Arogansi Beragama di Nusantara
Arogansi (ilustrasi) |
“Ini negara Indonesia, bukan negara Islam. Ini negara yang majemuk, bukan negara milik satu agama tertentu. Ini negara milik kita semua yang ada di sini, beda suku beda keyakinan, and that’s the beauty of Indonesia” (Reza Rahardian).
Pernyataan aktor papan atas tersebut menuai komentar beragam dari netizen. Realitasnya sistem Indonesia memang tidak berdiri atas dasar agama, namun spirit agama dalam lahirnya negeri ini tak bisa dipungkiri. Pada salah satu kalimat pembukaan UUD 1945 disebutkan “Atas berkat Rahmat Allah swt”. Para founding father negeri ini tak bersifat arogan, mereka memaknai kemenangan berupa kemerdekaan yang didapat bukan berasal dari kekuatan mereka sendiri menumpas penjajahan, tetapi hadiah berkat rahmat Tuhan semesta.
Membahas tentang masalah agama selalu menjadi isu sensitif namun hangat untuk diperbicangkan, setiap orang punya suatu pilihan terhadapnya dan tentu semua sepakat bahwa dalam masalah beragama tak layak ada suatu arogansi di dalamnya. Namun yang menjadi soal adalah, justifikasi seseorang terhadap makna arogansi beragama itu bagaimana? Kadangkala teguh pada agama ataupun aktivitas dakwah dianggap suatu arogansi dan pemaksa, kadang pula lontaran berupa hujatan dan makian dianggap suatu dakwah yang wajar.
Maka bersikap bijak dan dewasa adalah jalan bagi bangsa agar terjaga kedamaian. Bukan dengan meninggalkan agama dan justru menyalahkan agama sebagai akar perselisihan. Justru kekurangpahaman terhadap agamalah yang menjadi suatu ruang terjadinya konflik. Contohnya saja momen bersejarah aksi 212 di mana umat Islam tumpah ruah. Gedung mana yang bisa selamat dengan masssa sebanyak itu, makhluk apa yang bisa lolos jika 7 juta orang mau bersifat beringas, namun jangan cari setetes darah yang tumpah dalam aksi tersebut bahkan sebungkus sampah sulit ditemukan. Semua berkat bimbingan para ulama yang hadir sekaligus mengarahkan massa agar berpegang pada syariat.
Begitupula pengakuan dari Deddy Corbuzier terhadap Islam. "Kalau seandainya apa yang mereka katakan benar, bahwa agama yang tersebut tidak baik, teroris, ISIS, dan sebagainya, maka saya sudah mati sejak dahulu kala," (http://showbiz.liputan6.com 05 Juni 2017)
Jikapun ada oknum yang memiliki sifat kurang ahsan dengan banyaknya hujat-hujatan di dunia maya atas nama bela agama, bukan kita menghujat balik apalagi menimpali kesalahan pada agamanya, namun merangkul semangat beragamanya agar dibarengi dengan suatu ilmu syar’i. Sebab dakwah bukan sekadar menyampaikan kebenaran namun memperhatikan proses penyampaian dengan cara yang paling baik, pun dakwah tak sekadar agar menyenangkan audiens dengan proses penyampaian paling baik namun justru melencengkan kebenaran. Serulah (manusia) ke jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”(Q.S An Nahl [16]:125)
Akan tetapi kadangkala dibutuhkan suatu ketegasan atau power dalam dakwah, sebagaimana dicontohkan Rasulullah di saat memiliki power, Rasul menggunakan kekuasannya untuk mencegah kemungkaran terutama bagi mereka yang sangat bebal dan tak mempan hanya sekadar kata-kata, atau jika pelanggaran berat yang membutuhkan penerapan hudud terhadapnya. Begitulah bentuk kewibawaan Islam terjaga. Santun penuh hikmah sekaligus kuat dan punya daya.
Imam Al-ghazali berkata “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi dan kekuasaan adalah penjaga. Sesuatu tanpa pondasi pasti akan runtuh dan sesuatu tanpa penjaga pasti akan hilang”
Islam itu agama sekaligus ideologi, inilah yang membuat Islam itu unik. Islam adalah agama yang komprehensif yang mengatur segala lini kehidupan, mulai dari bangun tidur sampai bangun negara. Sehingga tak aneh jika Islam punya konsep dan perspektif tentang ekonomi, politik, pemerintahan, pendidikan, hingga kesehatan. Di satu sisi, iman dalam Islam mewajibkan kita kaffah (menyeluruh) dalam mengambil ajaran Islam, jika setengah-setengah konsekuensinya dalam Quran surah Al-A’raf 79 disebutkan mendapatkan kenistaan di dunia, dan di akhirat mendapat azab yang pedih.
Islam sejatinya adalah agama Rahmat, Agama yang menaungi dan melindungi seluruh keberagaman umat beragama. Bahkan Rasul bersabda “Barang siapa menyakiti kafir dzimmi, maka aku akan menjadi lawannya di hari kiamat" (HR. Muslim)”
Secara faktual Indonesia memang bukan negara agama tetapi juga bukan negara setan.
Beragama saja kita masih sering tergoda setan apalagi jika tak memakai agama. Wajar kiranya kiblat negara kita mudah dipalingkan setan karena membatasi ruang agama hanya pada aspek individual. Wajar LGBT kian eksis sedangkan aktivis dakwah diawasi, wajar kasus korupsi marak, saat diusut serius malah saksi kuncinya mati misterius, wajar utang makin meningkat rakyat miskin makin banyak, begitulah borok yang terjadi di saat kita tak memaknai rahmat Allah untuk taat pada-Nya. Bukankah para patriot bangsa mengusir penjajah dengan semangat jihad dan Agama? Maka taat beragama adalah bentuk bela negara. [VM]
Penulis : Ratih Paradini (Aktivis Dakwah)
Sumber : Fajar Online
Posting Komentar untuk "Arogansi Beragama di Nusantara"