Ogah Percaya Politisi Busuk
Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga macam: jika berkata berdusta; jika berjanji tidak ditepati; jika dipercaya berkhianat. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Tahun politik telah tiba, situasi panas elit politik sangat terasa di akar rumput. Pilkada langsung bukan disambut bahagia, namun banyak pihak prihatin akan potensi maraknya potensi money politic yang dari waktu ke waktu disinyalir masih marak untuk membeli suara konstituen, sehingga tidak adanya jaminan pasangan calon terbaik akan menang dan akibat biaya kampanye yang besar maka hasil pilkada sulit dipisahkan dari perilaku koruptif kepala daerah terpilih.
Dengan dinamika politik pragmatis yang tinggi, maka tak heran, publik disodori berbagai inkonsistensi. Bila hari ini kawan besok menjadi lawan ataupun sebaliknya. Bila hari ini mendukung B, besok bisa jadi musuh B. Berbagai Politik tidak etis disuguhkan ke ruang publik, wong cilik jadi penonton, padahal etisnya adalah setiap oknim politisi maupun parpol tetap berpihak kepada kebenaran.
Pilkada Langsung yang digadang-gadang elit politisi, menyuburkan potensi suap ataupun korupsi, sedangkan ongkos politik yang mahal, memperbesar potensi munculnya calo-calo politik. Seorang yang merasa dekat dengan partai tertentu, maka menawarkan kepada orang yang akan menduduki jabatan tertentu dengan imbalan. Bahkan untuk mempertemukan calon dengan pejabat atau dengan elit partai, sudah ada ‘harga’nya. Pilkada langsung menjadikan sebagian elit berbisnis semu.
Ditengah-tengah masyarakat tampil politisi busuk adalah politisi yang tidak kapabel, padahal Islam memerintahkan bahwa untuk setiap jabatan dibutuhkan orang-orang yang memiliki keahlian, etos kerja, dan tanggung jawab. Orang dengan track record yang buruk, preman, antek asing, mafia dan tukang ngemplang kekayaan umat adalah calon politisi busuk.
Walhasil, rakyat muak dengan tabiat politisi busuk yang lahir dari rahim sistem demokrasi ini yang sering melakukan kebohongan publik, tidak menepati janji (terutama janji saat kampanye), pernyataannya tidak klop dengan perbuatannya, dan tidak memegang norma-norma Islam; misalnya bergaya hidup hedonis, tidak mendukung dilarangnya pornografi, memiliki bisnis ‘esek-esek’, mendukung homoseksual-lesbianisme, atau malah menentang pasal-pasal larangan zina di KUHP. Politisi seperti ini juga tidak merasa berdosa untuk merayakan ‘kesuksesannya’ dengan minuman keras atau terlibat dalam bisnis haram semacam riba, perjudian, atau pelacuran. Lebih dari itu, sistem yang sekular, mau tak mau, akan menggiring politisi yang sejatinya tulus dalam berjuang menjadi tulus memperjuangkan sistem yang salah. [vm]
Penulis : Lalang Darma Bakti
Posting Komentar untuk "Ogah Percaya Politisi Busuk"