'Kejamnya' Pemimpin di Sistem Demokrasi


Oleh : Novi Alfi

Seorang aktivis kemanusiaan, Natalius Pigai membandingkan dana Apel Kebangsaan di Semarang dengan dana korban bencana banjir bandang di Sentani, Papua. Ia pun menyayangkan dan kecewa dengan sikap pemerintah yang memilih hura-hura menggelontorkan dana sangat besar untuk kegiatan Apel Kebangsaan dibanding membantu korban bencana banjir di Papua. Dana Apel Kebangsaan sebesar 18 miliar, sedangkan dana korban bencana banjir hanya sebesar 1 miliar. 

Berikut adalah pernyataan Natalius Pigai:  “Nalar publik tercederai! Disaat musibah menimpa bangsa saya, Tim Jokowi pesta pora 18 miliar uang negara, uang rakyat kecil untuk acara musik yang dihadiri hanya 2 ribuan orang,” cuit Natalius. Postingan ini diunggah oleh Natalius diakun Twitter miliknya. Seperti yang kita ketahui bahwa bencana banjir bandang yang menerjang pada Minggu (17/3/2019) di Sentani banyak memakan korban dan terus bertambah.
 “Bantuan BPBP Papua hanya 1 miliar untuk rakyat Sentani Papua. Tuhan jaga bangsa saya,” ungkap Natalius. Pernyataan Natalius ini mengundang berbagai tanggapan dari warganet, diantaranya : “Gue ikut prihatin dengan kenyataan seperti itu,” kata @bungler14. “Turut prihatin bang @nataliuspigai2 semoga bencana cepat berlalu dari Sentani dan masyarakat Sentani dapat recovery dengan cepat,” ungkap @tutiastianidony.

Hal ini membuktikan bahwa pemerintah saat ini sangat kejam karena tidak peduli dengan nasib warga negaranya sendiri. Pemerintah tidak mengerti, mana yang harus didahulukan. Dan terlihat cenderung memperhatikan kepentingan sendiri dan golongannya. Kita bisa lihat, Apel Kebangsaan tersebut merupakan acara yang condong kepada salah satu paslon capres cawapres. Terlebih disertai dengan aksi mabuk-mabukan. Sungguh acara yang tidak bermutu!

Bandingkan dengan dana bencana banjir yang hanya 1 miliar. Apakah cukup dengan hanya dana tersebut bisa memperbaiki kerusakan akibat bencana yang terjadi? Belum lagi korban yang membutuhkan sandang, pangan dan papan. Sungguh sangat tak adil dan tak wajar pemerintah saat ini lebih mementingkan hura-hura dibandingkan membantu korban bencana alam.

Begitu banyak komentar dari warganet dan semua kalangan mengenai Apel kebangsaan ini, sekaligus membandingkannya dengan dana bantuan di Sentani. Saat seperti ini, terlihat jelas kegagalan Pemerintah dalam mengambil prioritas utamanya untuk mengayomi rakyat. Tapi sungguh hal ini tidaklah mengejutkan bahwa pemimpin pada alam demokrasi memanglah demikian. Prioritas mereka hanyalah pada kesenangan duniawi semata, sebagaimana akidah sekulerisme yang ada pada sistem rusak demokrasi ini. 

Hal ini berbeda jika sistem Islam diterapkan. Seluruh umat diperlakukan dengan adil. Tidak peduli dari ras dan golongan apapun. Termasuk non muslim pun diperlakukan adil dan sama dengan umat Muslim. Dalam naungan khilafah tidak ada perselisihan ras apalagi kepentingan golongan, selain itu khalifah akan sangat mementingkan korban bencana alam. 

Pernah, pada masa kekhalifahan Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu terjadi musibah paceklik pada akhir tahun ke 18 H, tepatnya pada bulan Dzulhijjah, dan berlangsung selama 9 bulan. Masyarakat sudah mulai kesulitan. Kekeringan melanda seluruh bumi Hijaz, dan orang-orang mulai merasakan sangat kelaparan.

Tahun itu disebut juga tahun ramadah karena permukaan tanah menjadi hitam mengering akibat sedikitnya turun hujan, hingga warnanya sama dengan ramad (debu). Pada saat itu daerah Hijaz benar-benar kering kerontang. Penduduk-penduduk pedesaan banyak yang mengungsi ke Madinah dan mereka tidak lagi memiliki bahan makanan sedikitpun. Mereka segera melaporkan nasib mereka kepada Amîrul Mukminîn Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu .

Umar Radhiyallahu ‘anhu cepat tanggap dan menindaklanjuti laporan ini. Beliau segera membagi-bagikan makanan dan uang dari baitul mal hingga gudang makanan dan baitul mâl kosong total. Beliau juga memaksakan dirinya untuk tidak makan lemak, susu maupun makanan yang dapat membuat gemuk hingga musim paceklik ini berlalu. Jika sebelumnya selalu dihidangkan roti dan lemak susu, maka pada masa ini beliau hanya makan minyak dan cuka. Beliau hanya mengisap-isap minyak, dan tidak pernah kenyang dengan makanan tersebut. Hingga warna kulit Umar Radhiyallahu ‘anhu menjadi hitam dan tubuhnya kurus sehingga dikhawatirkan beliau akan jatuh sakit dan lemah. Kondisi ini berlangsung selama 9 bulan. Setelah itu keadaan berubah kembali menjadi normal sebagaimana biasanya. Akhirnya para penduduk yang mengungsi tadi, bisa pulang kembali ke rumah mereka.

Demikianlah bagaimana sosok pemimpin pada kekuasaan Islam berlaku adil dan bijaksana dalam mencari solusi saat-saat negerinya terkena musibah. Ketika hukum yang diemban bersumber dari sang Khaliq maka nalar seorang pemimpin negara akan dilandaskan pada ridho Allah, bukan selainnya. Oleh karena itu, mari bersama berjuang mengembalikan kejayaan Islam dalam naungan khilafah Islam, agar kita kembali memiliki pemimpin yang mencintai dan dicintai rakyatnya. Wallahu ‘alam. [vm]

Posting Komentar untuk "'Kejamnya' Pemimpin di Sistem Demokrasi"