Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Satukan Kekuatan, Melawan Kolonialisasi dan Imperialisme Modern


Oleh : Fajar Kurniawan (Analis Senior PKAD)

Pada 27 April 2019 lalu telah dilakukan penandatanganan 23 Memorandum of Understanding (MoU) antara sejumlah pebisnis Indonesia dan China dalam acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) II Belt Road Initiative (BRI) di Beijing. Proyek OBOR (One Belt One Road) China atau yang kini telah direvisi menjadi proyek Belt Road Initiative (BRI) telah mendapat banyak penolakan dari sebagian masyarakat Indonesia. 

Mengapa? Inisiatif BRI dinilai banyak kalangan sebagai cara untuk mengukuhkan dominasi China dalam jaringan perdagangan global, termasuk berpotensi menjadi alat ekspansi militer mereka.  China ingin melakukan pembangunan jalur-jalur sutra baru abad 21 dengan memperkuat infrastruktur pendukung perdagangan di titik-titik dan negara-negara yang dilalui. Dinamakan jalur sutera dikarenakan terinspirasi dengan rute perdagangan dari peradaban China kuno yang menjual komoditas utama berupa sutera.

Rute perdagangan ini dibuka sebagai sebuah konsekuensi atas globalisasi yang memastikan bahwa Negara-negara membuka lebar wilayahnya dari perdagangan bebas. Pemerintah Indonesia era Jokowi tak mau ketinggalan. Pemerintah sendiri menegaskan akan mempermudah investasi dan koneksi dagang dari luar termasuk China.

Mudah sebenarnya melihat niat utama proyek OBOR yang digagas China hingga menjelajahi berbagai negeri di kawasan Asia dan Eropa. Kita bisa menengok pada ambisi besar China dalam upaya menjadikan kebangkitan ekonomi utama di dunia melebihi negara adidaya Amerika Serikat. Tentu sangat tidak mungkin China secara terang-terangan mendesak membeli wilayah Indonesia meski dengan berton-ton yuan. Caranya halus, berikan pinjaman dengan bunga tinggi untuk membantu membangun infrastruktur, maka ketika negara tak mampu melunasi, amatlah gampang bagi China untuk mengambil alih kepemilikan atas proyek infrastruktur tersebut. Inilah yang biasa kita sebut dengan debt trap yang sungguh membahayakan.

Walhasil, Indonesia menghadapi bahaya intervensi non militer yang berupa politik dan ekonomi. Imperialisme seperti inilah yang diterapkan China, AS dan sekutunya di negeri-negeri Muslim lainnya termasuk Indonesia. Alat utama yang digunakan AS untuk memuluskan imperialismenya tersebut adalah globalisasi. Sehingga bagi negara-negara Dunia Ketiga yang notabene adalah negeri-negeri Muslim, globalisasi tidak lain adalah imperialisme baru yang menjadi mesin raksasa produsen kemiskinan yang bengis dan tak kenal ampun. 

Pada dasarnya, proyek BRI yang digagas China merupakan proses menjadikan sistem ekonomi kapitalis ala China sebagai sistem dominan di dunia, dengan mengintegrasikan perekonomian lokal ke dalam tatanan perekonomian global melalui utang luar negeri yang ribawi, privatisasi, pasar bebas, dan mekanisme pasar pada semua perekomian negara-negara di dunia. Ini berarti penghapusan semua batasan dan hambatan terhadap arus perpindahan barang, modal, dan jasa yang bersandar pada kekuatan pengaruh China. BRI tiada lain hanyalah alat untuk memaksakan kekuatan China itu.

Atas nama proyek BRI, negeri-negeri Muslim dipaksa membuka keran privatisasi yang luar biasa, termasuk berpotensi menjual aset-aset publik mereka kepada swasta asing, baik dengan alasan untuk membayar utang, maupun agar kompatibel dengan aturan-aturan internasional. di Indonesia, lembaga-lembaga kreditor internasional tersebut melalui berbagai skema pinjaman luar negeri memainkan peran penting mendorong agenda privatisasi, melalui keluarnya berbagai produk regulasi seperti UU Sumber Daya Air, UU Migas, UU Penanaman Modal hingga privatisasi BUMN. Hasilnya, saat ini investasi sektor minyak dan gas bumi misalnya, sebanyak 85,4 persen dari 137 konsesi pengelolaan lapangan minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia dimiliki oleh perusahaan asing.

Ini merupakan fakta bahwa penjajahan atau imperialisme merupakan metode baku (thariqah) negara kapitalis untuk menguasai negara lain, yang berbeda hanya terbatas pada bentuk dan pola penjajahannya. Sehingga, jika kita ingin keluar dari neo-imperialisme dan krisis multidimensi, sejatinya ada wacana bahwa negeri ini membutuhkan “jalan baru”, maka sejatinya “jalan baru” itu adalah Islam. 

Islam bisa dipandang sebagai “jalan baru” bagi Indonesiakarena memang negeri ini belum pernah menempuh “jalan Islam”. Pasalnya, sistem pemerintahan/negara yang digunakan di negeri ini selama lebih dari setengah abad—jika dihitung sejak Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945—adalah jalan selain Islam, yakni sekularisme yang menggandeng Sosialisme (masa Orde Lama), Kapitalisme (masa Orde Baru) dan Liberalisme (masa Orde Reformasi). 

Adapun “jalan Islam”, yakni sistem pemerintahan/negara yang menerapkan syariah, bukan saja belum pernah diterapkan, tetapi bahkan selalu berusaha dijauhkan dari sistem kehidupan. Alasannya mengada-ada: syariah memecah-belah, mengancam pluralitas (keragaman) dan keutuhan NKRI, dll. Na‘ûdzu billâh. Padahal bukankah carut-marutnya negeri ini adalah akibat langsung dari diterapkannya sekularisme di negeri ini selama puluhan tahun sekaligus dicampakkannya hukum-hukum Allah? Mahabenar Allah SWT yang berfirman:

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta. (QS Thaha [20]: 124).

Semoga Allah SWT menyelamatkan Indonesia dan negeri Islam terbesar ini dari kehancuran.[vm]

Posting Komentar untuk "Satukan Kekuatan, Melawan Kolonialisasi dan Imperialisme Modern"

close