Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menanti Nasib UU Migas



Sejak tahun 2004, Indonesia sudah menjadi importir migas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang mencapai 1,6 juta barel perhari. Penerimaan negara di sektor migas juga semakin ciut dari tahun ke tahun. Pada 2012, sektor migas menyumbang sekitar Rp 205,8 triliun berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Angka tersebut terus terjun dari tahun ke tahun. Pada 2016, penerimaan migas hanya 44,9 triliun[1]. Meski kecilnya angka tersebut banyak dipengaruhi oleh rendahnya harga minyak dunia, beberapa kalangan berpendapat ada masalah serius dalam pengelolaan hulu migas di Indonesia.

Di satu sisi, UU Migas dikritik oleh beberapa pihak belum sesuai amanat UUD 1945. Keberadaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) yang lahir dari UU Migas dinilai belum memperkuat perusahaan migas pelat merah, Pertamina, untuk mendominasi sektor hulu migas dalam negeri. UU Migas yang baru diharapkan dapat mereformasi kelembagaan pelaksana hulu migas dan memperkuat posisi negara dalam pengelolaan migas. Namun hingga hari ini, revisi UU Migas yang sedang digodog di DPR belum menunjukkan tanda-tanda akan rampung.
Seberapa rumit pembahasan UU migas? Cukupkah perbaikan hanya dengan UU? Perbaikan macam apa yang harus dilakukan?

Benang Kusut UU Migas

UU nomor 22 tahun 2001, yang merupakan jelmaan dari UU no. 8 tahun 1971, sebenarnya telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi sejak 2003. Ada poin-poin pada UU migas yang dirasa masih belum berhaluan dengan semangat memanfaatkan kekayaan bumi Indonesia sesuai konsitusi. MK menganulir pasal 12 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2. Sedangkan pada 2012, MK kembali menganulir pasal-pasal pada UU migas yang berkenaan dengan BP Migas[2]. Pada tahun yang sama, BP Migas dibubarkan dan pada awal tahun 2013 didirikanlah Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas).

Berbagai kalangan menyorot bahwa UU Migas yang ada, meski sudah mengalami berbagai judicial review, masih belum mengakomodasi kepentingan bangsa dengan baik. Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada sekaligus mantan anggota Tim Anti-Mafia Migas, Fahmi Radhi menilai, bahwa UU Migas yang ada masih beraroma liberal. Dengan ditempatkannya Pertamina bersama-sama kontraktor swasta dan asing dalam persaingan tender, hal tersebut akan mengurangi peluang perusahaan yang sahamnya 100% dimiliki oleh negara tersebut untuk ambil bagian.[3] Senada dengan Fahmi, Direktur Eksekutif IRESS, Marwan Batubara menganggap UU Migas yang ada belum memperkuat Pertamina. Sedangkan wacana mengubah SKK Migas menjadi BUMN Khusus malah menjadikan tata kelola migas menjadi tidak efisien. Tugas SKK Migas harus dilimpahkan ke Pertamina. Karena UU Migas yang beraroma liberal itu, negara hanya menguasai migas sekitar 20% saja. Padahal di berbagai negara, National Oil Company (NOC) lah yang dominan menguasai sumber daya migas[4].

Mekanisme kontrol skema Production Sharing Contract (PSC), yang saat ini berlaku, juga terbukti bermasalah secara audit keuangan. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK yang diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pada Selasa, 12 April 2016 mengungkapkan ada biaya-biaya yang tidak semestinya dibebankan dalam cost recovery. Fenomena tersebut terjadi pada tujuh wilayah kerja KKKS yang total nilainya sekitar Rp 4 triliun[5].

