Mencari Sosok Negarawan Sejati
Oleh : Ainul Mizan
Tidak bisa dipungkiri bahwa kehidupan manusia erat kaitannya dengan politik. Sedangkan politik itu berkaitan dengan pengaturan. Disebutkan di dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) bahwa politik adalah pengetahuan mengenai ketatanegaraan (seperti sistem pemerintahan, dasar pemerintahan); segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain dan cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah), kebijaksanaan. Oleh karena itu, ketika berbicara tentang politik tentunya semesta pembicaraannya tidak akan keluar dari topik seputar negara, penyelenggaraan pemerintahan negara dan kebijakan – kebijakannya.
Adapun terkait tingkah laku dalam berpolitik digambarkan di dalam KBBI laksana tingkah laku seekor kancil. Tokoh kancil di dalam dunia fabel dipersonifikasikan dengan sosok yang bermain cerdik dengan berbagai macam tipu daya. Tentunya wajar jika ada definisi politik sebagai fannul mumkinat, yaitu seni dari segala kemungkinan.
Seorang politisi sebagai orang yang berkecimpung di dalam dunia politik sudah membekali dirinya dengan sebuah taktik dan strategi berpolitik untuk mencapai targetnya. Aliran dan paham politik yang dianut oleh seorang politisi mempengaruhi taktik dan strategi politik yang digariskannya.
Sebagai sebuah studi perbandingan adalah dua sosok presiden USA yakni George W. Bush Yunior dengan Barack Obama. Hard power yang dijalankan oleh George Bush Yunior, cukuplah mengkerucutkan kebencian terhadap politik luar negeri USA. Di masanya, dunia dipaksa memilih antara memerangi terorisme bersama Amerika dan ataukah berada di bagian yang justru menjadi obyek war on terrorism (haaretz.com, 10/05/2018).
Sedangkan Barrack Obama yang terkenal dengan strategi Soft Powernya cukup ampuh untuk membius dunia Islam khususnya untuk sementara waktu. Hal tersebut bisa dilihat dari melenggangnya Barrack Obama dengan tenang menyampaikan pidato politiknya di komplek Universitas al Azhar Mesir (voaindonesia.com, 30/05/2009). Dalam pidatonya tersebut, Obama menekankan perbaikan hubungan antara USA dengan dunia Islam. Walhasil banyak kalangan yang berpandangan bahwa akan ada perubahan garis policy USA terhadap dunia Islam kearah kebaikan. Apalagi di dalam negeri terdapat sentiment bahwa Obama dulu pernah sekolah di SD Menteng Jakarta. Betul – betul saat itu menjadi era ‘Demam Obama’.
Walaupun pada akhirnya tetap kita harus berani melihat kenyataan akan jati diri negara kampium demokrasi itu. USA tetap USA. USA bukanlah Obama. Obama hanyalah pelaksana dari sistem besar Amerika sebagai negara berasaskan Ideologi Kapitalisme. USA tetaplah menjajah dan sifat imperialisnya tidak akan pernah hilang. Yang ada hanyalah berganti muka. Kalau jaman Bush, USA memasang muka bengis. Sebaliknya pada jaman Obama, USA memasang muka manis.
Menengok perilaku berpolitik kaum politisi di dunia ketiga, termasuk di Indonesia, tidak lebih yang ada adalah praktek pragmatisme politik. Para politisi laksana kutu loncat. Berpindah dari satu partai menuju partai lainnya. Hal demikian terlihat dari koalisi – koalisi antar partai politik yang ada dan minim akan idealisme. Politik tidak lebih hanyalah sebuah karir yang layak diperebutkan. Tidak jarang harus mengorbankan kepentingan rakyat dan negara yang lebih besar. Tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Yang abadi adalah kepentingan. Sepak terjang yang dipertontonkan hanya menunjukkan bahwa mereka adalah politisi gadungan dan tidak segan – segan menerjang nilai – nilai demokrasi yang diagung – agungkannya. Keadaan demikian tidak hanya dipraktekkan oleh para politisi yang masih mencari popularitas, bahkan oleh mereka yang berada sebagai pejabat publik.
