Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kedaulatan Pangan Untuk Siapa ?


Oleh : Vira Asradina

Jargon kedaulatan pangan yang kini didengungkan pemerintah telah mengingkari makna hakiki dari konsep kedaulatan pangan. Berbagai pihak berlomba-lomba menggembar-gemborkan kedaulatan pangan tanpa memahami makna sejati dari kedaulatan pangan. Pada akhirnya arah kebijakan yang diambil tidak jauh dari aroma kepentingan modal dan pasar, hanya menyematkan istilah kedaulatan pangan yang telah dimanipulasi.

Fakta banyaknya rakyat yang masih kekurangan pangan serta melambungnya harga pangan, tentu membuat rakyat miskin semakin sengsara. Hal ini membuat Presiden Joko Widodo bersuara “Kalau orang menginginkan langsung bisa swasembada, bisa langsung ketahanan kita meloncat baik, kedaulatan pangan kita langsung sehari-dua hari balikkan tangan jadi, tidak akan mungkin seperti itu. Perlu proses, perlu tahapan-tahapan, “kata presiden Jokowi seperti dikutip laman setkab, Jakarta Selatan (19/3/2019).

Berbagai usaha pemerintah untuk masalah pangan ini memang sudah banyak dilakukan. Seperti halnya Peraturan Presiden (Perpres) yang menetapkan Harga Pokok Penjualan (HPP) jagung saat itu menjadi Rp 2.700 per kg, dengan harapan petani sudah untung, karena di ambil rata-rata di semua daerah. Namun pada faktanya justru harga jual bisa melambung hingga Rp 3.000 sampai paling tinggi Rp 5.000. Sehingga melambungnya harga pangan ini bisa mempengaruhi melambungnya harga pangan yang lainnya. 

Seperti beberapa waktu belakangan, kenaikan harga bawang putih diketahui terjadi hampir di seluruh wilayah. Tercatat, kenaikan harga bawang putih di beberapa pasar tradisional bahkan mencapai 100%. “Bawang putih saja ya yang harganya agak tinggi. Coba tanya BPS (Badan Pusat Statistik) deh. (Kenaikan) saya lihatnya nasional,” ujar Direktur Jederal Perdagangan dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Tjahya Widayanti di kantor Kemenko Perekonomian, Selasa (19/3/2019). Naiknya harga bawang putih disebabkan minimnya stok, yang diakibatkan belum adanya izin impor yang diberikan oleh Kementerian Pertanian untuk tahun ini. Tjahya juga mengatakan sebanyak 90% kebutuhan bawang putih selama ini berasal dari impor.

Padahal tidak hanya bawang putih saja yang impor, tapi masih banyak bahan pangan lain yang juga impor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pemerintah Indonesia telah melakukan impor beras sebanyak 2,25 juta ton dengan nilai US$ 1,03 miliar disepanjang tahun 2018. Impor beras dilakukan secara bertahap selama 12 bulan. Selain beras juga ada jagung, daging sapi, bawang putih, gula, garam, dan yang lainnya.

Mungkinkah Pelemahan Rupiah Bisa Membuat Harga Pangan Naik ?

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira menuturkan transmisi pelemahan rupiah pada kenaikan harga barang dan jasa atau inflasi dapat terjadi melalui dua jalur. Jalur pertama, selisih kurs akan menaikan biaya impor pangan. Sedangkan jalur kedua, melalui kenaikan biaya logistik di dalam negeri. “Imbasnya, kebutuhan pokok yang di impor mulai dari beras, gula, garam, dan kedelai terancam naik. Momennya mendekati Lebaran, di mana impor barang konsumsi cenderung naik pada April hingga Juni, “ujar Bhima kepada CNNIndonesia, Kamis (26/4/2018).

Hal ini juga di sampaikan oleh Ketua Bidang Litbang Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Rizal E Halim. “Pelemahan rupiah berpotensi meningkatkan harga barang mungkin di 5 persen sampai 10 persen harapannya jangan lebih, karena jika kenaikan harga terus terjadi maka Indonesia akan semakin berpotensi krisis. Di atas 10 persen sudah bahaya, sepanjang rupiah melemah tetap di atas Rp 15.000 sampai Rp 16.000. Kalau dollar meguat, ekonomi Amerika menguat, kita terperosok, “Ucap dia.

Sungguh nasib rakyat miskin semakin tercekik. Semakin banyak orang yang merasakan kelaparan karena tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan. Alhasil, rakyat miskin hanya bisa mengandalkan hasil tanaman di pekarangan atau kebun milik perorangan, yang itu belum memenuhi kebutuhan gizi yang diperlukan tubuh. Namun, tidak dengan mereka yang memiliki financial lebih. Lonjakan harga pangan yang ada hanya membuat gerah namun masih bisa terpenuhi karena penghasilan mencukupi. 

Islam Solusi Ketahanan Pangan 

Di dalam Islam, tidak hanya masalah pangan yang diatur, melainkan semua aspek yang menyangkut kehidupan. Mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali. Kebutuhan sandang (pakaian), pangan (makanan), dan papan (hunian) harus bisa menjamin seluruh lapisan masyarakat. Sehingga peran pemimpin dan negara beserta aparaturnya sangat penting. Bukan soal berebut kekuasaan namun soal tanggung jawab dihadapan masyarakat yang dipimpinnya dan juga Allah Sang Pemilik kehidupan.

Oleh karenanya, ketahanan sebuah negara tidak hanya diukur dari kekuatan militernya, tetapi juga berbagai hal lainnya. Maka muncullah istilah “ketahanan pangan, ketahanan energi, ketahanan sarana kesehatan dan obat-obatan, ketahanan prasarana dan sarana perhubungan, ketahanan informasi dan komunikasi, dan ketahanan terhadap bencana alam dan serangan.” Itu yang kemudian di sampaikan oleh Prof. Dr. Fahmi Amhar. 

