Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menolak Ide Khilafah, Menolak Ajaran Islam


Semenjak wacana pembubaran HTI disulut Menkopolhukam, perdebatan sengit mengenai ide Khilafah semakin menemukan momentumnya. Banyak tokoh nasional yang mengomentari dan menanggapi gagasan Khilafah ini. Diantara mereka ada yang mendukung, karena gagasan Khilafah dianggap sebagai sebuah gagasan yang positif dan mampu menyelamatkan negeri muslim ini. Namun ada juga yang menolak, salah satunya Prof. M. Mahfud MD (MD), seorang pakar hukum positif di negeri ini. Inti dari penolakannya ditulis di Kompas (edisi 26 Mei 2017, h. 6) dengan judul “Menolak Ide Khilafah”. Sontak saja artikel yang dimuat media mainstream itu menjadi viral bukan main. Penulis pun mencoba mengamati argumen yang dibangunnya untuk menolak gagasan Khilafah. Setelah dicermati secara seksama, ternyata artikel tersebut memuat beberapa kekeliruan mendasar yang harus segera diluruskan. Karena itu tulisan ini berupaya meluruskan beberapa kekeliruan tersebut agar publik mendapat informasi yang berimbang dan objektif.

Pertama, artikel itu diawali dengan pengalaman subjektif MD ketika menjadi seorang pembicara di sebuah acara. Di dalam acara itu MD menyebut sempat diberondong pertanyaan aktivis ormas Islam asal Blitar, seputar pembuktian keberadaan konsep Khilafah dalam Islam. MD pun menyebut pertanyaan itu disampaikan kepadanya dengan nada agak marah. Disinilah kekeliruan artikel itu mulai nampak.

Penyebutan kata ‘marah’ beserta penisbahan kepada aktivis ormas Islam, tentu bisa menimbulkan generalisir negatif, sehingga dikesankan seolah aktivis ormas Islam itu tidak mau dialog dan ingin menang sendiri. Inilah kesalahan yang cukup krusial, ketika menilai sebuah ide atau gagasan dimulai dari persepsi pribadi terhadap person tertentu dan tidak menilai gagasan dari sumber primer gagasan tersebut. Padahal ormas Islam dimanapun, siap berdialog dengan MD, dan siap juga memberikan literatur-literatur sumber primer gagasan Khilafah, sehingga bisa diteliti dan dibaca secara objektif.

Kedua, dalam artikel MD menyebut “di dalam Islam memang ada ajaran hidup bernegara dan istilah khilafah, tetapi sistem dan strukturisasinya tidak diatur di dalam Al Quran dan Sunah, melainkan diserahkan kepada kaum Muslimin sesuai dengan tuntutan tempat dan zaman.” Karena tidak rinci dan detail, maka umat Islam bebas mengambil sistem politik apapun di dunia ini sesuai perkembangan zaman.

Pernyataan tersebut menunjukan MD belum mampu memosisikan istilah Khilafah dalam konteks ajaran Islam. Padahal setiap ajaran memiliki posisi yang definitif, apakah masuk dalam bahasan Akidah atau termasuk bagian dari Syariah. Sebagai bagian dari ajaran Islam, berdasarkan karakteristiknya yang termasuk amal perbuatan, Khilafah masuk dalam konteks Syariah atau Fikih. Karena itu ajaran Khilafah memiliki status hukum, dan dalam menentukan status hukumnya diperlukan dalil-dalil syara. Demikian alur berpikir yang tepat memandang Khilafah. Seandainya MD sanggup membahas sampai kesini, maka kesimpulan bisa objektif, namun jika tidak sanggup maka kesimpulannya akan salah total dan menimbulkan penyesatan opini.

Dalam buku Fiqh Islam karya ulama Nusantara Sulaiman Rasjid, pada Kitab al-Khilafah, disebutkan Khilafah adalah suatu susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran agama Islam. Dalam kitab Nizhȃm al-Hukm fi al-Islȃm karya Syaikh Abdul Qadim Zallum, dijelaskan Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke segenap penjuru dunia.

