Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kepemimpinan Presiden Joko Widodo Mirip Umar bin al Khattab?


"Ya kita optimis, optimisnya itu 2 hal. Pertama adalah leadership style atau style kepemimpinan Pak Jokowi luar biasa. Karena beliau seperti saya juga, asalnya dari rakyat biasa. Jadi sangat approachable, sangat mudah didekati beliau kemana saja salaman, nggak ada protokoler. Beliau kayak Umar bin Khatab kan selalu datang ke sana ke mari menjemput. Kalau presiden-presiden dulu kan ada jarak," kata Rokhmin di Kantor DPP PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Minggu (8/4/2018). (https://news.detik.com/berita/d-3960506/ketua-pdip-jokowi-seperti-umar-bin-khattab-dekat-dengan-rakyat)

Komentar

Membandingkan Presiden Joko Widodo dengan Khalifah Umar Bin al Khattab? Maka Anda perlu membaca realitas bahwa khalifah Umar Bin Al Khattab mendapat julukan al faruq yang artinya artinya dia yang membedakan kebenaran dari kesalahan. Sebagai pemimpin, ayah dari Hafshah ini, memosisikan rakyat sebagai sarana  untuk evaluasi diri. Dikisahkan oleh Ibnu Abbas bahwa dia pernah bertanya pada ‘Umar bin Al-Khattab mengapa dia diberi julukan Al-Faruq oleh Rasulullah, maka Umar menjawab: “Setelah aku memeluk Islam, aku bertanya kepada Nabi: ‘Bukankah kita berada di jalan yang benar antara di dunia ini dan di akhirat kelak?’

“Nabi menjawab: ‘Tentu saja! Aku bersumpah demi Allah yang jiwaku berada di tangannya, bahwa engkau berada di jalan yang benar di dunia ini dan di akhirat nanti.’ “Oleh karena itu, aku bertanya kepada Nabi ‘Mengapa kita harus melakukan amalan secara diam-diam? Aku bersumpah demi Allah yang telah mengutusmu dengan Kebenaran, bahwa kita akan meninggalkan penyembunyian kita dan mengumumkan tujuan mulia kita secara terbuka.’ “Kami kemudian pergi dalam dua kelompok, Hamzah memimpin satu kelompok dan saya yang lainnya. Kami menuju Masjid Al Haram di siang bolong. “Ketika orang-orang musyrik dari Quraish melihat kami, wajah mereka menjadi pucat dan menjadi sangat tertekan dan kesal. Pada kesempatan itu, Nabi menjulukiku dengan sebutan Al-Faruq.”

Saat Aslam menawarkan diri untuk membantu mengangkat bahan baku makanan untuk ibu dan anak yang kelaparan di malam hari, dengan tegas ditolak langsung oleh Umar, “Apakah kamu mau menanggung dosaku kelak di hari kiamat?”(Mahdhu al-Shawâb fî Fadhâili `Umar bin al-Khatthâb, 361).

Pada peristiwa ini, Umar menjadikan rakyatnya sebagai bahan evaluasi diri. Bila ada rakyatnya yang kesusahan, maka yang patut disalahukuman adalah dirinya sendiri, dia tidak mencari ‘kambing hitam’, bahukuman ia pulalah yang harus bertanggung jawab memecahukuman persoalan. Maka tidak mengherankan jika ia menolak tawaran Aslam, karena rakyat dijadikan sebagai cermin diri.

Sisi menarik lain yang tidak kalah penting terkait posisi rakyat di mata Umar, tidak seperti penguasa-penguasa dunia di zamannya, Khalifah Kedua ini memiliki pandangan unik mengenai standar kesuksesan. Bagi beliau, seorang pemimpin bisa disebut sukses jika tidak menyia-nyiakan atau menelantarkan rakyatnya.

Saat Mu`awiyah bin Khudaij menganggap Umar tidur siang (qailulah), belia pun merespon dengan tegas, “Jika aku tidur di siang hari, maka aku akan menyia-nyiakan rakyatku. Jika aku tidur di malam hari maka aku menyia-nyiakan diriku (karena tidak bisa bermunajat dengan Allah), maka bagai mana mungkin aku bisa tidur di kedua waktu ini wahai Muawiyah?”(Ahmad bin Hanbal,  al-Zuhd, 152).

Doa Umar berikut juga bisa menjadi bukti bahwa beliau tidak ingin menyia-nyiakan rakyatnya sedikit pun, “Ya Allah aku sudah tua, kekuatanku menurun, wakyatku semakin banyak, matikanlah aku dalam kondisi tidak menyianyiakan dan menelantarkan rakyat.”(At-Thabaqât, 3/324-330).

