Sepuluh Menit yang Menggelikan dalam Keterangan Ahli dari Pemerintah yang Tidak Kapabel
“Saudara Ahli mengatakan bahwa HTI telah menyimpangkan makna khilafah berdasarkan pemahaman Surat Al-Baqarah Ayat 30. Mohon Saudara Ahli menunjukkan di kitab mana HTI menyebutkan wajib tegaknya khilafah itu berdasarkan Al Baqarah Ayat 30?” tanya Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto, Kamis (15/3/2018) dalam Sidang Gugatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atas pencabutan SK BHP-nya secara semena-mena, Kamis (15/3) di Pengadilan Tata Usaha Negara, Jakarta Timur.
Ahli dari pemerintah Ahmad Ishomuddin pun kaget, lalu meminta diulangi pertanyaannya. Ismail pun mengulangi pertanyaannya. Riuh rendah terdengar suara huu dari peserta sidang.
“Baik, banyak sekali referensi yang saya kutip untuk menyatakan bahwa HTI telah menyimpangkan makna ‘khalifah’ dari maksud sebenarnya yang dikehendaki oleh Allah SWT,” ujar Ishomuddin lalu mengutip beberapa ahli tafsir yang tafsirannya menyimpulkan bahwa ayat tersebut bukan tentang kewajiban menegakkan khilafah.
Meski berbicara panjang lebar namun Ishomuddin sama sekali tidak menjawab pertanyaan Jubir HTI. Ismail Yusanto pun mempertanyakan kembali pertanyaan yang sama.
Nampaknya hakim gemas juga melihat Ahli yang tidak langsung menjawab “dalam kitab anu” atau “saya tidak tahu” atau apalah. Peserta sidang yang umumnya ulama pun gemas namun tetap berusaha menahan diri karena ini ruang sidang.
“Kan ada rujukan-rujukan ya yang dipakai, kalau memang ada ya tunjukkan, kalau tidak ada ya tidak. Atau barangkali Hizbut Tahrir pernah merujuk Al Baqarah 30 sebagai, atau barangkali ada di buku-bukunya?” kata hakim menengahi.
“Justru itu pertanyaannya…” ujar Jubir HTI.
“Atau begini, Saudara Ahli ini pernah mengetahui di mana kalau HTI itu memiliki pandangan sebagaimana yang Saudara sampaikan di awal merujuk pada Al Baqarah 30?” kata hakim.
“Saya meneliti kitab-kitab tafsir bahwa kata khilafah itu derivasi dari kata khalafa-yakhlufu dan ini erat sekali kaitannya dengan Alquran Surat Al Baqarah Ayat 30,” kata Ishomuddin.
“Iya, itu tafsir, pertanyaanya adalah bahwa…” ujar Ismail Yusanto, tetapi belum juga selesai bicara, pengacara dari pemerintah langsung menyela, “Jangan ada berdebatan…”
Ismail pun diam.
Tetapi anehnya pengacara tersebut malah berdebat dengan hakim. Melihat perdebatan tersebut, Jubir HTI pun tersenyum dengan senyuman khasnya di bawah kumis tebalnya. Sedangkan Ishomuddin mungkin merasa lega karena sudah tidak dikejar lagi jawabannya.
Dari peristiwa sepluh menit yang menggelikan tersebut setidaknya menunjukkan empat hal. Pertama, ahli dari pemerintah tidak tahu ada atau tidaknya tafsiran dimaksud dalam kitab-kitab yang diadopsi Hizbut Tahrir.
Kedua, tidak tahu bahwa tafsiran tersebut sebenarnya bukanlah tafsiran Hizbut Tahrir melainkan tafsir penghulu ahli tafsir yakni Imam Al Qurthubi.
Imam Al-Qurtubi, seorang ulama besar dari Mazhab Maliki, ketika menjelaskan tafsir surah al-Baqarah ayat 30, menyatakan, "Ayat ini merupakan dalil paling asal mengenai kewajiban mengangkat seorang imam/khilafah yang wajib didengar dan ditaati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan hukum-hukum khalifah. Tidak ada perselisihan pendapat tentang kewajiban tersebut dikalangan umat Islam maupun di kalangan ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A'sham [tuli dari kebenaran] (Imam al-Qurtubi, Al-jami' li Ahkam al-Qur'an, I/264-265).
Ketiga, kalau memang tidak tahu poin pertama dan kedua, berarti ahli dari pemerintah tersebut tidak kredibel.
Keempat, kalau memang tahu poin kedua di atas, sesungguhnya pada hakikatnya Ishomuddin tidak semata-mata memfitnah Hizbut Tahrir tetapi juga secara gegabah dan lancang memfitnah Imam Qurtubi.
Menyedihkan sekali, kualitas ahli yang dipakai pemerintah dalam sidang PTUN ini tak satu pun yang kredibel.
Pertama, mantan Ketua BNPT Ansyaad Mbai yang keterangannya berisi hoax dengan mengatakan 25 terduga teroris yang kini sudah dihukum adalah anggota HTI karena mereka menginginkan khilafah tegak.
Hai Pak! Itu sama saja dengan: setiap yang bilang “Saya Pancasila” adalah koruptor karena Ketua Umum Golkar Setya Novanto yang terlibat korupsi e-KTP mengatakan “Saya Pancasila” juga.
Kedua, Rektor UIN Jogja Yudian Wahyudi yang mendadak tenar karena melecehkan cadar, menyebut bahwa Donald Trump adalah khalifah di tingkat internasional dan Jokowi adalah khalifah di tingkat nasional.
Komentar saya sih cukup: “Ha.. ha. .ha.. plis deh Pak!”
Ketiga, orang-orang tak penting yang tak perlu saya sebut, karena memang tak penting sama sekali untuk di sebut di sini.
Keempat, ya itu, dosen UIN Lampung Ahmad Ishomuddin, yang dulu jadi ahli bela Ahok dalam sidang penistaan agama. Sekarang jadi ahli pemerintah untuk menolak khilafah.
Kasihan sekali, istiqamah kok di jalan yang salah sih Om?
Akhirul kalam, kualitas rezim dalam pembubaran HTI tercermin dalam fitnah para ahli yang dihadirkan di PTUN pagi ini dan dua Kamis sebelumnya. Nol fakta, full hoax.
Depok, 15 Maret 2018
Joko Prasetyo
Posting Komentar untuk "Sepuluh Menit yang Menggelikan dalam Keterangan Ahli dari Pemerintah yang Tidak Kapabel"