Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Turbulensi Politik Sebuah Keniscayaan


Keseriusan pemerintah RI untuk melakukan langkah tegas kepada Ormas Islam HTI yang disinyalir Anti  Pancasila sangat nampak. Hasil rekomendasi dalam bentuk fatwa MUI sejak penelitian dan pengkajian tanggal 31 Mei 2017 dikabarkan akan tuntas seminggu pasca lebaran. Dan diserahkan kepada Dewan Pimpinan MUI untuk diambil keputusan akhirnya. Hasil fatwa tersebut rencananya digunakan sebagai referensi dikekuarkannya PERPPU oleh pemerintah. Langkah tersebut dilakukan di tengah ajuan E-Voting dan Presidential Threshold 25 persen oleh partai pemerintah namun mendapatkan penolakan oleh kalangan dewan. Konstelasi di kalangan dewan begitu dinamis. Hanya PDI P, Golkar dan Nasdem saja yang dikabarkan mendukung upaya ini. E Voting dan Presidential Threshold disinyalir oleh beberapa kalangan sebagai manuver politik untuk memenangkan kontestasi politik baik pileg 2018 dan pilpres 2019. 

Sementara itu disisi lain, berbarengan dengan dibentuknya Unit Kerja Presiden tentang Pancasila yang dipimpin Yudi Latif dilakukan berbagai kebijakan untuk membentuk karakter bangsa. Pemberian porsi besar terhadap upaya itu di satu sisi. Di sisi lain materi agama perlu direkonstruksi agar tidak menjadi persemaian nilai-nilai radikalisme dan terorisme. Konversi mata pelajaran agama dari materi yang diajarkan oleh madrasah diniyah yang menimbulkan ketegangangan kalangan NU dengan Muhammadiyah begitu terasa. Mengingat Mendikbud Muhajir Efendy dari latar Muhammadiyah. Sekalipun belakangan Permendikbud tentang full day school yang menjadi domain pembahasan itu akhirnya direncanakan diganti dengan Perpres. Masih dalam konteks penguatan karakter bangsa wacana pemberian mata kuliah agama di perguruan tinggi sebagai Mata Kuliah Dasar Umum yang diberikan pada semester awal digeser diberikan pada semester akhir. Atas nama fokus pada pembentukan karakter bangsa dan peningkatan skill pendidikan umum mulai tinggkat dasar hingga tinggi maka materi agama seolah-olah menjadi materi yang perlu diwaspadai kontennya. Hingga perlu dipinggirkan perannya bahkan secara ekstrem karena dianggap sebagai candu dihilangkan dan dikonstruksi ulang penafsirannya. Kesan ini begitu kuat terlihat dari statement salah seorang anggota PDI P yang menyatakan bahwa agama sebagai candu. Termasuk faktor dengan prosentase besar hampir 30 persen lebih sebagai sebab yang mengancam disintegrasi bangsa berdasarkan riset SMRC.

Dalam konteks kebijakan negara, pemerintah RI melakukan langkah-langkah yang sangat menekan. Kebijakan peningkatan harga TDL, BBM dan pencabutan subsidi dalam layanan dasar rakyat baik kesehatan dan pendidikan semakin mendera golongan miskin. Ironisnya kebijakan itu terjadi di tengah lemahnya negosiasi beberapa kontrak karya pengelolaan asing terhadap sumber daya alam, kasus mega korupsi E KTP, kasus reklamasi, kasus BLBI belum diusut tuntas yang diduga melibatkan para petinggi negeri, kasus Century yang tidak pasti, dan seabrek kasus hukum yang melibatkan para penyelenggara negara. Munculnya pansus KPK seperti hendak mengungkap perlakuan hukum berbeda atas kasus hukum yang lain. Seperti dugaan aliran dana Alkes kepada Amin Rais, kasus hukum dugaan chat pornografi HRS, kasus hukum Al Khathath yang belum jelas, dan perlakuan diskriminatif atas berbagai penindakan hukum yang menyasar kelompok-kelompok, aktivis- aktivis, tokoh-tokoh, para ulama dari kalangan islam. Kesan KPK, Kejaksaan dan Polri sebagai alat kekuasaan ketimbang sebagai alat negara sangat dirasakan. 

Betapapun tidak dipungkiri begitu rumitnya persoalan yang mendera negeri ini. Begitu banyaknya polarisasi kekuatan politik yang terlibat dalam friksi kepentingan saling menjatuhkan. Hingga menjadikan kegelisahan Panglima TNI atas potensi disintegrasi bangsa akibat disharmonisasi hubungan negara dengan rakyat dan antar kelompok masyarakat akibat dari tampilan kebijakan negara. Hingga perlu menegaskan keberpihakan TNI terhadap rakyat dalam komando Presiden. Jika saja pemerintah obyektif melihat persoalan dan menyikapinya dengan kepala dingin tidak panik maka semua persoalannya bisa diurai. Tetapi jika syahwat politik yang besar untuk memenangkan kontestasi politik baik di pileg 2018 dan pilpres 2019 dengan melakukan berbagai manuver politik maka pasti akan menemui benturan sangat keras. Mengingat begitu tingginya kesadaran politik masyarakat akan berbagai agenda kepentingan asing. Ketersediaan informasi di era digital begitu pesat telah melahirkan generasi native digital yang memiliki kepekaan politik mengaitkan konstelasi politik nasional dengan konstelasi politik internasional. Represifnya rezim barangkali bisa membungkam sementara satu kelompok tertentu. Tetapi tidak akan mampu menghadang sebuah keniscayaan sejarah ke depan. Tidak pula membungkam keyakinan dan pemikiran yang jernih dan mendalam tentang persoalan keumatan dan solusi tuntas atas persoalan yang mendera. Apalagi hal ini sudah termaktub dalam kitab suci Al Qur'an yang diyakini sepenuhnya oleh umat islam sedunia. Allahu a'lam bis showab. [VM]

Penulis : Arif Wicaksono (Pemerhati Sosial Politik)

Posting Komentar untuk "Turbulensi Politik Sebuah Keniscayaan"

close