Pada awal kitab Ajhizah Daulah al-Khilȃfah dijelaskan sistem pemerintahan di dalam Islam yang Allah wajibkan adalah sistem Khilafah, dalam sistem ini seorang Khalifah (kepala negara) diangkat melalui baiat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya untuk memerintah sesuai wahyu yang Allah turunkan. Untuk masalah ini para ulama sampai membuat kitab khusus bergenre fikih siyasah, sebagai bukti bahwa sistem pemerintahan Islam adalah perkara yang sudah dirincikan oleh para ulama berdasarkan dalil-dalil syariah, yakni al-Quran, as-Sunnah dan Ijma’ Sahabat.

Dengan demikian, khazanah fikih siyasah menjadi bukti kuat bahwa sistem pemerintahan Islam itu sudah memiliki penjelasan, ketentuan, dan rincian, serta bisa diimplementasikan dalam kehidupan. Karena itu umat Islam tidak perlu mengambil sistem pemerintahan dan sistem politik apapun selain sistem pemerintahan dan politik Islam semata. Sebab dalam pandangan Islam, manusia mesti memenuhi kebutuhan hidupnya bukan sesuai keinginan ambisi pribadi, namun mesti terikat hukum syariah, sebab setiap kebijakan dan perbuatan akan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak.

Ketiga, MD mengatakan “Khilafah sebagai sistem pemerintahan adalah ciptaan manusia yang isinya bisa bermacam-macam dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Di dalam Islam tidak ada sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang baku. Buktinya, di dunia Islam sendiri sistem pemerintahannya berbeda-beda. Ada yang memakai sistem mamlakah (kerajaan), ada yang memakai sistem emirat (keamiran), ada yang memakai sistem sulthaniyyah (kesultanan), ada yang memakai jumhuriyyah (republik), dan sebagainya.”

Disini MD terlihat belum memahami esensi atau ciri khas sistem pemerintahan dalam Islam, apalagi ditambah ungkapan Khilafah adalah sistem pemerintahan ciptaan manusia, terindikasi memiliki kerangka berpikir yang salah atau bisa jadi MD terpengaruh teori para orientalis yang menyebut “agama adalah hasil budi-daya dan reka-cipta manusia”.

Realitasnya Khilafah adalah istilah syar’i, sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab, namun dikonversi menjadi term khusus dalam fikih berdasarkan dalil syariah (wahyu). Istilah ini sudah tidak digunakan dalam makna bahasa, namun sudah menjadi istilah khusus dalam ajaran Islam. Artinya istilah ini mengandung konotasi dan realitas yang harus diwujudkan sesuai petunjuk dalil syariah (wahyu) dan bukan berdasar rekayasa manusia. Jadi jelas bukan ciptaan manusia.

Selanjutnya, sistem pemerintahan Islam justru memiliki ciri khas yang baku, yang sanggup membedakan dirinya dengan sistem pemerintahan lainnya, yakni: 1) Kedaulatan ditangan syariah (as-siyâdah li as-syar’i), yang berhak mengatur manusia hanyalah Syariah Islam, bukan hukum yang lain. Nah jika ‘kedaulatan’ ini ditangan manusia, maka bukan lagi sistem pemerintahan Islam, tapi berubah jadi demokrasi; 2) Menetapkan kekuasaan ada di tangan umat (as-sulthân li al-ummah), umatlah yang berhak memilih pemimpin yang dikehendakinya untuk menjalankan kekuasaan berdasarkan syariah Islam. Jika ‘kekuasaan’ ini bukan ditangan umat, semisal di tangan keluarga, maka itu bukan pemerintahan Islam tapi kerajaan; 3) Mengangkat satu orang Khalifah adalah wajib bagi seluruh kaum muslimin, sehingga umat bersatu. Jadi pemerintahan Islam tidak berbentuk federasi atau imperium; 4) Khalifah mempunyai kewenangan melegislasikan hukum syara’ menjadi undang-undang yang berlaku umum dan bersifat mengikat, kewenangan ini tidak diserahkan kepada lembaga legislatif sebagaimana dalam republik. Jadi selama empat hal ini ada, maka Khilafah ada, jika salah satu esensi hilang, maka Khilafah akan berubah jadi sistem lain. Jadi empat hal ini adalah perkara yang baku dalam sistem pemerintahan Islam.

