Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

RUU Terorisme Jerat Gerakan yang Bertentangan dengan Pemerintah


Dunia berduka setelah teror bom yang terjadi di Manchester Inggris, kota Marawi Filipina Selatan dan juga di Kampung Melayu Jakarta. Menurut Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan ada sejumlah kesamaan teror bom Kampung Melayu dengan bom di Manchester. Menurut Wiranto, sedikitnya ada tiga kemiripan karakter. Kesamaan tersebut adalah yang pertama, bom itu sama-sama untuk menunjukkan eksistensi peneror. Kedua, membuat korban sebesar-besarnya. Ketiga, mengancam eksistensi negara. 

Setelah kejadian itu, kini, banyak negara bersepakat memerangi terorisme bersama-sama. Kesepakatan itu diambil ketika Wiranto ikut dalam pertemuan pejabat tinggi, yang bertanggung jawab terhadap masalah keamanan, di Arab Saudi dan Rusia. Pada pertemuan di dua negara tersebut, semua negara akan menggalang kerja sama penanggulangan terorisme dan menjadikan para teroris sebagai musuh bersama, dalam hal ini gerakan yang dikenal sebagai ISIS.

Teror bom tentu bukanlah ajaran Islam. Siapapun yang memiliki nurani tidak akan sepakat dan mengutuk aksi teror tersebut. Hanya saja, terorisme yang dialamatkan kepada ISIS pada akhirnya menjadi dalih untuk menyerang Islam dan perjuangan penegakkan Khilafah. 

Amerika dan Barat telah bersepakat untuk memerangi terorisme, dalam hal ini yang dimaksud dengan teroris adalah Islam yang dialamatkan kepada ISIS dan juga untuk mendistorsi dan memberangus konsep jihad dan Khilafah sebagai ajaran Islam. Perang melawan terorisme telah lama diluncurkan dan membendung gerakan Islam politik.

Amerika dan Barat memanfaatkan isu terorisme untuk menyerang Islam dan gerakan Islam politik. Tujuannya adalah agar perjuangan penegakkan kekuatan Islam politik bisa terhenti dan mati, sehingga ancaman laten bagi Barat Kapitalis hilang bersama matinya gerakan Islam politik.

Teror Bom yang terjadi di dalam negeri dijadikan legitimasi oleh pemerintah untuk mendesak segera rampungnya pembahasan RUU Antiterorisme dengan fokus menjerat siapa saja yang bertentangan dengan pemerintah. RUU ini juga bisa menjadi alasan menyeret tindakan berbau ‘radikalisme’ menjadi setara terorisme. Sebagaimana diketahui, pemerintah saat ini seakan-akan ‘panik’ mengahdapi sikap gerakan Islam politik yang mengusung Khilafah sebagai ajaran Islam. Pemerintah bahkan melakukan kriminalisasi terhadap ulama, ormas Islam dan menangkapi para aktivis Islam.

Sikap panik rezim ini terlihat ketika dengan terburu-burunya Menkopolhukam Wiranto mengumumkan rencana pemerintah membubarkan salah satu ormas Islam yang berjuang menegakkan Khilafah, Hizbut Tahrir Indonesia dengan alasan yang terkesan dibuat-buat. Padahal selama ini Hizbut Tahrir Indonesia berkontribusi dalam perbaikan bangsa ini. 

Hizbut Tahrir Indonesia selalu mengawal dan mengoreksi kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan hokum. Misalnya saja penjualan asset-aset kekayaan umat kepada asing. Hizbut Tahrir lantang menyuarakan bahwa pemerintah tidak memiliki hak untuk memberikan kekayaan alam kepada asing. Hizbut Tahrir Indonesia juga berkontribusi terhadap perbaikan generasi, dimana selama ini HTI melakukan pembinaan kepada generasi muda agar tidak terjebak dalam narkoba, free sex, tawuran dan kenakalan remaja lainnya.

Namun terlepas dari semua itu, pemerintah mengklaim bahwa HTI tidak berkontribusi dalam pembangunan bangsa dan mengganggu ketertiban umum. Sungguh sangat aneh alasan yang dikemukakan Menkopolhukan tersebut. 

Lebih dari itu, apa yang dilakukan pemerintah illegal yuridis. Karena untuk membubarkan sebuah organisasi yang berbadan hokum harus menempuh prosedur sebagaimana yang sudah tercantum dalam UU No 17 Tahun 2013. Dimana untuk membubarkan sebuah ormas berbadan hokum perkumpulan harus dilakukan persuasive terlebih dahulu, jika tidak diindahkan maka akan diberikan SP 1, jika masih tidak diindahkan maka akan keluar SP 2, SP 3 dan bisa masuk ke pengadilan. Namun semua mekanisme tersebut tidak ditempuh oleh pemerintah.

Juru Bicara HTI Muhammad Ismail Yusanto mengatakan dalam Konferensi Pers nya di Kantopr Pengacara milik Yusril Ihza Mahendra, bahwa selama ini pihaknya belum pernah diajak dialog, belum pernah menerima surat peringatan apapun. Padahal apa yang dilakukan oleh HTI hanyalah dakwah Islam, tidak mengancam keutuhan bangsa ini. Justru apa yang dilakukan HTI adalah dalam rangka menjaga keutuhan Bangsa Indonesia dari ancaman Neoliberalisme dan Neoimperialisme.

Namun rezim ini kadung refresif, anti Islam. Buktinya dakwah dihalangi, ulama dikriminalkan dan para aktivis Islam ditangkapi. 

Untuk membendung gerakan yang dianggap radikal oleh pemerintah tersebut, maka pemerintah berupaya mendesak DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Terorisme. Agar bisa menjerat gerakan radikalisme di Indonesia. 

Demikianlah, radikalisme menjadi dalih penguasa untuk membungkam arus gerakan Islam politik yang ingin menegakkan Khilafah. Namun apa yang dilakukan oleh pemerintah sendiri sesungguhnya radikal. Dimana mereka pun berada dalam kutub Radikalisme sekuler. Ya, radikalisme bagi mereka dalam legal, sementara bagi kaum muslim dan gerakan Islam adalah illegal. Ini sungguh merupakan ketidakadilan yang nyata.

Namun bagi kaum muslim, tentu sangat yakin akan pertolongan Allah, Sang Pencipta dan Pengatur manusia, alam semesta dan kehidupan. Allah tidak akan membiarkan kelompok kecil yang membela agama-Nya diberangus oleh rezim pengkhianat. Sebagaimana Allah tidak membiarkan pasukan Quraisy pada Perang Badar memberangus pasukan kecil kaum muslim yang hanya berjumlah 319 orang. Sementara pada saat itu, pasukan Quraisy berjumlah seribu pasukan. Namun pasukan kecil kaum muslimin itu dimenangkan Allah. Sungguh Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu. [VM]

Penulis : Lilis Holisah

Posting Komentar untuk "RUU Terorisme Jerat Gerakan yang Bertentangan dengan Pemerintah"

close