Wahai Hakim PTUN Bersikaplah Adil, HTI Layak Menang!
(Tanggapan Atas Rencana Pembacaan Keputusan Sidang Gugatan HTI Terhadap Pemerintah Di PTUN Pada 7 Mei 2018)
Gugatan HTI terhadap Pemerintah, yang diwakili Kemenkumham, atas pencabutan BHP HTI, sebagaimana rencana akan diputuskan pada sidang terakhir, Senin 7 Mei 2018 mendatang. Setelah melalui proses yang cukup panjang, dengan meghadirkan saksi maupun ahli dari kedua belah pihak. Maka pada akhirnya, ketua Hakim Konstitusi harus memutuskan perkara tersebut. Yang terpenting semua proses tersebut adalah keputusan hakim. Maka patut untuk diingat oleh hakim adalah sikap hakim harus mengedepankan keadilan, objektifitas, independen, dan menjunjung tinggi kebenaran. Bahkan sudah menjadi semboyang bagi seorang hakim adalah “keadilan harus ditegakkan walaupun langit akan runtuh”. Karena memang sejatinya pengadilan merupakan tempat memperoleh keadilan bagi pihak yang bersengketa. Kezaliman harus dihentikan melalui pengadilan. Keseweang-wenangan harus diluruskan melalui pengadilan. Tindakan yang inkonstitusional harus dibatalkan melalui pengadilan. Dan Kebenaran haruslah dimenangkan dalam pengadilan.
Dari aspek keadilan, hakim tentu telah mengikuti jalannya sidang selama ini. Memperhatikan jalannya sidang, pihak Kemenkumham yang mewakili pemerintah secara faktual tidak bisa membuktikan pelanggaran HTI, yang menyebabkan BHP HTI dicabut. Pihak pemerintah juga diduga kuat gagal menghadirkan saksi maupun ahli yang bisa membantah dan “merobohkan” argumentasi yang disampaikan HTI. Bahkan dalam fakta persidangan menunjukkan pencabutan BHP HTI oleh pemerintah tidak memenuhi tiga syarat. Pertama, Syarat Administrasi. Pemerintah tidak pernah mengeluarkan surat pemanggilan kepada HTI. Kedua, Syarat Formil. Pemerintah tidak pernah menggunakan mekanisme persidangan. Ketiga, Syarat Materiil. Buku-buku dan buletin tentang Khilafah tidak pernah dilarang. Dengan memperhatikan tiga syarat yang tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah, maka demi hukum dan keadilan hakim PTUN wajib membatalkan SK Pencabutan BHP HTI dan wajib mengabulkan gugatan HTI terhadap pemerintah tersebut.
Bahkan menurut keterangan ahli, Prof. Dr. Suteki, yang disampaikan pada 1 Februari 2018, ditegaskan bahwa pencabutan BHP HTI oleh Kemenkumham cacat secara hukum, dengan argumentasi sebagai berikut. (1) Surat Keputusan Kemenkumham yang digugat tidak memuat alasan hukum pencabutan BHP HTI. (2) Pencabutan tidak sesuai dengan prinsip Indonesia negara hukum, dengan extractive action, pemerintah telah bermain hakim sendiri tanpa melibatkan lembaga lain, yakni lembaga pengadilan. (3) Prinsip due process of law diingkari karena alasan pengutamaan contrarius actus yang tidak tepat. (4) Pemerintah tidak dapat membuktikan kesalahan HTI dalam kurun waktu dari penerbitan Perppu Ormas nomor 2 tahun 2017 hingga dicabutnya BHP HTI dalam kurun waktu sekitar 9 hari. (5) Pemerintah pun tidak mematuhi ketentuan dalam Perppu nonor 2 tahun 2017 khususnya mengenai prosedur pencabutan BHP Ormas. (6) Khilafah adalah ajaran Islam sehingga perbuatan mendakwahkan ajaran Islam tidak boleh dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum. Mendakwahkannya adalah hak asasi yang dijamin oleh konstitusi. (7) Pelarangan aktivitas mendakwahkan ajaran Islam dan oleh karenanya lalu dilarang bahkan organisasinya dicabut BHP-nya adalah tidak sesuai dengan alenia III dan IV Pembukaan, dan pasal 1 ayat 3, serta pasal 29 ayat 1 UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum transcendental bukan negara hukum sekuler sehingga pencabutan BHP HTI tidak beralasan. Dengan merujuk pada butir-butir tersebut, maka sudah seharusnya hakim PTUN membatalkan SK Pencabutan BHP HTI sekaligus mengabulkan gugatan HTI terhadap pemerintah.
Sebagai nasehat kepada hakim PTUN yang juga seorang muslim, maka sudah selayaknya mengindahkan peringatan Allah SWT dalam al-Qur’an, “…Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil, berlaku adil-lah karena adil itu lebih dekat kepada takwa…” (Terjemah QS. Al-Maidah [5] : 8). Maka hakim PTUN sudah seharusnya berlaku adil dan tidak boleh cenderung membela kezaliman rezim yang telah berlaku sewenang-wenang terhadap ormas HTI. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW tidak mengakui umatnya yang berkawan dengan penguasa zalim. Dalam sebuah hadist, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Dengarkanlah, apakah kalian telah mendengar bahwa sepeninggalku aka nada para pemimpin? Siapa saja yang masuk kepada mereka, lalu membenarkan kedustaan mereka, dan menyokong kezaliman mereka, maka dia bukanlah golonganku, dan aku bukan golongannya. Dia tidak akan menemuiku di telaga (HR. Tirmidzi, Nasa’I, dan Al-Hakim). Selain itu ada hadist lain dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Hakim itu ada tiga macam, dua di Neraka, dan satu saja yang masuk Surga; (1) seorang hakim yang mengetahui kebenaran lalu memberikan keputusan dengannya, maka ia di Surga, (2) seorang hakim yang mengadili manusiadengan kebodohannya, maka ia di Neraka, (3) seorang hakim yang menyimpang dalam mememutuskan hukuman, maka ia pun di Neraka.” (HR. Bukhari Muslim).
Dengan demikian, para hakim PTUN hendaknya memperhatikan dengan sepenuh hati peringatan dari Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW tersebut, agar memutuskan perkara dengan seadil-adilnya, tidak cenderung membela penguasa yang zalim. Karena Allah SWT kelak akan meminta pertanggungjawaban atas setiap keputusan yang diputuskan di pengadilan. Dan sudah selayaknya hakim PTUN pada Senin, 7 Mei 2019 memenangkan HTI, karena HTI berada pada pihak yang benar, dan pemerintah pada pihak yang salah. Wallahu a’lam. [vm]
Penulis : Achmad Fathoni (Direktur el-Harokah Research Center)
Posting Komentar untuk "Wahai Hakim PTUN Bersikaplah Adil, HTI Layak Menang!"