Dengan demikian, peranan negara dalam memenuhi kebutuhan pokok bagi rakyatnya harus di perhatikan. Seperti halnya saat Daulah Khilafah Islam ada, tugas mengupayakan kebutuhan primer ini wajib dimaksimalkan oleh Daulah Islam. Dengan memberikan subsidi yang besar kepada para petani agar mereka dapat memproduksi pangan, agar biaya produksi ringan, sehingga keuntungan yang mereka peroleh juga besar. Sebab, pangan adalah masalah yang strategis, dimana negara tidak boleh bergantung terhadap negara lain. Karena jika ketergantugan di bentuk maka suatu negara akan dengan sangat mudah di jajah.

Adapun cara daulah islam meningkatkan produksi pangan khususnya area pertanian diantaranya :

1. Dengan intensifikasi dan ekstensifikasi

Intensifikasi pertanian dicapai dengan meningkatkan produktivitas lahan yang sudah tersedia. Dengan memperkenalkan tekhnologi terbaru kepada para petani, membantu pengadaan mesin-mesin pertanian, benih unggul, pupuk, serta sarana produksi pertanian lainnya. Tidak hanya itu saja, Negara juga harus memberikan modal kepada siapa saja yang tidak mampu sebagai hibah (hadiah), bukan sebagai hutang. Seperti halnya Umar Bin Khathab pernah memberikan harta dari Baitul Maal (kas Negara) kepada para petani di Irak, yang dapat membantu mereka untuk menggarap tanah pertanian serta memenuhi hajat hidup mereka, tanpa meminta imbalan dari mereka. Di samping itu Negara juga harus melindungi air sebagai milik umum. Karena air beserta sarana irigasinya tidak boleh diswastanisasi.

Adapun ekstensifikasi pertanian, yang mendorong pebukaan lahan-lahan baru serta menghidupkan tanah yang mati. Lahan baru bisa berasal dari lahan hutan, lahan pasang surut, dan sebagainya sesuai dengan peraturan Negara. Sedangkan tanah mati adalah tanah yang tidak tampak ada berkas-berkas apapun, seperti pagar, tanaman, pengelolaan, maupun yang lainnya. Menghidupkan tanah mati artinya mengelola tanah atau menyiapkan tanah tersebut sehingga siap untuk ditanami. Dan setiap tanah yang mati jika di hidupkan maka akan jadi miliknya. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, “Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah miliknya.” [HR.Bukhari, Tirmidzi, dan Abu Dawud].

Selain itu, negara akan menerapkan kebijakan yang dapat mencegah proses alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Hanya daerah yang kurang subur yang diperbolehkan menjadi area perumahan dan perindustrian. Di samping itu dalam Daulah Islam jika ada tanah kemudian tidak dimanfaatkan selama jangka waktu tertentu maka tanah tersebut akan diambil dan diberikan kepada yang mampu mengelolanya. Seperti sabda Rasulullah SAW, “Siapa yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya diberikan kepada saudaranya. Apabila dia mengabaikannya, maka hendaknya tanahnya diambil” (HR.Bukhari).

2. Kebijakan di sektor industri pertanian

Negara hanya akan mendorong berkembangnya sektor riil saja, sedangkan sektor non riil yang diharamkan seperti bank riba dan pasar modal tidak akan diizinkan untuk melakukan aktivitas. Dengan kebijakan seperti ini maka masyarakat ataupun investor baik terpaksa atau secara sadar akan berinvestasi pada sektor riil baik industri, perdagangan atau pertanian. Oleh karenanya, sektor riil akan tumbuh dan berkembang secara sehat sehingga akan menggerakan roda-roda perekonomian.

Menjaga kestabilan Harga

Di dalam Daulah Islam, untuk menjaga kestabilan harga dilakukan dengan dua cara : Pertama, menghilangkan distorsi mekanisme pasar syariah yang sehat seperti penimbunan, intervensi harga,dsb. Islam tidak membenarkan penimbunan dengan menahan stok agar harganya naik. Abu umamah al-Baihaqi berkata : “Rasulullah SAW melarang penimbunan makanan" (HR al-Hakim dan al-Baihaqi). Jika  pedagang, importir atau siapapun menimbun, ia dipaksa untuk mengeluarkan barang dan memasukannya ke pasar. Jika efeknya besar, maka pelakunya juga bisa dijatuhi sanksi tambahan sesuai dengan kebijakan khalifah dengan mempertimbangkan dampak dari kejahatan yang dilakukannya. 

Di samping itu Islam tidak membenarkan adanya intervensi terhadap harga. Rasul bersabda : “Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum Muslimin untuk menaikan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak" (HR Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi).

Sungguh, Islam mengajarkan kita bagaimana harus bersikap didalam kehidupan, menjadikan aturan Allah sebagai solusi atas kegaduhan yang ada. Mengatur kehidupan mulai dari masalah kebutuhan pokok, kesehatan, pendidikan, dan lainnya. Jika aturan Pencipta ini kemudian diterapkan secara kaffah maka umat islam dan non muslim akan mendapatkan kedamaian, ketentraman, kesejahteraan, bahkan keadilan. Terbukti 13 abad lamanya islam memimpin dengan sistem khilafah didalamnya dan seorang khalifah yang mengaturnya bersama aparatur yang terpercaya, ikhlas, dan memahami islam sebagai aturan yang terbaik untuk umat, baik islam maupun non muslim.  Sehingga terciptalah peradaban yang baik. Wallahu’alam bishawab. [vm]

Posting Komentar untuk "Kedaulatan Pangan Untuk Siapa ?"

close