Menuntaskan Identitas Indonesia (2) (Catatan Tiga Tahun Rezim Jokowi-JK)
Sering dalam hidup, baik pejabat ataupun tokoh rakyat menyatakan ‘NKRI harga mati’. Sampai-sampai ada yang siap menjadi martir atau terbunuh karenanya. Pergolakan pun muncul di kalangan kelompok besar umat Islam khususnya. Misalnya NU dan Muhammadiyah terkait pandangan NKRI harga mati. Di sisi lain, ada pula yang menginginkan tak cukup Indonesia sebagai republik, tapi harus lebih dari itu. Misalnya menjadikan Indonesia bersendikan syariah Islam dalam aturan kenegaraan dan kehidupan.
Polemik NKRI harga mati dijadikan sebagai bentuk pemisahan dan pengkotakan. Memperjelas kubu yang mendukung penguasa dan kontra penguasa dalam gagasan kenegaraan. Akhirnya ini menjadi alat efektif mendulang dukungan, meski pemerintah sendiri sering abai pada serangan penjajah asing. Baik berwajah neoliberalisme maupun neo-imprealisme. Begitu pun rongrongan separatisme nyata sering seperti OPM, RMS, dan lainnya sering ada pengabaian. Hal yang sangat menyedihkan ketika Timor-Timur memisahkan dari Indonesia melalui referendum, tak banyak yang berteriak NKRI harga mati. Aneh, bukan?
Indonesia dengan sebutan NKRI jelas bermakna bahwa Indonesia itu negara republik. Dalam ilmu negara, George Jellinek menjelaskan jika negara itu ditentukan oleh banyak orang yang merupakan majelis, maka bentuk negaranya adalah republik (Allgemeine Staastslehre, Berlin 1914). Hal lazim yang digunakan untuk menjelaskan negara republik dari faham Duguit. Jika kepala negara dipilih melalui sistem pemilihan umum untuk masa jabatan yang ditentukan, maka bentuk negranya disebut republik dan kepala negaranya adalah seorang presiden (Traite de Droit Constitutionel, Paris 1923).
Karenanya, jika Indonesia disebut dengan ‘penamaan selain republik’ jelas bertentangan dengan fakta kenegaraan. Sistem politiknya pun menganut demokrasi dengan lembaganya triaspolitika. Sayangnya, meski mengklaim sebagai negara republik dan demokrasi, seringnya praktek di luar itu. Terkadang berasa diktator, otoriter, hingga represif.
Tidak ada lembaga atau siapa pun yang bisa mengklaim ‘NKRI harga mati’. Hal ini dikarenakan negara itu seperti manusia. Dia lahir, hidup, lalu mati. Banyak contoh yang bisa diambil sejarah di negeri ini. Indonesia pernah berdiri kerajaan bercorak Hindu-Budha dan Islam. Akhirnya kerajaan itu pun sirna. Dahulu tiada nama Indonesia. Selama masa penjajahan negeri ini dikuasai kolonial, hingga kemerdekaan baru Indonesia dideklarasikan. Sama halnya dengan negara bercorak Islam, misalnya Khilafah. Diawali dari Rasulullah Saw, dilanjutkan Khulafaur Rasyidin, hingga khalifah sesudahnya. Sejarah pun mengenal Khilafah Umaiyyah, Abasiyah, dan Utsmaniyah. Pada akhirnya Khilafah Utsmaniyah runtuh dan kini tinggal peninggalan dan sejarah abadinya.
Justru yang harus dipahami oleh pemimpin negeri ini adalah merawat dan menjaga Indonesia. Dalam artian membentengi dari penjajahan dalam segala bentuk. Ungkapan NKRI harga mati perlu dikoreksi kembali. Jika Indonesia tidak boleh terpecah siapapun sepakat, namun tatkala negeri ini tidak malah berkembang dan stagnan, maka negeri ini tiada berdaulat.
Sementara itu, ideologi negara sudah final selama ini cenderung subyektif. Pembahasan ideologi negera terkadang masih kabur. Merujuk pada makna ideologi seharusnya memiliki tata aturan dan sistem yang menyeluruh. Tanpa pemaknaan ideologi yang jelas akan menimbulkan kekaburan dalam menentukan arah ideologi bangsa.
Harus diakui, ideologi Indonesia belumlah jelas. Pasalnya, ketika mengkalim Pancasila sebagai ideologi, akademisi ketatanegaraan, hukum, dan politik masih memberi catatan. Ideologi Pancasila disebut terbuka. Artinya menerima beragam ideologi yang ada semisal kapitalisme, sosialisme, dan Islam. Tiada yang bisa menafsiri tunggal pancasila. Karena Pancasila berbentuk falsafah yang harus dijabarkan dalam aturan turunannya.
Oleh karena itu, tatkala ideologi Indonesia belum jelas, maka di kancah dunia Indonesia bisa saja kalah dengan negara berideologi. Semisal, AS yang kapitalisme, China yang komunisme, dan lainnya. Cenderung negera yang tak berideologi lebih banyak mengekor dan jadi santapan negara raksasa lainnya.
Satu catatan bagi tiga tahun pemerintahan Presiden Jokowi-JK adalah terkait narasi ideologisasi bangsa. Kiranya empat hal di atas, Indonesia Bukan Negara Agama; Saya Indonesia, Saya Pancasila; NKRI Harga Mati; dan Ideologi Negara Sudah Final perlu dikaji ulang. Jangan sampai jargon ideologisasi hendak memecah belah bangsa. Tambah runyam dan ruwet kehidupan berbangsa ini. Jika pilihan ideologisasi, maka pilihlah yang sesuai dengan fitrah manusia, menentramkan jiwa, dan memuaskan akal. Itulah tawaran ideologi islam yang membumi dan membawa rahmat bagi seluruh alam. (selesai) [vm]
Posting Komentar untuk "Menuntaskan Identitas Indonesia (2) (Catatan Tiga Tahun Rezim Jokowi-JK)"