Terpaut Masjid
Kaki-kaki kecil berjajar rapat serupa benteng. Mengenakan sarung cerah aneka warna. Wajah anak-anak ini secerah matahari. Terdengar imam mengatur shaf. Tak lama, takbiratul ihram berkumandang. Allahu Akbar! Sholat Isya’ berjamaah malam itu berjalan dengan syahdu. Anak-anak itu luar biasa semangatnya. Selepas isya’ mereka turut berdzikir. Sambil sesekali bercanda tentunya.
Tibalah waktu tarawih. Di rakaat awal, sungguh bersemangat. Berdiri dengan sigap. Aamiin-nya melengking dan panjang seperti kereta. Hitungan rakaat bertambah. Ketika rakaat pertengahan, mereka mulai goyah. Berdiri dengan pelan-pelan. Aamiin pelan dan pendek saja. Tiba rakaat akhir. Menjelang Al Fatihah selesai, baru berdiri. Aamiin nyaris berbisik saja. Ada yang hanya duduk tak ikut sholat. Hanya diam dan menguap. Sebagian bercanda dengan pelan, tak ikut sholat juga. Sebagian tumbang, tertidur!
Sementara di barisan anak-anak putri, selalu terdengar bisik-bisik. Sambil sholat, mereka ngerumpi. Ngobrol tentang mukena yang miring, sajadah yang sedikit terlipat, tentang mainan barunya, dan bahkan deal janjian main kembang api sehabis tarawih. Sepertinya ngerumpi menjadi energi terbarukan untuk mereka, sehingga betah tidak tumbang.
Saatnya witir. Secara ajaib anak-anak putra kembali secerah matahari. Yang lemas, sigap kembali. Yang ngantuk langsung melek. Yang tertidur bangun lagi. Mereka pun sholat witir tiga rakaat dengan semangat menyala-nyala. Sebaliknya, di barisan anak-anak putri sudah hening. Tidak ada bisik-bisik. Tidak ada yang ngobrol. Hanya ada anak-anak yang duduk manis sambil memangku mukena yang yang sudah rapi dibungkus dengan sajadah. Ya, mereka sudah siap untuk pulang. Di saat yang lain masih sholat witir!
Munculnya semangat anak-anak saat tiba waktu witir, memang sebuah keajaiban. Seperti semangat anak-anak mendengar bel pulang sekolah. Tapi yang lebih ajaib lagi, esok malam anak-anak itu datang lagi ke masjid. Datang dengan semangat menyala, mengendur di tengah-tengah dan mungkin tumbang di akhirnya. Dan bersemangat lagi kala rangkaian ibadah malam itu selesai. Tapi mereka tak kapok-kapoknya. Setiap hari ke masjid. Ikut shalat isya’ 4 rakaat. Tarawih 20 rakaat. Witir 3 rakaat. Total 27 rakaat.
Yang membuat anak-anak ini tetap semangat adalah sikap orang dewasa pada tingkah mereka. Tidak ada orang dewasa yang memarahi mereka ketika mengucapkan aamiin dengan keras dan panjang. Tidak ada yang mengusir dari masjid karena mereka bercanda. Tidak ada yang menjewer telinga mereka ketika memanjat pagar saat yang lain sedang shalat. Tapi reaksi anak-anak ini luar biasa. Mereka memang tidak bisa diam, khas anak-anak, tapi tingkah mereka tidak sampai mengganggu kekhusyu’an ibadah. Mereka tahu posisi.
Begitulah anak-anak dalam beribadah. Mereka memang masih anak-anak. Belum baligh. Kalau yang ramai orang dewasa, tentu beda ceritanya. Anak-anak yang belum sempurna akalnya ini, ingin beribadah, seperti orang dewasa. Mereka ingin tahu bagaimana orang dewasa shalat. Tapi mereka belum memiliki ilmu dan kematangan pikiran layaknya orang dewasa. Tapi lihatlah semangat mereka. Esok hari, tahun depan, tahun depannya lagi, mereka akan beranjak dewasa. Saat itulah mereka tidak berisik lagi. Mereka sudah paham bahwa berisik membatalkan sholat. Mereka yang sekarang tertidur ketika tarawih, esok tidak lagi. Esoknya lagi mereka sudah bisa adzan, untuk kemudian nantinya bisa menjadi imam. Apakah masjidnya akan menjadi sepi? Oh tentu tidak. Akan muncul anak-anak baru tiap tahun. Yang besar sudah anteng, ganti adiknya yang “meramaikan” suasana.