Adapun fakta hari ini, ketika negeri-negeri muslim menerapkan sistem selain sistem pemerintahan Islam, seperti: monarki (kerajaan), emirat (bisa semi kerajaan, kerajaan absolut, atau federasi seperti UEA), sultan (kerajaan), dan republik (demokrasi). Tidak otomatis menggugurkan kewajiban menegakkan Khilafah, lalu pasrah terhadap kenyataan yang ada dan menerima saja sistem pemerintahan itu. Justru umat Islam harus berjuang, agar sistem pemerintahan keliru tersebut diubah dan dikoreksi menjadi sistem pemerintahan Islam sesuai ciri khasnya. Sebagaimana ketika ada orang yang melanggar syariat dan bermaksiat, bukan berarti dibiarkan, justru harus dinasihati dan diubah perilakunya itu.

Keempat, MD mengatakan “di antara empat khalifah rasyidah (Khulafa’ ar-Rasyidin) sistemnya berbeda-beda. Abu Bakar sebagai khalifah memakai cara pemilihan, Umar ibn Khaththab ditunjuk Abu Bakar, Utsman ibn Affan dipilih formatur beranggotakan enam orang yang dibentuk Umar. Begitu juga Ali ibn Abi Thalib yang keterpilihannya disusul dengan perpecahan yang melahirkan khilafah Bani Umayyah. Setelah Bani Umayyah lahir pula khilafah Bani Abbasiyah, serta khilafah Turki Utsmany (Ottoman).”

MD terlihat belum proporsional membaca sejarah serta korelasinya dengan kewajiban menegakkan Khilafah. Nah perlu ditegaskan disini, wujud sistem pemerintahan Islam yang wajib jadi teladan dan model bagi kaum muslimin adalah masa Rasulullah Saw dan Khulafa ar-Rasyidin. Sebab berdasarkan dalil, yang layak diikuti memang Rasul Saw dan para Sahabat.

Lalu mengenai beragamnya cara suksesi para Khalifah yang empat, sebetulnya itu adalah bagian dari prosedur teknis pencalonan dan pemilihan Khalifah sebelum dibaiat. Misalnya, Abu Bakar ra dicalonkan melalui musyawarah sebagian kaum muslim Madinah (ahlul halli wal aqdi) di Saqifah Bani Sa’idah. Selanjutnya, menjelang wafat, Abu Bakar ra mencalonkan Umar ra untuk menjadi Khalifah berikutnya. Begitupun Umar ra menjelang wafat mencalonkan beberapa nama Sahabat, yang akhirnya calon mengerucut pada Utsman bin Affan ra. Sedangkan pasca Utsman ra, Ali ra terpilih menjadi calon tunggal Khalifah secara langsung. Namun coba perhatikan secara cermat, setelah pencalonan dan pemilihan keempat Khalifah tersebut, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali semuanya diangkat menjadi Khalifah secara legitimate dengan metode baiat secara baku. Jadi baiat dari representasi umat inilah metode pengangkat Khalifah, dan ini pun baku sepanjang sejarah Umayyah, Abbasiyah, bahkan Utsmaniyah. Konklusinya baiat adalah ciri khas sistem Khilafah. Sekali lagi ini baku.

Kelima, MD menyebut “Khilafah hanyalah produk ijtihad yang berbeda-beda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Ini berbeda dengan sistem negara Pancasila yang sudah baku sampai pada pelembagaannya. Sebab Pancasila merupakan produk ijtihad yang dibangun berdasar realitas masyarakat Indonesia yang majemuk, sama dengan ketika Nabi membangun Negara Madinah.”

Disini penulis cukup heran, mengapa pernyatan MD mirip dengan teori orientalis semisal Ignaz Goldziher, yang berimajinasi bahwa hukum Islam itu selalu mengalami perubahan sesuai waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Di sisi lain, MD nampaknya belum cermat juga memahami fakta ijtihad dan perjanjian politik, sebab terlihat mencampur adukan keduanya. Arah narasi yang dibangun jelas, MD ingin berdalih bahwa Khilafah sebagaimana hukum Islam tidaklah final, bisa berubah sesuai perkembangan zaman.