Masih segar dalam ingatan akan lontaran – lontaran beberapa pejabat publik dalam pemerintahan Presiden Jokowi, sebagai respon terhadap keluhan – keluhan masyarakat terhadap persoalan yang mengemuka. Ketika rakyat mengeluh akan mahalnya TDL, respon yang didapatkan adalah masyarakat diminta mencabut meteran listrik (faktakita.net, 01 Juli 2017). Ketika rakyat mengadu harga cabai mahal, Mendag berkomentar agar rakyat menanam cabai sendiri (m.detik.com//finance, 04 Januari 2017). Membaca respon Mendag demikian, teringat di masa penjajahan Belanda di Indonesia. Belanda pernah menerapkan kebijakan tanam paksa kepada rakyat Indonesia. Akibatnya hanyalah kesengsaraan rakyat yang ada. Kami kira sudah cukup untuk menuliskan respon – respon konyol dari para pejabat publik negeri ini.
Satu hal catatan penting terkait respon – respon pejabat publik yang sedemikian adalah seorang pejabat publik tentunya fungsi utamanya adalah melayani rakyat dengan sebaik – baiknya. Dengan begitu, akan naik dengan sendirinya tingkat elektabilitas mereka.
Bahkan yang paling tidak bisa diterima akal sehat adalah politik pragmatis yang dipraktekkan oleh PSI (Partai Solidaritas Indonesia) di tengah merosotnya tingkat elektabilitas jagoannya dalam pemilu mendatang. Justru apa yang dilakukan oleh PSI merusak citra politik kubu petahana yang diusungnya di tengah rakyat Indonesia yang mayoritas muslim. PSI dengan pongah menolak perda – perda syariah yang dibilangnya diskriminatif (merdeka.com, 19 Nopember 2018). Bahkan tidak segan – segan PSI menuding syariat poligami sebagai ketidakadilan terhadap perempuan yang dilembagakan (matamatapolitik.com, 15 Desember 2018). Pada kesempatan yang berbeda, Grace Natalie dalam pidatonya menyatakan bahwa Nasionalis gadungan adalah mereka yang mengaku nasionalis tapi berusaha meloloskan perda – perda syariah yang diskriminatif (beritasatu.com, 11 Februari 2019).
Tidak habis dipikir di Indonesia yang mayoritasnya muslim ini, masih ada orang yang dengan bebas menyatakan ujaran kebencian sedemikian. Lontaran – lontaran PSI sesungguhnya bisa terkategori ke dalam ujaran kebencian. Dalam kacamata politik, justru arus nyleneh ini hanya merupakan perbuatan bunuh diri politik.
Merumuskan Pilar – Pilar Seorang Negarawan
Memang secara obyektif harus diakui bahwa di saat membandingkan perilaku politik antara George Bush Jr dengan Obama terlihat ada perbedaan. Perbedaan yang tampak hanya pada tataran strategi dan taktik politiknya. Paham dan ideologi politiknya tetap. Bahwa USA sebagai negara berideologi Kapitalisme tetap sebagai penjajah.
Adapun pragmatisme politik yang ada di dalam negeri tidak lebih muncul dari sikap inferior terhadap negara – negara besar yang punya basis ideologi internasional, baik negara – negara tersebut berideologi Kapitalisme maupun Komunisme. Jadi strategi dan taktik politik mereka yang pragmatis itu muncul dari paham dan ideologi politik yang diwarnai oleh kedua ideologi internasional tersebut. Satu kakinya berada dalam pusaran kepentingan negara kapitalis dan satu kakinya yang lain berada dalam pusaran kepentingan negara – negara komunis. Tidak ada interest bagi mereka untuk memindahkan kakinya untuk berada di dalam pusaran ideologi Islam. Di samping karena tidak ada negara besar penyokongnya, secara policy tidak menguntungkan. Uniknya Ideologi Islam ini tidak mungkin untuk dicampuradukkan dengan kedua ideologi yang lain. Justru Kapitalisme dan Komunisme ini menjadikan Islam sebagai common enemy. Bandul politik lebih menguntungkan dicondongkan kepada Kapitalisme maupun Komunisme. Maka tidak mengherankan bila di Indonesia terdapat cengkeraman asing (Kapitalisme) dan aseng (Komunisme) (konfrontasi.com, 8 April 2017).
