Lebaran : Tinggalkan Tradisi Merugikan
Lebaran sebentar lagi...
Tak terasa ramadhan sudah akan pergi dan momen lebaran yang dinanti akan segera menghampiri.
Hari raya Idul Fitri atau di Indonesia biasa di sebut lebaran merupakan momen besar yang dirayakan besar-besaran oleh seluruh rakyat indonesia yang mayoritas muslim ini. Banyak persiapan dilakukan, bahkan kebanyakan kita memiliki tabungan khusus , yang kita menabung sepanjang tahun untuk anggaran belanja lebaran. Ya, kita merayakan lebaran dengan memakai pakaian serba baru untuk diri sendiri dan keluarga, perhiasan, bahkan banyak yang mati-matian mengusahakan tampilan dan dekorasi baru untuk rumahnya, lampu-lampu warna-warni, petasan dan kembang api, juga menyediakan berbagai jajanan dan makanan untuk pesta hari raya, uang angpao, hingga dana transportasi untuk mudik dan bersilaturahim. Semua itu tentu memerlukan anggaran dana yang tidak sedikit.
Terlepas dari kontroversi budaya masyarakat menyambut lebaran, saya pribadi, sangat menyukai momen lebaran. Desa kami yang biasanya sepi menjadi semarak, rumah-rumah dan sepanjang jalan dihiasi lampu warna-warni dengan kreativitas warga yang memikat mata. Dan yang paling penting dan membuat hati kami ramai adalah kehadiran para sanak saudara yang kami rindukan karena pergi merantau. Mereka biasanya pulang ke desa saat lebaran. Ini adalah saat- saat yang sangat membahagiakan.
Hal yang Membuat Miris
Namun, dibalik kebahagiaan kami berkumpul dengan keluarga, sebenarnya ada rasa miris yang mengusik hati. Kebanyakan masyarakat, diakui atau tidak, pasti mengharapkan sanak keluarganya yang merantau pulang dengan sukses. Paling tidak membawa buah tangan dan angpao untuk keluarganya di desa. Sehingga bisa membuat bangga dan menaikkan gengsi keluarga. Demikian pula dari sisi para perantau, mereka malu jika pulang dengan tangan hampa atau terlihat tidak sukses di kota. untuk itu mereka melakukan segala macam cara agar gengsinya tidak jatuh di mata keluarga dan penduduk desanya. Suami saya pernah merantau bersama orang-orang dari desanya. Banyak di antara mereka yang bekerja sebagai buruh, kuli bangunan, serabutan dan bahkan ada yang menjadi gepeng di kerasnya kota jakarta. Namun saat pulang kampung, mereka tetap berpenampilan dan berlagak seperti orang sukses demi gengsinya dan keluarga.
Orang-orang dari rantau yang pulang ke kampung halaman, meskipun mereka tidak sukses mendulang harta, namun saat pulang kampung berlagak seperti orang kaya demi mempertahankan gengsinya. Demikian pula masyarakat kita yang membebankan mereka hingga mereka bersikap demikian. Bahkan tak dapat di pungkiri, pandangan masyarakat kita telah bergeser dari kesederhanaan seorang muslim menjadi pandangan kaum kapitalis yang menganggap harta adalah yang paling utama. Tak jarang seseorang yang tampil sederhana jadi diremehkan dan dipandang sebelah mata, bahkan dihina. Akhirnya, kita berpenampilan dan bergaya hidup yang lebih mahal dari pendapatan kita, demi gengsi dan mendapatkan pengakuan dan menghindari penghinaan dari masyarakat sekitar, yang menjadikan kekayaan sebagai tolok ukurnya.
Adakah kita Kawan-kawan Setan?
Islam mengajarkan kesederhanaan dan menghindari gaya hidup bermewah-mewah. Langsung tertulis di dalam Al Quran dan dicontohkan langsung melalui kehidupan nabi kita Muhammad s.aw.
Hal ini bertentangan dengan gaya hidup kaum penganut kapitalisme yang menjadikan materi dan kesenangan fisik sebagai nilai tertinggi, sehingga memandang rendah martabat seseorang yang sederhana dan tak berharta, akhirnya membuat kita berlomba- lomba mengumpulkan harta bagaimanapun caranya. Hal ini, mau tidak mau juga membuat kita bergaya hidup yang melebihi kemampuan finansial kita, bermegah-megahan demi mendapatkan pengakuan masyarakat yang telah terasuki paham kapitalisme. Hal semacam ini jelas termasuk sikap boros.
Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 8: 474-475).
Ibnul Jauzi berkata bahwa yang dimaksud boros ada dua pendapat di kalangan para ulama:
- Boros berarti menginfakkan harta bukan pada jalan yang benar. Ini dapat kita lihat dalam perkataan para pakar tafsir yang telah disebutkan di atas.
- Boros berarti penyalahgunaan dan bentuk membuang-buang harta. Abu ‘Ubaidah berkata, “Mubazzir (orang yang boros) adalah orang yang menyalahgunakan, merusak dan menghambur-hamburkan harta.” (Zaadul Masiir, 5: 27-28)
Arti Al-Israa' ayat 26-27 : "Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan".
Tinggallah kita memeriksa diri kita sendiri, apakah kita begitu saja mengikuti budaya masyarakat merayakan lebaran dengan membakar kembang api dan petasan serta bermegah-megahan dalam gaya dan penampilan demi gengsi dan pengakuan? Atau bersikap hidup sederhana sesuai kemampuan dan membelanjakan harta di jalan yang sesuai syariat islam?
Marilah kita meneladani gaya hidup sederhana yang diajarkan nabi kita muhammad saw., seraya berharap dan berdoa agar masyarakat muslim negeri ini terhindar dari menganut pandangan paham kapitalisme yang menjadikan materi sebagai tolok ukurnya, menjadi masyarakat Islami dengan pola pikir dan pola sikap islami yang menghargai sesama manusia dengan menjadikan ketakwaan pada Allah semata sebagai tolok ukur bersikap dan menjalani kehidupan. [VM]
Penulis : Hana S. Muti
Posting Komentar untuk "Lebaran : Tinggalkan Tradisi Merugikan"