Kita patut bersyukur bahwa anak-anak ini hatinya terpaut di masjid. Bayangkan jika mereka tidak boleh ke masjid karena kuatir berisik. Bisa jadi hati mereka justru terpaut ke tempat maksiat. Atau setidaknya ke tempat yang tiada manfaat. Maka kala orang dewasa sudah menua, lantas siapa yang memakmurkan masjid, siapa yang jadi muadzin, siapa yang menjadi imam, siapa yang menyembah Allah swt? Menjadikan hati anak-anak terpaut masjid bukan perkara mudah, sungguh beratnya. Godaan permainan, gadget, televisi, dll bisa memalingkan anak. Maka butuh upaya sungguh-sungguh dari para orang tua agar hati anak terpaut di masjid. Bagaimana caranya? Tentu saja ajak dan biasakan ke masjid. Tentu dengan memperhatikan kesiapan si anak. Jika anak dikhawatirkan menimbulkan najis, tentu dicari solusinya. Jika anak masih suka teriak-teriak, atau berlarian di depan orang sholat, tentu orang tua harus bijaksana.
Saat ini membuat hati anak terpaut ke masjid adalah ikhtiar individu. Namun tidak demikian dengan era khilafah. Khilafah sangat serius dalam mengkondisikan anak hatinya terpaut dengan masjid. Masjid didekatkan ke anak tidak hanya secara fisik dengan membangun masjid dan memperindahnya. Tapi masjid juga menjadi tempat menjawab semua keingintahuan. Ya, masjid menjadi pusat pendidikan. Bukan, bukan seperti gambaran masjid yang di sore hari menjadi TPQ. Bukan itu saja. Tapi riil bahwa masjid menjadi tempat menimba ilmu. Ilmu apa saja, baik tsaqafah maupun sains. Maka sekolah dalam khilafah selalu disertai masjid. Masjid tidak hanya menjadi tempat sholat dhuha bagi para siswa. Namun masjid juga menjadi tempat mereka mendapatkan ilmu. Maka di dalam khilafah, anak tidak sekadar boleh ke masjid, tapi anak boleh belajar apa saja di masjid. Maka bayangkan betapa riuhnya masjid dengan para pembelajar yang keingintahuannya membuncah ini.
Menariknya lagi, tidak ada dikotomi antara masjid dan sekolah. Misalnya masjid hanya untuk sholat, sedang di sekolah tidak boleh bicara agama, kecuali pada pelajaran agama tentunya. Dikotomi demikian bertentangan dengan asas khilafah yaitu akidah Islam. Juga bertentangan dengan tujuan pendidikan khilafah yaitu membentuk manusia bertakwa yang memiliki kepribadian Islam secara utuh dan menciptakan ulama, intelektual, dan tenaga ahli dalam jumlah berlimpah di setiap bidang kehidupan yang merupakan sumber manfaat bagi umat. Kurikulum sekolah menyatu dengan “kurikulum” masjid.
Di era khilafah, berbagai halqah dari berbagai cabang keilmuan menurut pandangan berbagai madzhab diadakan di masjid. Al-Khasyaisyi menggambarkan tentang Masjid Zaitunah Tunisia, “Masjid ini dipenuhi dengan berbagai bidang ilmu, baik aqliyyah maupun naqliyyah, juga ilmu tentang Maqashid dan Wasail.. Di perpustakaannya terdapat 100,000 jilid buku.” Masjid Qarawain, masjid yang dibangun di kota Fas, Maroko di era Idrisiyyah (245 H/859 M) bahkan menjadi tujuan pencari ilmu dari non-muslim. Salah satunya adalah Uskup Jairibir, yang kemudian menjadi Pastur Romawi dengan nama Silvester, tahun 999-1030 M, pernah menimba dan belajar di Universitas Qarawain setelah lulus dari Universitas Cordoba. Di dalam khilafah, membuat hati anak terpaut ke masjid bukanlah jargon, tapi amal nyata. [VM]
Penulis : Ragil Rahayu Wilujeng, SE.
Posting Komentar untuk "Terpaut Masjid"