Listrik Mahal, Imbas Salah Langkah Sejak Awal
Polemik kelistrikan tidak kunjung usai. Pencabutan subsidi listrik untuk golongan 900 VA akan beranjak pada tahap terakhir pada bulan Juli 2017, yakni penyetaraan dengan golongan non-subsidi. Untuk lebih menabur garam pada luka, wacana untuk mencabut subsidi listrik untuk golongan 450 VA juga turut didengungkan oleh Kementerian ESDM. Seolah-olah penderitaan rakyat yang makin ditelantarkan oleh negara masih belum cukup saja.
Subsidi listrik memang memakan dana yang tidak sedikit. Pada tahun 2016, anggaran subsidi listrik mencapai Rp 63,1 trilyun, membengkak dari anggaran yang disetujui dalam ABPN-P sebesar Rp 40 trilyun. Sementara, anggaran subsidi listrik tahun 2017 ditetapkan sebesar Rp 44,98 trilyun. Menurut Benny Marbun, kepala Divisi Niaga PLN, dengan pencabutan subsidi untuk golongan 900 VA, pemerintah tidak perlu mengeluarkan anggaran subsidi Rp 20 trilyun tiap tahunnya. Pemerintah berdalih, anggaran yang dihemat ini akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur listrik.
Sejatinya, dalih tersebut bukan alasan sebenarnya. Yang menjadi alasan utama pencabutan subsidi listrik adalah untuk meliberalisasi sektor hulu kelistrikan, dengan menyerahkan tarif listrik pada harga pasar. Liberalisasi kelistrikan merupakan amanat IMF ketika memberi pinjaman pada pemerintah Indonesia untuk mengatasi krissi moneter yang menghantam negeri ini pada tahun 1998 lalu. Pencabutan subsidi akan membuka peluang produsen listrik swasta/Independent Power Producer (IPP) untuk masuk ke negeri ini.
Salah Langkah
Benar, subsidi adalah hak rakyat. Bahkan hal itu telah diamanatkan dalam undang-undang. Walau demikian, terus menerus menggunakan perspektif “subsidi” tampaknya tidak akan menyelesaikan masalah. Yang seharusnya lebih menjadi sorotan adalah, kenapa listrik harus sampai disubsidi?
Eksistensi subsidi hakikatnya menunjukkan bahwa produk energi listrik tidak terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Pasalnya, biaya pokok penyediaan (BPP) listrik Indonesia terkategori tinggi. Kementerian ESDM mengungkapkan rerata BPP listrik nasional pada tahun 2016 yaitu Rp 983/kWh atau USD 7,39 sen/kWh, belum termasuk biaya distribusi. Sebagai komparasi, BPP listrik di Amerika Serikat, yang pendapatan per kapitanya jauh di atas Indonesia, rerata sebesar USD 5 sen/kWh, atau sekitar Rp 675/kWh. Sementara, listrik untuk golongan 450 VA dan 900 VA dijual dengan harga masing-masing Rp 405/kWh dan Rp 615/kWh (sebelum dicabut subsidinya). Artinya, agar mampu dijangkau seluruh lapisan masyarakat, listrik disubsidi hingga mencapai lebih dari setengahnya!
Tingginya BPP listrik ini disebabkan pemerintah sejak awal salah langkah dalam menentukan kebijakan energi. Langkah-langkah salah itu bermuara pada kebijakan neoliberal yang dianut negeri ini, menghasilkan beberapa cabang masalah.
Pertama, eksistensi IPP dalam penyediaan listrik nasional. Selayaknya entitas swasta, IPP menyediakan listrik sembari mengharapkan keuntungan. Untuk itulah dibuat power purchase agreement (PPA), yang nilainya selalu lebih tinggi daripada BPP listrik ketika keluar dari pembangkit. Imbasnya, harga yang ditanggung PLN jadi lebih tinggi. Dalam jangka panjang, IPP malah lebih merugikan negara ketimbang jika PLN memiliki sendiri unit pembangkitnya.
Pada proyek 35 GW rezim Jokowi, hanya sekitar 10 GW yang akan dimiliki oleh PLN, sisanya oleh swasta. RUPTL PLN mengungkapkan bahwa pada tahun 2050, diharapkan bauran IPP dalam penyediaan listrik nasional mencapai 50%. Kalau begini ceritanya, tidak ada harapan BPP listrik akan mampu tereduksi secara signifikan.
Kedua, salah pilih teknologi. Pemilihan batubara dan gas alam sebagai moda pembangkit listrik utama negeri ini adalah salah satu masalah tingginya harga listrik. Kedua bahan bakar ini memiliki densitas energi rendah, yang berimbas pada biaya bahan bakar menjadi tinggi. Masalah lebih kompleks pada gas alam, yang mana pembangkitnya seringkali jauh dari ladang gas. Sehingga, gas alam mesti dicairkan terlebih dahulu untuk dikapalkan. Pencairan gas alam meningkatkan beban biaya, karena sifatnya yang sulti dicairkan. Menurut menteri ESDM, Ignasius Jonan, harga gas alam ketika sampai di pembangkit dapat mencapai lebih dari USD 10/mmbtu!
Masih digunakannya mesin Diesel untuk membangkitkan listrik menjadi masalah lain. Dibanding pembangkit listrik lain, mesin Diesel adalah yang paling mahal. Ironisnya, jumlah pembangkit Diesel pada tahun 2015 bertambah dari tahun 2014.
