Mengatur Negara Tidak Cukup dengan Akal Sehat


Oleh : Ainul Mizan

Akal merupakan anugerah bagi manusia yang menunjang tugasnya sebagai pengatur bumi. Akal itu sejatinya adalah proses berpikir. Di dalam proses berpikir itulah manusia mengambil berbagai keputusan bagi hidupnya. Proses berpikir itu yang mempengaruhi perilaku manusia. Baik perilaku terpuji maupun tercela.  Oleh karena itu, mengubah perilaku manusia harus didahului dengan mengubah pola berpikirnya. 

Ada orang yang di dalam proses berpikirnya langsung mengambil keputusan tatkala menghadapi sebuah fakta. Ia hanya berpikir tentang fakta tersebut tanpa berpikir apa, kapan, dimana, mengapa, siapa dan bagaimana. Orang ini dangkal dalam berpikirnya. Walhasil ia sering terjebak di dalam kesalahan demi kesalahan yang justru hanya menunjukkan kedunguannnya. Parahnya cara berpikir dangkal ini jika dimiliki oleh para pemangku negara dan pemerintahan. 

Dalam bahasa hadits orang seperti itu disebut dengan istilah “Ruwaibidhoh”. Sebutan Ruwaibidhoh sebagaimana penjelasan hadits adalah orang bodoh yang berbicara tentang masalah umat. Kebijakan – kebijakan yang digulirkannya hanya menambah kesengsaraan rakyatnya. Lebih mencerminkan sebagai sosok pemimpin yang tidak disukai rakyatnya, begitu pula ia tidak mencintai rakyatnya. 

Anda masih ingat dengan lontaran beberapa menteri Jokowi dalam menyikapi persoalan bangsa dan negara. Di saat ada berita bahwa produk ikan makarel mengandung cacing, Menteri Kesehatan dengan entengnya menjawab kalau cacing itu banyak mengandung protein (tribunnews.com, 30/03/2018). Begitu pula pernyataan Menteri Perdagangan terhadap keluhan mahalnya harga beras di pasaran dinilai tidak bijaksana. Oleh Menteri Perdagangan rakyat diminta untuk menawar harga (finance.detik.com, 25/04/2018). Ah… sudahlah terlalu banyak sederetan contoh akan dangkalnya pola berpikir para petinggi negeri ini. 

Ternyata tidak hanya menteri, Presiden Jokowi pun ikut melontarkan gagasan dangkal tip menjadi kaya. Pada tanggal 30 April 2018, di sela – sela rapat kerja pemerintah, Jokowi mengarahkan agar cepat kaya dengan bisnis Kalajengking. Menurut hematnya bahwa harga satu liter racun Kalajengking bisa mencapai Rp 145 milyar. 

Belum lagi kalau kita berbicara pemilu 2019. Box kotak suara pemilu berasal dari kardus. Sungguh – sungguh sebuah kekonyolan. Bagaimana mungkin kotak kardus bisa bertahan bila terkena air hujan? Yang lebih parah adalah penyerahan Sumber Daya Alam kepada perusahaan swasta dan asing. Bagaimana mungkin menyerahkan kekayaan negeri sendiri kepada Freeport misalnya? Seolah kita mempersilahkan seseorang bertamu ke rumah kita dalam rangka untuk menjarah harta benda di rumah kita. 

Jadi tidak bisa mengatur sebuah negara dengan kedangkalan proses berpikir. Kedangkalan berpikir wujud dari pola berpikir hewani. Ketika lapar, yang penting kenyang. Ketika haus, yang penting bisa minum. Lahirlah kemudian sebuah ketidak adilan yang semakin hari semakin vulgar. 

Lantas, apakah akal sehat bisa memberikan garansi? Orang yang berpikir dengan akal sehat akan mampu melihat fakta dengan cakrawala yang luas. Akal sehat menunjukkan kedalaman dalam proses berpikir. Mengkaitkan satu fakta dengan fakta lain yang relevan. Kesimpulan yang diambil tentunya linear dengan kesehatan akalnya. 

Logika berpikir yang bagaimana, yang bisa memberikan ijin kepada seorang perampok untuk merampok seisi rumah si empunya. Tentunya orang yang masih berpikir dengan akal sehat akan menolak penyerahan tambang emas di Papua kepada Freepot. Dengan akal sehat juga, kebijakan ekonomi negara diarahkan agar kekayaan negara tidak keluar negeri. Akal sehatlah yang menyatakan bahwa orang – orang yang menistakan ajaran Islam itu bersalah dan layak mendapat hukuman setimpal. Walhasil akal sehat pula yang mengambil keputusan bahwa orang yang layak memimpin adalah mereka yang kuat pribadinya, punya visi ke depan, dan mampu dalam menjalankan amanah pemerintahan. 

Betul, bahwa akal sehat akan mengarahkan manusia kepada tujuan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meraih kesejahteraan ekonomi; terpeliharanya agama, kehormatan dan nyawa orang lain; terjaminnya rasa aman dan kehidupan pemerintahan yang bersih, menjadi tujuan bersama. Mengandalkan ideologi dunia yang lahir dari kejeniusan manusia telah menunjukkan borok – boroknya. 

Kapitalisme yang serakah dengan watak eksploitatifnya telah melahirkan ketimpangan ekonomi dan penderitaan umat manusia. Tidak jauh berbeda dengan Kapitalisme, Sosialis Komunisme telah menorehkan sejarah panjang musibah kemanusiaan.  Tentunya pula akal sehat mampu untuk melihat fakta – fakta kebobrokan kedua ideologi tersebut. 

Pada puncaknya akal sehat akan mengantarkan manusia pada kesadaran akan kelemahannya. Pada titik inilah akal sehat telah mengantarkan terbentuknya akal yang shohih. Dengan akal shohih (akal yang benar), manusia akan mampu menemukan konsepsi kehidupan dari aqidah mayoritas rakyat negeri ini. Dengan akal shohih, para pemikir pastinya akan bisa melihat secara obyektif bahwa agama Islam telah mengatur secara lengkap seluruh bidang kehidupan manusia. 

Mengatur sebuah negara diperlukan sebuah keberanian untuk melakukan pemancangan bertuliskan “Selamat Datang Akal Shohih”. Sebuah proses berpikir yang benar hingga menemukan formula yang pas dari khazanah Islam dalam pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Jangan terjebak lagi dalam kungkungan Kapitalisme maupun Sosialisme Komunisme. Seorang yang cerdas, tentunya berakal sehat tidak akan mau masuk ke dalam lubang yang sama hingga 2 kali. [vm]

Posting Komentar untuk "Mengatur Negara Tidak Cukup dengan Akal Sehat"