Anggota DPR RI komisi VII, Dr. Kurtubi, pada 2016 menyampaikan bahwa UU Migas eksisting jelas merugikan negara. Menurutnya, yang terjadi adalah kuasa pertambangan tidak di tangan Pertamina, melainkan di tangan pemerintah melalui ESDM. Hubungan antara kontaktor dan pemerintah adalah Business to Government (B2G). Pola hubungan seperti ini dinilai melemahkan kedaulatan negara karena semestinya entitas bisnis dihadapi dengan bisnis (B2B), bukan negara. Bila suatu saat ada perselisihan antara Pertamina dengan kontraktor, negara bisa menjadi penengah. Sebaliknya bila B2G tetap diterapkan, negara dan kontraktor akan berada pada level yang sama di hadapan arbitrase internasional bila terjadi perselisihan. Di samping itu, Kurtubi menyorot bahwa UU Migas menjadi sebab berbagai inefisiensi seperti:
  • Kontrol cost recovery pada Kontrak Bagi Hasil tidak lagi di tangan Pertamina tapi berpindah ke SKK Migas yang berstatus BHMN. Sedangkan SKK Migas bukan badan yang kompeten dalam hal ini, mengingat SKK Migas bukan pelaku langsung bisnis migas.
  • Penjualan migas bagian negara yang didapat dari kontraktor diserahkan kepada pihak ketiga yang ditunjuk oleh SKK Migas. Hal ini menyebabkan rantai bisnis yang panjang dan rentan terhadap praktik ilegal.

Jalan Panjang Revisi UU Migas

Dikritik keras oleh khalayak luas, UU migas kembali menjadi perbincangan di kalangan anggota dewan untuk direvisi. Kelompok kritis menilai bahwa kehadiran SKK Migas sebagai pengganti BP Migas pasca sidang MK pada 2012 tetap belum memberi jalan keluar. Manuver itu dinilai sekedar “ganti baju” padahal substansinya sama. Persoalan pengelolaan hulu migas hingga hari ini masih ruwet.

Sebenarnya sudah sejak tahun 2010, pembahasan RUU migas masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI. Banyaknya kepentingan mengakibatkan proses pematangan Rancangan Undang-Undang (RUU) menjadi lambat. Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro pada Agustus 2016 mengatakan bahwa draf revisi UU Migas masih dibahas di Badan Keahlian DPR. Menurut dia, revisi UU tersebut sangat lambat meskipun berulang kali masuk ke Prolegnas. Dia berujar bahwa karena banyak kepentingan drafnya pun berganti-ganti.[6]

Anggota Komisi VII DPR, Kurtubi, mengusulkan agar Pertamina menjadi Badan Usaha Khusus (BUK) Migas. Kemudian SKK Migas dibubarkan karena menurutnya tidak sesuai dengan Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Aset BUK Migas terdiri dari aset Pertamina dan juga aset SKK Migas. Aset SKK Migas dipindahkan sebagai tambahan modal negara di Pertamina. Kurtubi menjelaskan, BUK berbeda dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ketika menjadi BUK, Pertamina tak lagi berstatus sebagai perseroan. Pemerintah tak bisa menjual saham BUK karena bentuknya bukan persero.[7].

Dalam draft RUU Migas, BUK Migas dibentuk secara khusus untuk melakukan kegiatan usaha hulu dan hilir migas. Seluruh modal dan kekayaan BUK dimiliki oleh negara dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. BUK Migas dalam RUU ini akan memiliki kewenangan yang cakupannya sekarang berada di SKK Migas, Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas), dan PT Pertamina (Persero).[8]

Pada April 2017, Komisi VII DPR RI telah menyerahkan menyerahkan draf RUU kepada Badan Legislasi (Baleg) untuk dipastikan apakah draf tersebut bertentangan dengan regulasi lainnya. Harapannya, setelah pembahasan di Baleg selesai dan diserahkan kembali ke Komisi VII, pembahasan akan dilanjutkan bersama pemerintah untuk menampung berbagai macam usulan. Menurut aturan DPR, pembahasan di Baleg harusnya sudah selesai pada sekitar Juli 2017. Namun hingga awal tahun 2018 ini, draf masih belum bisa beranjak dari Baleg.

Ada dua aspek yang membuat pembahasan begitu sulit. Pertama, tentang bentuk kelembagaan badan yang nantinya berkontrak dengan investor atau yang nantinya disebut Badan Usaha Khusus (BUK), dan yang kedua adalah sistem perpajakan yang diterapkan dalam kegiatan usaha hulu migas.

