Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ilusi Swasembada Bawang Putih


Oleh: Fathimah Bilqis, S.Pd

Sukacita Ramadhan yang dirasakan kamu muslim harus rela diiringi dengan melambungnya harga-harga. Kenaikan harga ini bukan hal yang aneh terjadi di negeri ini. Bahkan sudah tergolong 'musim' tahunan. Bulan ramadhan artinya kenaikan harga-harga bahan pangan. Kenaikan harga kian meningkat bahkan sampai hari raya. 

Harga daging, sayuran dan bumbu pelengkap merangkak naik menjelang bahkan setelah memasuki bulan Ramadhan. Lebih mengejutkan lagi harga bawang putih yang meroket. Tidak tanggung-tanggung kenaikan harga mencapai lebih dari  200 persen. 

Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) Selasa (7/5) mencatat, rata-rata harga bawang putih nasional mencapai Rp63.900 per kilogram (kg). DKI Jakarta, harga bawang putih sudah tercatat Rp87.500 per kg. Bahkan harga bawang putih di beberapa daerah ada yang sudah menyentuh Rp100 ribu. Kondisi ini terbilang miris lantaran harga bawang putih meroket drastis dalam sebulan terakhir. Pada 15 April 2019, rata-rata harga bawang putih nasional ada di angka Rp41.800 per kg. Bahkan, di awal April lalu, rata-rata harga bawang putih nasional sempat berada di kisaran Rp34.950 per kg. (CNNIndonesia 08-05-2019)

Momen ramadhan tidak dipungkiri menjadi sarana empuk untuk mempermainkan masyarakat. Permintaan masyarakat akan bawang putih meningkat, maka harga pun menjulang tinggi di pasaran. Begitulah kira-kira logikanya. 

Impor Meningkat, Produksi  Menurun

Pada tahun 80 hingga 90 an, Indonesia swasembada bawang putih. Bahkan pada masa jaya tersebut bawang putih disebut sebagai white diamond atau white gold alias emas putih. Sebab dapat menciptakan petani kaya.

Setelah tahun 1998 mulai berkurang kemampuan para petani lokal dalam penyedian bawang putih, diakibatkan oleh masuknya impor. Melalui kerjasama WTO (World Trade Organization) dengan China, masuklah impor bawang putih dari China merecoki pasar nusantara. 

Petani lokal bersaing dengan China, tentu kita ketahui siapa pemenangnya. Para petani bawang putih ditendang dari pasar negeri ini karena kalah bersaing. Bagaimana tidak, petani lokal dengan produksi skala kecil mampu mengalahkan perusahaan besar China dengan skala besar. 

Harga petani lokal dua kali lipat lebih mahal dari harga impor. Masyarakat tentu akan menyerbu harga bawang putih dari negeri tirai bambu tersebut. Lambat laun impor  bawang putih negeri ini kian meningkat untuk memenuhui kebutuhan bawang putih dalam negeri. Impor bawang putih dari China, Thailand dan India meramaikan pasar negeri ini. Hingga total impor saat ini mencapai 97% dari kebutuhan masyarakat. Artinya hanya 3% saja petani lokal yang bertahan dengan pertarungan yang tidak imbang ini. (beritasatu.tv 09-05-2017)

Derasnya impor membuat petani kalah saing. Petani rugi karena harga jual bawang putih impor lebih murah. Sehingga petani tidak mau menanam bawang putih lagi, Akhirnya produksi bawang putih nasional kian menurun.

Negara Lemah: Impor Deras

Stabilitas harga-harga komoditas pangan sudah menjadi kewajiban pemerintah. Berdasarkan teori dalam ilmu ekonomi, permintaan berbanding lurus dengan harga. Ketika permintaan tinggi maka harga akan tinggi, begitu sebaliknya.

Saat ini kondisi petani dalam negeri sudah tidak mampu menyediakan kebutuhan pasar akan bawang putih. Hanya sekitar 3% saja. Pada saat seperti ini siapa yang akan dinantikan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka? Jelas impor bawang putihlah jawabannya. 

