sehat (HR Abu Dawud dari penuturan Ali bin Abi Thalib ra.), memiliki qudrah (kapabel) dan merdeka, yaitu tidak berada dalam kekuasan/tekanan pihak lain (Lihat: Kitab Ajhizah ad-Dawlah al-Khilâfah, hlm. 40. Dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir).

Kedua: Menyangkut sistem yang baik. Nabi Muhammad saw. jauh sebelum diangkat sebagai nabi sudah dikenal sebagai orang yang mulia, jujur, dan amanah. Semua karakter baik manusia ada pada diri Beliau. Beliau bahkan digelari al-Amin oleh masyarakatnya. Namun, untuk membangun masyarakat, Allah SWT ternyata tidak mencukupkan pada karakter pemimpinnya semata. Allah SWT menurunkan wahyu kepada Muhammad saw. berupa al-Quran dan as-Sunnah sebagai aturan hidup manusia. Dengan aturan dari Allah itulah Nabi Muhammad saw. mengatur, mengurusi dan memimpin masyarakat. Realitas ini saja memberikan ketegasan, bahwa negeri yang baik tidak akan mewujud hanya dengan pemimpin yang baik. Lebih dari itu, diperlukan sistem dan aturan yang baik. Apakah sistem dan aturan yang baik itu? Tentu, sistem dan aturan yang lahir dari Zat yang Mahabaik. Itulah syariah Islam yang dijalankan dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah Islamiyah), dan bukan sistem hukum korup yang diterapkan dalam sistem pemerintahan sekular yang notabene juga korup. [VM]

Penulis :Ainun Dawaun Nufus (pengamat Sosial Politik)

Posting Komentar untuk "Anomali Pemberantasan Korupsi "