Kesalahan ini cukup fatal, sebab kewajiban mengangkat seorang Khalifah dan menegakkan Khilafah, bukanlah produk ijtihad (mungkin maksud MD ijtihad disini adalah pendapat manusia), namun berdasarkan dalil al-Quran, as-Sunnah, dan Ijmak Sahabat. Sebab Khilafah sejatinya adalah sekumpulan hukum syara yang berasal dari dalil-dalil syara. Ini bisa kita pahami dari definisi Khilafah itu sendiri.

Khilafah didefinisikan sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke segenap penjuru dunia. Maka dalil mengenai kewajiban mengegakkan Khilafah meliputi: 1) Sekumpulan dalil mengenai kewajiban bersatunya umat Islam dalam satu kepemimpinan (QS. Ali ‘Imrân [3]: 103; An-Nisâ’ [4]: 59); 2) Sekumpulan dalil mengenai kewajiban menerapkan syariah Islam secara menyeluruh (QS. Al-Baqarah [2]: 208; QS. Ali ‘Imrân [3]: 85); 3) Sekumpulan dalil mengenai kewajiban menyebarluasan Islam sebagai rahmat bagi seluruh manusia dan seluruh alam, yang menjadi karakter agama Islam (QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 107 dll). Nah Inilah Khilafah.

Belum lagi kalau kita menalaah berbagai hadits Rasulullah Saw, maka akan kita dapati bahwa Khilafah dan Khalifah adalah istilah yang memang berasal dari dalil, bukan ijtihad. Karena itu para ulama sampai pada suatu kesimpulan bahwa Khilafah adalah kewajiban dan ma‘lûm min ad-dîn bi ad-dharûrah (sudah diyakini sebagai ajaran agama yang urgen).
Imam al-Mawardi (w. 1058 M) menyatakan: “Mengangkat Imamah (Khilafah) di tengah-tengah umat adalah wajib berdasarkan ijma’ sahabat...” (Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, h. 5). Wahbah az-Zuhaili (w. 2015) pun menyatakan: “Mayoritas ulama Islam yaitu ulama Ahlus Sunnah, Murjiah, Syiah dan Mu’tazilah (kecuali segelintir dari mereka) dan Khawarij (kecuali sekte an-Najdat) berpendapat bahwa Imamah (Khilafah) adalah perkara yang wajib atau suatu kefardhuan yang pasti.” (Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 8/272).

Adapun soal pendapat MD yang menyebut “Ini berbeda dengan sistem negara Pancasila yang sudah baku sampai pada pelembagaannya. Sebab Pancasila merupakan produk ijtihad yang dibangun berdasar realitas masyarakat Indonesia yang majemuk, sama dengan ketika Nabi membangun Negara Madinah.”

Merupakan klaim lemah yang ujungnya hanya permainan retorika untuk membenturkan ajaran Islam dengan Pancasila. Sebab negara ini bukan berbentuk negara pancasila, tetapi republik dengan mekanisme sistem demokrasi. Pancasila bukanlah sistem negara, tetapi hanya sekedar falsafah negara, atau etika bernegara. Karena itu etika bernegara ini tidak berbenturan dengan Khilafah, namun yang menjadi rival gagasan Khilafah adalah sistem pemerintahan dan politik demokrasi itu sendiri, yang sedang diterapkan di negeri ini, yang berasal dari imperialis Barat. Karena itu menurut Badan Pengkajian MPR lebih dari 50 % UU yang dikeluarkan pasca reformasi tidak merujuk Pancasila (Kompas, 29/5/2017). Ini artinya ada ideologi lain yang menyusup ke negeri ini, nah ideologi ini bernama Kapitalisme-Sekular, inilah musuh sejati yang merupakan rival abadi ideologi Islam.