Soal yang pertama, disebutkan dalam draf RUU Migas bahwa BUK Migas berkedudukan langsung dan bertanggung jawab kepada presiden. Dari sisi permodalan, BUK akan mendapat modal awal yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), seperti yang tercantum di pasal 52. Modal BUK tersebut merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham-saham. Berdasarkan pada pasal tersebut, Baleg menilai bentuk BUK Migas masih tergolong badan usaha milik Negara (BUMN) yang mana seharusnya berada di bawah koordinasi Menteri BUMN seperti mengacu pada UU No.19/2003 (UU BUMN) dan RUU tentang BUMN. Yang membuat pembahasan menjadi rumit ialah BUK Migas menurut Komisi VII berada di bawah koordinasi presiden seperti lembaga, kementerian dan badan pemerintah. Di sinilah letak alotnya pembahasan antara Komisi VII dengan Baleg.

Jika BUK merangkap fungsi sebagai pengawas dan pelaku usaha, maka dikhawatirkan akan mengacaukan pasar migas. Misalnya, dalam hal wewenang BUK untuk menyetujui rencana pengembangan lapangan (plan of development/ PoD). PoD adalah dokumen yang memuat berbagai macam informasi tentang lapangan hingga soal harga jual gas yang akan diproduksi dan keekonomian lapangan. Dari sini BUK bisa saja menjadi konsumen gas dari suatu lapangan yang telah disampaikan rencana pengembangannya dengan harga yang sangat menarik. Dualisme tersebut akan mempengaruhi keberlangsungan pengembangan lapangan[9].

Melihat fakta-fakta yang telah disinggung, kemungkinan RUU Migas ini akan molor hingga waktu yang lebih lama akan semakin besar. Ada indikasi juga bahwa DPR terancam gagal mengundangkan RUU Migas yang baru pada periode ini. Prediksi ini berdasar pada kenyataan bahwa tahun ini adalah tahun politik. Terdapat tiga kejadian besar politik pada akhir periode jabatan DPR, diantaranya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018, Pemilihan Umum Legislatif 2019, dan Pemilihan Presiden 2019. Semua tahu, bahwa pada masa-masa menjelang Pemilu, mesin-mesin politik termasuk anggota Dewan dipekerjakan untuk mendongkrak elektibilitas partai atau calon tertentu. Kemungkinan gagal tersebut juga akan semakin besar, karena Komisi VII DPR RI juga sedang dikejar-kerjar revisi UU Minerba.

Butuh Sekedar Ganti UU

Sejak kelahirannya, UU Migas memang telah menuai kontroversi. Kemunculan UU no. 22 tahun 2001 adalah buntut dari ditandatanganinya Letter of Intent (LoI)  International Monetary Fund (IMF) pada tahun 2000. Pemerintah Indonesia saat itu menerima ‘santunan’ dari IMF yang kemudian ‘dipaksa’ mereformasi sektor energi, antara lain soal harga energi, kelembagaan pengelolaan energi, termasuk pencabutan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM)[10].

‘Reformasi’ pada sektor hulu yang menuntut iklim kompetitif secara internasional itu menghasilkan ‘pengebirian’ Pertamina melalui pembentukan BP Migas pada 2002. Tidak hanya sektor hulu, liberalisasi juga kian nyata di sektor hilir. Sejak zaman SBY, harga BBM dicoba untuk terus dinaikkan (dengan menghapus subsidi) demi menjalankan amanat dari IMF. Harapannya, SPBU asing juga bisa ikut ‘bermain’ dalam bisnis bensin eceran. Di Harian Kompas, 14 Mei 2003, Purnomo Yusgiantoro (menteri ESDM saat itu) mengatakan, “Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas. Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.”

Dua tahun ini bahan bakar bersubsidi yakni bensin Premium tengah diujicoba oleh pemerintah untuk dikurangi pasokannya di pasaran. Di beberapa tempat, Premium semakin susah ditemui. Sebagai ganti, Pertamina menawarkan bensin “Pertalite” yang memiliki kadar RON lebih tinggi dibanding Premium. Pemerintah ingin masyarakat beralih menggunakan Pertalite yang notabene bukan BBM bersubsidi. Bila Premium benar-benar dihilangkan dari pasaran, masyarakat mau tidak mau akan membeli BBM non-subsidi yang berarti menandai sempurnanya liberalisasi di sektor hilir.