Tak hanya itu, rakyat dijadikan bagian yang intim di masa kepemimpinannya. Ibnu Jauzi mengatakan dalam Kitab Manâqib (66,67) bagaimana keintiman Umar dengan rakyatnya, “Rakyat mendengar dengan baik perkataannya, mengetahui amalnya. Bahkan beliau tidak malu bergumul di pasar bersama mereka, menyelesaikan persoalan dengan baik di antara mereka.” Pada beberapa riwayat dijelaskan bahwa sebagian malam harinya banyak digunakan untuk memantau secara langsung kondisi rakyatnya yang di masa ini dikenal dengan istilah blusukan. Tapi, tidak untuk mencari citra, karena siapa yang mau mencari citra di malam hari yang sepi?

Pada suatu malam Thalhah bin Ubaidillah membuntuti Umar. Dari kejauhan, beliau terlihat sedang mendatangi rumah satu ke rumah lainnya. Di pagi hari, Thalhah bin Ubaidillah mendatangi  rumah tersebut. Ternyata di dalamnya ada seorang kakek tua renta buta yang sedang berbaring. Ketika ditanya perihal apa yang dilakukan Umar, kakek itu menjawab bahwa Umar sedang memenuhi kebutuhan serta menghilangkan kesusahannya (al-Hadâiq, 364). Pemimpin yang tidak memiliki hubungan intim dengan rakyat, tidak akan mungkin melakukan pekerjaan yang sangat sulit ini, kecuali dalam konteks pencitraan.

Di lain waktu, rakyat dijadikan Umar sebagai korektor bagi kekhilafannya. Pernah di muka umum, sahabat yang terkenal dengan keadilannya ini berpidato, “Wahai takyatku siapa saja di antara kalian yang melihat kekhilafan dariku, maka segera luruskan.” Saat itu juga berdirilah seseorang berkomentar, “Jika kami melihat kebengkokan(kesalahan) darimu, maka akan kami luruskan dengan pedang kami.” Umar pun berkomentar, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan pada umat ini orang yang meluruskan kesalahan Umar dengan pedangnya.”(al-Riyâdh al-Nadhrah, 2/381). 

Karakter Khalifah Umar bin al Khatab jelas bukanlah karakter pemimpin munafik. Islam jelas membenci kemunafikan dan karakter pemimpin munafik. Sebagian ulama membagi orang munafik menjadi dua. Pertama: munafik secara i’tiqâdi. Pelakunya pada dasarnya kafir, tetapi berpura-pura atau menampilkan diri sebagai Muslim semata-mata demi menipu Allah SWT (QS an-Nisa’ [4]: 142). Bayangkan, Allah SWT saja mereka tipu. Bagaimana dengan rakyat mereka?! Munafik jenis ini ditempatkan pada tingkatan yang paling bawah dari neraka (QS an-Nisa’ [4]: 145). Mereka inilah ‘musuh dalam selimut’. Mereka ini, di dalam hatinya pada hakikatnya mendustakan kitab-kitab Allah dan para malaikat-Nya atau mendustakan salah satu asas Islam (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 8-10). 

Kedua: munafik secara ‘amali. Pelakunya boleh jadi Muslim, tetapi memiliki sifat-sifat/ciri-ciri orang munafik. Dalam hal ini, Rasulullah saw. bersabda:

Ada tiga tanda orang munafik: jika berkata, berdusta; jika berjanji, ingkar; jika dipercaya, khianat (HR al-Bukhari dan Muslim).

Selain itu, dalam salah satu kitabnya, ‘Aid Abdullah al-Qarni menyebutkan beberapa sifat kaum munafik yang disebutkan dalam al-Quran, di antaranya: dusta; khianat; ingkar janji; riya (doyan pencitraan); mencela orang-orang taat dan shalih; memperolok-olok al-Quran, as-Sunnah dan Rasulullah saw.; bersumpah palsu; tidak peduli terhadap nasib kaum Muslim; suka menyebarkan kabar bohong (hoax); mencaci-maki kehormatan orang-orang shalih; membuat kerusakan di muka bumi dengan dalih mengadakan perbaikan; tidak ada kesesuaian antara lahiriah dan batiniah; menyuruh kemungkaran dan mencegah kemakrufan; sombong dalam berbicara; menantang Allah SWT dengan terus berbuat dosa; dst.

Publik akan menilai  apakah pernyataan Ketua DPP PDIP Bidang Kemaritiman Rokhmin Dahuri menemukan kenyataannya atau tidak. Yang jelas kita merindukan pemimpin yang adil, bertaqwa dan mengayomi rakyatnya sesuai dengan seluruh aturan-Nya. [vm]

Penulis : Ainun Dawaun Nufus (pengamat Sospol)

Posting Komentar untuk "Kepemimpinan Presiden Joko Widodo Mirip Umar bin al Khattab?"

close