Keenam, di akhir MD menuduh bahwa gagasan Khilafah berbahaya buat persatuan dan kesatuan negeri ini. “Kalau ide itu, misalnya, diterus-teruskan, yang terancam perpecahan bukan hanya bangsa Indonesia, melainkan juga di internal umat Islam sendiri.”

Pendapat ini memiliki kekeliruan dalam dua aspek: 1) MD tidak sanggup memahami subtansi ajaran Khilafah dan peran seorang Khalifah, sehingga diserupakan dengan sistem diktator yang anti kritik dan keberagaman; Dan 2) MD tidak peka dan tidak mampu memahami ancaman faktual bagi negeri ini.

Substansi ajaran Khilafah adalah syariah, ukhuwah, dan dakwah. Khilafah merupakan institusi pelaksana syariah Islam, mempersatukan umat, dan menyebarkan ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia. Pertanyaannya, bagian mana diantara substansi tersebut yang membahayakan negeri ini? Justru secara normatif gagasan Khilafah malah akan memperkuat dan memperkokoh negeri ini, sebab Khilafah adalah negara kesatuan sejati, bukan negara milik sebuah golongan, rezim, partai, atau mazhab tertentu. Karena itu seorang Khalifah (kepala negara dalam Islam) bukanlah seorang diktator, sebab tidak akan berkata atau berbuat seenaknya, melainkan harus selalu merujuk pada al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas Syar’i. Jadi tindakannya wajib konstitusional. Juga tidak akan berlaku semena-mena terhadap minoritas non muslim, sebab ada konsep kafir dzimmi sebagai warga negara yang wajib dilindungi.

Dalam negara Islam, jika seorang Khalifah terbukti menyimpang, misal tidak lagi berlaku adil dan tidak menerapkan syariah, maka dalam fikih siyasah ada yang namanya Mahkamah Mazhalim, seketika itu seorang Khalifah akan langsung dimakzulkan oleh mahkamah tersebut berdasarkan bukti-bukti yang kuat. Dan ini jelas jauh berbeda dengan kondisi sekarang di negeri ini, ketika ulama, ormas, dan umat Islam kritis terhadap penguasa menuntut keadilan atas penistaan al-Quran, namun malah dikriminalisasi dan keluar istilah “digebuk” bagi organisasi yang tidak sejalan dengan pemerintah, padahal istilah “gebuk” itu dulu pada masa orba pernah muncul yang bertujuan membungkam sikap kritis (republika.co.id, 31/5/2017).

Karena itu jangan heran jika bukti sejarah menyebut para Khalifah justru sanggup mempersatukan dan memberi rasa aman bagi rakyatnya. Hal Ini diakui juga sejarawan Barat, Will Durant dalam The Story of Civilization (XIII/151) menjelaskan: “Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yg luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang bagi siapa pun yg memerlukannya & memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yg belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan menyebar luas, sehingga berbagai ilmu, sastra, falsafah dan seni mengalami kejayaan luar biasa yg menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yg paling maju peradabannya selama lima abad.”

Dengan demikian gagasan Khilafah bukanlah ancaman, apalagi dia hanya sekedar gagasan, belum terwujud menjadi kenyataan. Sebab implementasi gagasan ini bukanlah ditangan HTI ataupun ormas yang lain, namun di tangan para tokoh dan rakyat Indonesia. Jika para tokoh dan rakyat Indonesia bersepakat membentuk sebuah kesepakatan atau perjanjian politik baru dengan menegakkan Khilafah Islam karena dianggap solusi menghadapi tantangan global dan demi kebaikan negeri ini, maka siapa yang berani melarang? Karena itu, sebagai seorang tokoh yang mengagung-agungkan toleransi dan kebhinekaan, MD seharusnya membiarkan gagasan ini didiskusikan oleh umat, biarkanlah para tokoh dan rakyat yang memutuskan dan menilainya. Jadi tidak perlu main stigma dan demonologi gagasan Khilafah, biarlah gagasan yang lahir dari Islam ini diperbincangkan publik, jangan dilarang-larang. Toh gagasan dan teori dari Imperialisme Barat saja seperti Demokrasi diperbolehkan diperbincangkan, bahkan diterapkan. Mengapa terhadap gagasan Khilafah alegri?