Keberpihakan pemerintah untuk menguatkan Pertamina sebagai National Oil Company (NOC) juga masih minimal. Padahal jika melihat kebanyakan negara produsen migas, NOC nya diberikan berbagai macam hak istimewa. Pemerintah selalu siap mendukungan secara kebijakan dan finansial. Apabila terdapat International Oil Company (IOC) yang memutuskan untuk mengakhiri kontrak, maka pemerintahnya siap memasang NOC nya untuk mengambil alih lapangan tersebut dan men-support secara finansial. Pemerintah punya concern besar untuk meningkatkan permodalan NOC-nya. Menurut PFC energy, konsultan energi kondang yang bermarkas di Washington, pengeluaran biaya kapital (Capex) Pertamina untuk sektor hulu, jauh tertinggal dari NOC lain, seperti Petrochina, Petrobras, Petronas, dan bahkan PTTEP (Thailand)[11].

Permasalahan juga semakin rumit mengingat masalah energi bukan hanya soal migas. Pemerintah tampak terlalu menghabiskan energi untuk berurusan dengan energi yang dalam waktu dekat akan habis. Ada energi terbarukan yang perlu diseriusi mengingat masa depan energi tidak mungkin bergantung pada migas. Potensi panas bumi sebesar 27 GW[12] dan potensi nuklir sebesar 7 ribu ton[13] menanti untuk dikembangkan demi kemandirian energi di masa depan. Keduanya adalah energi bersih yang lebih ramah lingkungan dibanding minyak bumi.

Sebenarnya ada problem filosofis dalam pengelolaan migas (termasuk sumber daya alam lainnya) di negeri ini, disamping problem kebijakan dan teknis. Pengelolaan migas hanya memfokuskan pada perolehan profit tanpa melihat kedaulatan negara dalam mengelola sumber daya alamnya. Di satu sisi, keterjangkauan masyarakat terhadap bahan bakar minyak juga tidak menjadi beban pikiran penguasa. Hal ini nampak dari ujaran-ujaran para pemegang kekuasaan bahwa dalam mengukur kesehatan industri migas di dalam negeri adalah dengan bagus tidaknya iklim investasi.

Negara ini mengklaim sudah memiliki UUD’45 yang memuat falsafah kepemilikan sumber daya alam termasuk migas (pasal 33). Namun pada praktiknya, karena setiran asing, konstitusi turunannya masih jauh dari keberpihakan pada kepentingan bangsa sendiri. Akibatnya, skema kontraknya masih kental beraroma liberal. Di sisi lain, lingkungan industri migas yang dilingkupi oknum-oknum korup juga problema tersendiri. Persoalan juga semakin rumit jika menengok berbagai macam kepentingan yang saling tarik ulur di legislatif maupun eksekutif. Konflik kepentingan tersebut membuat berbagai usaha memperbaiki regulasi untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi migas menjadi super lelet.

Mengembalikan kedaulatan migas harus dimulai dari kebangkitan ideologi. Sejarah mengajarkan bahwa bangsa yang begitu giat menanamkan nilai-nilainya pada bangsa lain adalah bangsa yang bertahan lebih lama. Dari sana kita bisa mengerti bahwa ada bangsa yang bangkit walau tanpa dikaruniai minyak atau emas yang melimpah. Di sisi lain, ada bangsa yang gemah ripah tapi karena tidak punya pendirian, maka nasibnya tetap susah. Kedaulatan migas tidak bisa hanya diusahakan melalui revisi UU semata. Ada persoalan yang lebih mendasar yang menuntut untuk dipecahkan terlebih dulu.

Kebangkitan ideologi berarti mengambil paradigma baru dalam segala bentuk pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Islam memberikan cara pandang bahwa negara hadir untuk mengatur segala urusan ummat dengan prinsip dan aturan syariah Islam. Pada konteks kepemilikan migas, Islam memandang bahwa migas adalah milik ummat, pengelolaannya diserahkan pada negara dan hasilnya dikembalikan pada ummat.