Dibukanya keran impor yang semakin besar tentu berbanding terbalik dengan keinginan untuk melakukan swasembada pangan. Swasembada pangan akan berpengaruh pada kuatnya suatu negara. Sebab dia tidak akan ketergantungan pada negara lain untuk memenuhi kebutuhan negerinya. Maka mampulah dia menjadi negara yang mandiri, tanpa campur tangan negara lain.

Sebaliknya kebijakan  impor akan memperlemah kondisi suatu negeri. Sebab dia akan ketergantungan dan pada akhirnya dapat dipermainkan oleh negera pengeksport tersebut. Pada gilirannya penjajahan gaya baru pun akan dirasakan.

Kapitalisme Sebabkan Malapetaka 

Indonesia memiliki kekayaan alam yang berlimpah, termasuk luas tanah dan jenis tanah yang subur. Mengingat potensi lahan di Indonesia, swasembada pangan yang dicita-citakan negeri ini tentu bukan hal yang mustahil untuk dilakukan. Terlebih Indonesia pernah mengalaminya. Tinggal bagaimana hal tersebut bisa direalisasikan kembali. Tentu apabila pemerintah serius dalam mengurusinya.

Apabila negeri ini serius dalam menghadapi kebutuhan masyarakat akan pangan, tentu bisa dilakukan. Menurut Dwi Andreas, seorang pengamat pertanian IPB, untuk menjadikan negeri ini mampu swasembada pangan tidak begitu sulit. Hanya diperlukan adanya perlindungan bagi para petani tersebut agar terjamin harga di pasaran.

Hanya saat ini jelas, harga petani di pasaran tidak akan terjamin bisa bersaing dengan harga impor. Maka sudah dipastikan penutupan keran impor adalah suatu keniscayaan apabila negeri ini serius dalam upayanya untuk swasembada pangan.

Dalam sistem kapitalisme saat ini, di mana para penguasa hanya memikirkan rakyat yang bermodal a.k.a para kapitalis tentu tidak akan mungkin bisa menutup keran impor. Sebab salah satu amanat dalam kerjasama WTO meniscayakan adanya perdagangan bebas yang berarti keran impor terbuka bebas.

Rakyat pun harus selalu siap menjadi korban dari derasnya arus perdagangan bebas. Perusahaan-perusahaan besar siap melahap para produsen kecil dalam negeri, tak terkecuali para petani lokal. 

Khilafah Menjamin Kebutuhan Pokok

Islam memerintahkan para pemimpin untuk senantiasa terikat dalam hukum syara'. Para pemimpin diingatkan pula akan hari akhir yang mereka akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya. Keimanan menjadikan landasan kepemimpinannya. Kesejahteraan rakyat menjadi motivasinya.

Disampaikan dalam sebuah hadits,

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ. فَالإمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ
Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. (HR. Al Bukhari No.4789)

Pemimpin yang memiliki landasan keimanan dia meyakini bahwa amanahnya untuk menjaga rakyatnya. Menjaga rakyatnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan pemimpin dalam islam wajib memenuhi kebutuhan pokok individu rakyatnya yaitu sandang, pangan dan papan. Bahkan dia wajib pula untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, yaitu pendidikan, kesehatan dan keamanan.

Berdasarkan sabdanya -shallaLlâhu ’alayh wa sallam- yang mulia; dari Abu Hurairah –radhiyaLlâhu ’anhu-. bahwa Nabi Muhammad -shallaLlâhu ’alayh wa sallam- bersabda:

إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya. (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)

Dalam Kepemimpinan Islam (Khilafah) stabilitas harga pangan akan menjadi keniscayaan. Keran impor akan ditutup rapat-rapat untuk menjadikanya swasembada pangan. Sebab Allah mengharamkan orang-orang kafir untuk menguasai kaum muslim seperti firman-Nya,

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 141).

Allahu 'alam bi ash showab. [vm]

Posting Komentar untuk "Ilusi Swasembada Bawang Putih"

close