Faktanya, ideologi Kapitalisme-lah ancaman nyata bagi negeri ini. Akibat kapitalisme, ekonomi negeri ini rusak. Sumber Daya Alam (SDA) yang dalam syariah seharusnya milik pribumi, malah diserahkan ke Asing melalui UU Demokrasi. Sekitar 70 % atau 55 blok migas negeri ini dikelola perusahaan migas asing berskala global. Dampaknya rakyat melarat, kata BPS total kemiskinan per-September 2016 mencapai 27,76 juta atau 10,7% dari total penduduk. Negara pun dililit utang luar negeri, padahal dalam Islam riba utang LN diharamkan. Direktorat Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, menyebut utang pemerintah pusat hingga Februari 2017 sebesar Rp 3.589,12 triliun.

Akibat Kapitalisme-Liberalisme kriminalitas meledak. Misal, tahun 2016, setiap 12 menit 18 detik terdapat satu kasus kejahatan di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Dari 43.149 kasus kriminalitas di wilayah hukum Polda Metro Jaya, kejahatan perampokan mengalami kenaikan 12 persen dari tahun sebelumnya. Perkosaan naik 6 persen, dan kenakalan remaja berupa tawuran naik 400 persen (news.detik.com, 30/12/2016).

Akibat Kapitalisme, politik transaksional yang dilegalkan demokrasi banyak memicu ketegangan dalam setiap Pemilu. Dengan dalih menentukan nasib sendiri, separatisme dianggap bagian HAM. Sehingga separatis Papua, Maluku merdeka, serta yang paling anyar kasus Minahasa Merdeka malah dibiarkan oleh penguasa. Padahal dalam Islam, separatisme (bughat) diharamkan, dan ukhuwah (persatuan) harga mati. Jadi ideologi Kapitalisme inilah ancaman nyata, sangat nyata. Semoga MD bisa terbuka dan jujur menyadarinya.

Penutup

Berdasarkan pemaparan diatas, argumen-argumen MD dalam artikelnya “Menolak Ide Khilafah” dibangun dengan asumsi yang sangat rapuh dan tidak objektif. Karena itu gagasan umat Islam yang ingin menegakkan Khilafah justru memiliki landasan sangat kuat, baik dari aspek sebagai sebuah kesadaran mengamalkan ajaran Islam, maupun sebagai kepekaan faktual wujud kepedulian terhadap negeri ini.

Penulis sangat berharap MD tidak mengikuti langkah Ali Abdur Raziq, seorang tokoh sekular Mesir yang dicabut gelarnya oleh al Azhar, karena dengan sangat berani menolak ajaran Khilafah dengan mengatakan: “Islam tidak punya peran sama sekali dalam urusan negara dan pengaturan politik di dunia; agama Islam tidak mengakui kewajiban menegakkan Khilafah; Khilafah itu bukan ajaran yang digariskan agama.” (al-Islâm wa Ushûl al-Hukm, h. 201). Sebab sekilas, argumen-argumen MD dalam artikelnya seolah memiliki narasi dan spirit yang sama dengan Raziq.

Padahal Khilafah jelas-jelas bagian ajaran Islam, para ulama bahkan menyebut kewajiban menegakkan khilafah sebagai tâj al-furûdh (mahkota kewajiban). Karena itu jika seseorang menolak gagasan Khilafah artinya sama saja menolak ajaran Islam. Dan semoga kita bukan termasuk golongan ini. Karena itu sikap yang tepat bagi seorang muslim seharusnya mendukung dan ikut serta menjadi bagian perjuangan umat Islam untuk mewujudkan bisyarah Nubuwah kembalinya Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah. “Tsumma takûnu Khilȃfah ‘ala minhȃj an-nubuwwah (Selanjutnya akan muncul kembali masa kekhilafahan yang mengikuti tuntunan kenabian).” (HR. Ahmad, 17680). Wallahu a’lam. [VM]

Penulis : : Yan S. Prasetiadi, M.Ag (Dosen dan Penulis)

Posting Komentar untuk "Menolak Ide Khilafah, Menolak Ajaran Islam"

close