Rasulullah  bersabda,

Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, api dan padang gembalaan.” (HR Abu Dawud dan Ibn Majah)

Di sisi lain, Islam mengamanatkan bahwa negara harus memiliki kedaulatan untuk menjaga keberlangsungan pemerintahannya. Dari situlah dibutuhkan persatuan kaum muslim agar ummat punya power untuk mengatasi segala ancaman pihak luar. Dari segi ekonomi, dengan topangan ekonomi Islam yang menerapkan mata uang berbasis emas atau perak serta tanpa perbankan ribawi, suatu negri akan punya kekebalan terhadap tawaran hutang luar negeri.

Lebih lanjut, sejatinya persoalan negeri ini tidak cuma soal kedaulatan migas. Kita melihat Venezuela yang berhasil mengembalikan kedaulatan migasnya sejak 2002 pun kini sedang meniti jalan menuju negara gagal akibat kesalahan sistemik ekonomik. Kita juga mendengar, ada suatu bangsa yang bisa menjarah kekayaan alam di belahan bumi lain yang berhasil menjadi negara adidaya pun dihinggapi segudang persoalan sosial yang serius. Permasalahan satu aspek pasti berinterrelasi dengan aspek yang lain. Penyelesaian masalah hingga ke akarnya merupakan suatu keharusan agar suatu negeri bisa memecahkan berbagai soal dengan solusi yang hakiki. [mfr] 

Penulis : Muhammad Fatkhurrozi 


[1] detik.com (2017) Penerimaan Negara dari Migas Turun Rp 235 T dalam 2 Tahun. diakses dari https://finance.detik.com/energi/d-3504809/penerimaan-negara-dari-migas-turun-rp-235-t-dalam-2-tahun
[2] Hukumonline.com (2012) MK: BP Migas Inkonstitusional. Diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50a2367d37e5c/mk--bp-migas-inkonstitusional
[3] Tempo.co (2016) Pemerintah dan DPR Didesak Revisi UU Migas. Diakses dari   https://m.tempo.co/read/news/2016/08/20/092797514/pemerintah-dan-dpr-didesak-revisi-uu-migas
[4] Kontan.co.id (2016) Revisi UU Migas jangan memihak asing. Diakses dari  http://nasional.kontan.co.id/news/revisi-uu-migas-jangan-memihak-asing
[5] Katadata.co.id (2016) Cost Recovery Bermasalah, SKK Migas: Negara Tidak Dirugikan. Diakses dari https://katadata.co.id/berita/2016/04/18/cost-recovery-bermasalah-skk-migas-negara-tidak-akan-dirugikan
[6] Tempo.co (2016) Pemerintah dan DPR Didesak Revisi UU Migas. Diakses dari  https://bisnis.tempo.co/read/797514/pemerintah-dan-dpr-didesak-revisi-uu-migas
[7] Detik.com (2017) Ada 'Badan Usaha Khusus', Pertamina dan SKK Migas Dimerger?. Diakses dari https://finance.detik.com/energi/d-3575377/ada-badan-usaha-khusus-pertamina-dan-skk-migas-dimerger
[8] Detik.com (2017) SKK Migas dan BPH Migas Terancam Dibubarkan. Diakses dari https://finance.detik.com/energi/3575670/skk-migas-dan-bph-migas-terancam-dibubarkan
[9] Bisnis.com (2017) DPR Ragukan RUU Migas Selesai Tahun Ini. Diakses dari http://industri.bisnis.com/read/20171027/44/703666/dpr-ragukan-ruu-migas-selesai-tahun-ini
[11] Lubiantara, Benny (2009) Apakah NOC harus 100% milik negara? Diakses dari http://ekonomi-migas.blogspot.co.id/2009/11/apakah-noc-harus-100-milik-negara.html
[12] Alimuddin (2013) Pengelolaan Energi Dalam Pandangan Islam. Proceeding of JICMI: 594:601
[13] Detik.com (2016) RI Punya 7.000 Ton Uranium, Ini Dia Lokasinya. Diakses dari  https://finance.detik.com/energi/d-3201140/ri-punya-7000-ton-uranium-ini-dia-lokasinya

Posting Komentar untuk "Menanti Nasib UU Migas"

close