Mestinya agenda politik yang utama bagi negeri ini adalah melepaskan diri dari dominasi timur maupun barat. Jati diri negeri sebagai negeri muslim terbesar mendesak untuk dipertegas kembali. Sesungguhnya adalah pengakuan yang jujur bahwa kemerdekaan Indonesia bisa diraih sebagai berkat dan rahmat dari Allah SWT. Maka berikut ini beberapa hal yang bisa menjadi acuan dalam rangka melahirkan sosok – sosok negarawan sejati bagi Indonesia.
Pertama, Negarawan sejati mempunyai pemahaman politik yang benar. Bukan politik ala Machiavelli yang pragmatis sebagaimana rumusannya dalam The Prince, yang hanya mengejar kekuasaan dan jabatan. Akan tetapi pemahaman politik yang dijiwai oleh nilai – nilai penghambaa kepada Tuhan. Ia memiliki koridor dan kendali dalam melaksanakan aktivitas politiknya.
Kedua, Negarawan sejati mempunyai orientasi kepada pengurusan dan pelayanan kepada masyarakat dan rakyatnya dengan baik. Mereka menyadari betul bahwa kepentingan masyarakat yang terlayani dengan baik merupakan tujuan aktivitas politik yang dijalankannya.
Kesadaran bahwa pemimpin rakyat adalah pelayannya, menggerakkan mereka untuk selalu membela kepentingan – kepentingan rakyatnya. Negarawan itu tidak harus menduduki sebuah pemerintahan. Seorang negarawan akan meriayah kepentingan rakyatnya. Ketika ia sebagai pejabat publik tentunya regulasi yang ada digunakan untuk menjadi payung hukum dan perlindungan bagi rakyatnya. Sedangkan jika ia bukanlah pejabat publik, maka ia akan selalu siap melakukan koreksi kepada setiap kebijakan para pemimpin dan pejabat yang dipandangnya akan menyengsarakan rakyat. Mereka akan selalu mengadopsi kepentingan – kepentingan untuk kemaslahatan umat dan rakyat secara umum.
Ketiga, Seorang negarawan sejati mempunyai landasan ideologi politik yang jelas. Dengan begitu, ia tidak akan diombang –ambingkan layaknya buih di lautan. Ia mempunyai warna yang khas. Ia mampu memberikan makna terhadap politik dengan baik. Sebuah politik kemandirian berdiri dan berpijak di atas identitas sendiri. Sebuah ppolitik yang meneguhkan identitas sebagai negeri yang berasaskan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bandul politik Indonesia sudah pernah condong kepada poros Peking – Beijing yang Komunis di era orde lama. Begitu pula, bandul politik negeri ini pernah condong kepada Kapitalisme Barat di era orde baru. Bahkan lebih parahnya, Indonesia yang kaya raya ini menjadi ajang perebutan kedua ideologi imperialis itu baik Kapitalisme maupun Komunisme.
Sudah saatnya bagi negeri ini mengambil bandul politik dan mengarahkannya kepada spirit yang menggerakkan bangsa untuk mengusir dan mempertahankan kemerdekaannya. Sebuah spirit yang bergema dengan takbir yang membahana dan menggentarkan para penjajah negeri. Ya… itulah Ideologi Islam.
Ideologi Islam masih belum pernah menjadi mainstream dan main idea dalam penyelenggaraan dan pengelolaan negara dan pemerintahan. Sebagai seorang intelektual tentunya tidak akan menjadi phobi duluan terhadap Islam. Jikalau memang bandul politik yang selama ini condong kepada Kapitalisme maupun Sosialisme, masih belum mampu menjadikan Indonesia mandiri sesuai dengan falsafah pancasilanya. Tentunya sikap yang adil adalah mencoba mengarahkan bandul politik kepada Ideologi Islam. Apalagi secara keyakinan, Islam sudah bisa dirasakan oleh mayoritas penduduk negeri ini mampu memberikan ketenteraman dalam hidupnya secara individual. Tentunya Islam juga mampu memberikan ketenteraman dalam kehidupan secara komunal. Tinggal masalah keberanian dari para negarawan sejati negeri ini. [vm]
*) Penulis tinggal di Malang
Posting Komentar untuk "Mencari Sosok Negarawan Sejati"