'PEOPLE POWER' DALAM TIMBANGAN KONSTITUSI [Catatan Hukum Pasca Pilpres 2019]
Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
(Ketua LBH PELITA UMAT)
Publik terperangah, manakala merasakan realitas politik pasca 17 April 2019 bukanlah titik kulminasi perbedaan pandangan aspirasi politik, yang diharapkan mereda dan kembali berjalan normal sebagaimana mestinya. Pasca Pilpres tanggal 17 April, publik justru dihadapkan pada dinamika politik yang baru, dimensi resonansinya lebih panas ketimbang pada masa kampanye.
Jika pada saat kampanye, polaritas politik mengerucut pada ikhtiar kampanye dan saling mengklaim dukungan simpul-simpul rakyat, melalui berbagai deklarasi dan kampanye politik, baik yang resmi maupun tak resmi, baik yang dilakukan kubu TKN Jokowi maupun kubu BPN Prabowo. Namun, pasca Pilpres tanggal 17 April 2019 polaritas itu bergeser dari dukung mendukung pilihan, saling mengunggulkan jagoan, beralih pada klaim perolehan suara dan saling klaim kemenangan.
Kubu TKN Jokowi mengklaim telah memenangi Pilpres berdasarkan hitung cepat (Quick Qount) dari sejumlah lembaga survei, yang diketahui mengambil sample sekitar 2000 - 5000 TPS dari total TPS lebih dari 800.000 an. Sementara itu, kubu BPN Prabowo dengan percaya diri mendeklarasikan kemenangan berdasarkan data tabulasi suara yang dihimpun dari formulir C1, yang jumlahnya hingga mencapai 40 % dari total formulir C1 yang berhasil dihimpun diseluruh TPS.
Secara matematis, klaim kemenangan TKN Jokowi vs BPN Prabowo ini berdiri tegak diatas basis 4000 TPS dari sample lembaga survei melawan 300.000 TPS yang tersebar diseluruh wilayah NKRI data BPN Prabowo Sandi.
Secara hukum klaim TKN Jokowi dan BPN Prabowo tidak bernilai. Sebab, secara hukum kemenangan itu wajib didasarkan penghitungan rekapitulasi data tabulasi nasional seluruh TPS yang dihimpun oleh KPU. Secara konstitusi, KPU adalah lembaga yang paling berwenang untuk mengumumkan keputusan Pilpres 2019.
Namun melihat berbagai fakta kecurangan Pilpres, baik saat sebelum proses pencoblosan sampai pada proses input data formulir C1, maka wajar jika muncul kesimpulan banyak pihak bahwa Pilpres tahun 2019 adalah Pilpres terburuk sepanjang sejarah pilihan Presiden langsung. Belum lagi masalah dugaan kecurangan ini tuntas diselesaikan, Presiden sekaligus Capres Jokowi sendiri dalam berbagai forum telah banyak bicara tentang masa depan bangsa seolah Pilpres telah dimenangi.
Framing 'pemenang pilpres' bermodal hitung cepat lembaga survei ini diproduksi secara masif, melibatkan banyak pihak, termasuk himbauan sejumlah kepala daerah agar segenap elemen anak bangsa berdamai dan menyongsong masa depan. Ini yang menambah resonansi ketegangan dan keterbelahan semakin panas.
Wajar, jika kubu BPN Prabowo merasa diperlakukan secara tidak adil, dan kemudian muncul wacana menghakimi kecurangan Pilpres ini melalui mekanisme 'People Power' secara damai. Nah, wacana people power inilah yang perlu dibahas secara konstruktif menggunakan pendekatan norma konstitusi tanpa menuduh tindakan yang mengkritik proses penyelenggaraan Pilpres yang penuh praduga sebagai tindakan yang merongrong kedaulatan negara.
Secara hukum, kecurangan Pilpres ini bisa dikoreksi dengan menempuh dua jalan. Pertama, menggunakan pendekatan UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Pendekatan pertama ini memberi opsi kepada peserta pemilu atau Pilpres yang merasa dicurangi untuk mengajukan gugatan kepada lembaga penyelesaian sengketa pemilu, yakni Mahkamah Konstitusi.
Kedua, penyelesaian secara konstitusional menggunakan sarana dan norma yang telah disediakan oleh konstitusi.
Dalam ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) menyatakan :
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
Selain diatur dalam Pasal 28 UUD 1945, hak untuk berserikat dan berkumpul juga telah dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) yang menegaskan :
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945:
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Pasal 24 ayat (1) UU HAM:
“Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.”
Jika akhirnya rakyat mengambil opsi mengadili kecurangan Pilpres dengan jalan melakukan aksi 'People Power' secara damai sebagai sarana untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat atas kecurangan Pilpres, maka cara menyampaikan aspirasi seperti ini ADALAH SAH, LEGAL DAN DIJAMIN KONSTITUSI.
Tugas aparat hukum dan negara adalah melindungi dan mengayomi rakyat, bahkan membantu proses pelaksanaan penyampaian aspirasi kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat melalui 'People Power' yang damai, bukan sebaliknya justru menebar teror dan intimidasi.
Memang benar, aparat penegak hukum dapat menghimbau kepada rakyat untuk menempuh jalan legal melalui mekanisme UU dengan mengajukan gugatan ke MK. Namun, opsi melakukan 'People Power' damai juga opsi yang dijamin konstitusi. Terserah kepada rakyat hendak mengambil opsi yang mana.
People power damai ini mirip unjuk rasa damai seperti pada gelaran Aksi Bela Islam 212. Rakyat hanya ingin mengeluh, menyampaikan keluh kesah agar negara 'mendengar aspirasi rakyat' bukan sebaliknya mendiamkan atas sejumlah kecurangan yang mengkhianati suara rakyat. Negara, tidak boleh berubah menjadi musuh rakyat dengan mengumbar statement yang bisa dipahami sebagai menebar teror dan ancaman.
Berdasarkan kajian hukum diatas, dapat disimpulkan bahwa opsi people power damai untuk mengadili kecurangan Pilpres 2019 adalah opsi yang sah, legal dan konstitusional. Selanjutnya, terserah kepada rakyat apalah akan mengambil opsi ini.
Namun semua ini berpulang kepada KPU. Jika KPU mampu mengabarkan perhitungan suara yang jujur, membuat keputusan Pilpres yang adil tanpa dikotori sejumlah praduga kecurangan, tentunya opsi People Power ini tidak perlu ditindaklanjuti dan biarkan bergulir hanya sebatas wacana. [vm].
Posting Komentar untuk "'PEOPLE POWER' DALAM TIMBANGAN KONSTITUSI [Catatan Hukum Pasca Pilpres 2019]"