Kebijakan energi baru dan terbarukan (EBT) pemerintah masih berkutat pada pembangkit berskala kecil, panel surya, dan turbin angin. Secara khusus, dua moda pembangkit terakhir merupakan pembangkit listrik yang kehandalannya rendah, sehingga meniscayakan biaya pembangkitan listriknya jadi tinggi, bahkan lebih tinggi daripada batubara dan gas alam sekalipun.
Di sisi lain, energi nuklir yang telah terbukti di seluruh dunia mampu membangkitkan listrik dengan murah dan bersih sama sekali tidak dilirik, dengan dalih “opsi terakhir”. Padahal, penggunaan energi nuklir sebagai bauran utama pembangkit listrik dapat menjamin produksi listrik yang murah dan reliabel. Di Amerika Serikat, rerata BPP listrik dari energi nuklir berkisar USD 1-2 sen/kWh.
Ketiga, politik transaksional. ini masih terkait dengan poin sebelumnya. Keengganan pemerintah sebuah negara menggunakan energi nuklir tidak lepas dari peran pihak-pihak yang didanai oleh pengusaha-pengusaha energi fosil. Misalnya yang terjadi di Ontario, Kanada, di mana Aliansi Udara Bersih Ontario/Ontario Clean Air Alliance (OCAA), yang menolak nuklir dan pro energi terbarukan, justru didanai oleh industri gas alam. Begitu pula yang terjadi di New York, Amerika Serikat. Yang mana mantan pembantu gubernurnya disogok oleh industri gas alam untuk menutup PLTN Indian Point.
Politik transaksional adalah hal yang lumrah terjadi dalam dunia demokrasi. Maka bukan hal yang aneh jika pengusaha energi fosil menekan penguasa agar kebijakannya tidak memihak pada nuklir. Pasalnya, kebijakan pro nuklir berpotensi mengurangi pasar batubara dan gas alam. Hal ini terbukti dengan fakta bahwa, sebelum terjadinya kecelakaan PLTN Chernobyl tahun 1986, pasar energi fosil menurun cukup drastis akibat ekspansi energi nuklir.
Keempat, kemalasan mengelola potensi sumber daya lokal. Berbagai tambang serta potensi hutan dan maritim tidak dikelola secara optimal, bahkan sebagian dijual begitu saja pada swasta lokal dan asing. Imbasnya, pemasukan negara seringkali defisit dan terpaksa ditutupi dengan berutang. Hal ini pula yang membuat pemerintah sering mengeluh tidak memiliki dana untuk membangun infrastruktur kelistrikan.
Padahal, pengelolaan sendiri potensi tambang, maritim dan kehutanan dapat mencukupi kebutuhan APBN tanpa harus menarik pajak apalagi berutang. Sayangnya, kemalasan penguasa dan ketundukan pada lembaga donor dunia menjadikan potensi alam negeri ini tidak termanfaatkan untuk kepentingan masyarakat.
Akhirnya, kembali ke poin pertama, pemerintah mengandalkan IPP untuk membangun pembangkit listrik. Kalaut tidak, pemerintah meminjam ke luar negeri untuk pembiayaannya. Beban bunga pinjaman, dalam kalkulasi BPP, akan menambah beban komponen biaya balik modal. Bergantung jenis pembangkit dan tingkat bunga per tahun, kenaikan BPP dibanding pemerintah menggunakan uang sendiri berkisar 15-200%!
IPP sendiri menggunakan skema pinjaman berbunga ketika berinvestasi untuk membangun pembangkit listrik di Indonesia. Kombinasi pembengkakan BPP plus PPA menambah beban subsidi negara.
Imbas dari semua ini, BPP listrik pun menjadi mahal dan tidak terjangkau seluruh lapisan masyarakat tanpa adanya subsidi.
Total Overhaul
Dengan seluruh infrastruktur pembangkit listrik yang sedang dan telah dibangun, serta paradigma pengelolaan listrik yang neoliberal, tampaknya mengharapkan kelistrikan Indonesia bisa terjangkau tanpa subsidi itu bagai pungguk merindukan bulan. Kesalahan paradigma pemerintah sejak awal mengakibatkan benang kusut komplikasi dalam kelistrikan nasional yang sulit diurai.
Bukan tidak mungkin untuk memperbaikinya. Secara teknis, itu bisa dilakukan. Hanya saja, keperluan teknologi, sumber daya dan dana yang dibutuhkan sangat besar. Yang lebih penting, paradigma neoliberal yang digunakan pemerintah dalam mengelola kelistrikan menjadi penghambat paling besar. Mengingat, kebijakan kelistrikan selalu berangkat dari paradigma tersebut.
Menyediakan listrik terjangkau tanpa subsidi bukan hal mustahil. Walau begitu, perlu total overhaul pada kebijakan kelistrikan Indonesia. Selama belum terlepas dari paradigma neoliberal, selamat berlarut-larut dalam persoalan subsidi yang tidak pernah selesai. [VM]
Penulis : R. Andhika Putra Dwijayanto, S.T. (Peneliti di Civilization Analysis Forum)
Posting Komentar untuk "Listrik Mahal, Imbas Salah Langkah Sejak Awal"