Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Krisis Energi dan Belt Road Iniative (BRI) China yang Unfair


Oleh : Lukman Noerochim (Stafsus FORKEI)

Pesatnya pembangunan infrastruktur di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir dibanggakan pemerintah, namun banyak pihak yang mengkhawatirkan imbas dari kebijakan tersebut. Pasalnya karena pembangunan ini tidak lepas dari bantuan dan campur tangan asing, seperti pemerintah China. Ringkasnya Indonesia sedang menghadapai ancaman kapitalisme global. Adapun problem aktual terkini adalah tantangan mega proyek Belt and Road China yang menghubungkan 70 negara Asia, Eropa, dan Afrika. 

Pemerintah Indonesia juga perlu sadar bahwa sebenarnya Cina yang lebih butuh Indonesia daripada sebaliknya. Berdasarkan peta Belt Road Iniative (BRI), jalur laut BRI memang direncanakan melewati Indonesia. Ini artinya Indonesia memiliki posisi strategis dalam rencana Cina. Dengan kata lain, rencana untuk menghidupkan jalur sutra kembali tidak akan terwujud tanpa peran Indonesia.

Jebakan utang luar negeri China jelas merugikan Indonesia. Karena mengadopsi ekonomi kapitalisme, negeri ini terjebak dalam jerat utang dan harus menjadi pasien Negara/lembaga kreditor. Negeri ini harus tunduk pada formula strategi ekonomi yang disodorkan oleh lembaga/Negara tersebut diantaranya meliputi liberalisasi impor dan pelaksanaan sumber-sumber keuangan secara bebas (liberalisasi keuangan), devaluasi mata uang, pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter dengan pembatasan kredit untuk rakyat, pengenaan tingkat suku bunga yang tinggi, penghapusan subsidi, peningkatan harga-harga public utilities (kebutuhan rakyat), peningkatan pajak, menekan tuntutan kenaikan upah, liberalisasi investasi terutama investasi asing dan privatisasi.Akibat langsung yang dirasakan rakyat negeri ini adalah penghapusan subsidi. Kebutuhan rakyat pun menjadi mahal tak terjangkau. 

Demi memenuhi amanat liberalisasi investasi, kekayaan alam (minyak dan barang tambang) diserahkan kepada pihak asing. Sesuai mandat privatisasi, BUMN-BUMN pun beralih ke tangan swasta, khususnya asing. Tampak jelas, kebijakan ekonomi negeri ini dikendalikan oleh asing. Padahal BUMN, jika dikelola dengan baik, bisa menjadi sumber pemasukan sangat besar bagi negara untuk menjalankan pembangunan, memberikan pelayanan terbaik kepada rakyat dan mensejahterakan seluruh rakyatnya. 

Namun, karena privatisasi, negara kehilangan sumber pemasukan. Beban pembiayaan negara pun dibebankan kepada rakyat. Misalnya melalui pajak dan pungutan lain yang beragam dan bertambah besar. Beban yang harus ditanggung oleh rakyat pun kian hari kian berat.

Setelah 74 tahun merdeka, perekonomian negeri ini justru makin dicengkeram asing, dan rakyatlah yang harus menanggung bebannya. Akibat kemiskinan, lebih dari jutaan anak mengalami kekurangan gizi. Mereka dipaksa menjadi bagian dari lost generation. Tingkat stres masyarakat pun sedemikian besar. Kriminalitas meningkat tajam hingga ratusan persen. Angka kekerasan dalam rumah tangga dan konflik rumah tangga yang berujung pada perceraian pun melonjak. Banyak perempuan akhirnya terjerumus dalam lembah pelacuran. Tentu masih banyak dampak buruk lainnya akibat penjajahan non-fisik yang masih mencengkeram negeri ini.

Semua itu masih diperparah oleh kualitas aparatur, pejabat dan politisi yang buruk. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pelayanan kepada publik oleh aparatur sedemikian buruk. Korupsi sedemikian mengakar; dari Sabang sampai Merauke; dari tingkat RT hingga pejabat tinggi negara, termasuk anggota DPR dari daerah hingga pusat.

Karena itu, langkah yang paling real dan rasional saat ini adalah, negara wajib melindungi rakyatnya dari agenda imperialism terselubung Negara-negara kapitalis raksasa. Pemerintah juga harus mengambil-alih kembali kepemilikan serta pengelolaan sumberdaya alam, khususnya di sektor energi, dari tangan para pemilik modal dan menghentikan kontrak-kontrak yang telah terlanjur diberikan kepada korporasi, bukan malah memprivatisasinya. Negara wajib menjadikan energi sebagai sumber kekayaan untuk mensejahterakan masyarakat dan tetap memberikan energi murah kepada rakyat.

Lebih dari itu, untuk mengakhiri penderitaan rakyat akibat dari permasalahan di atas, negara harus berani menerapkan syariah Islam—yang notabene bersumber dari Allah, Pencipta manusia dan alam ini—untuk mengatur semua aspek kehidupan masyarakat. Syariah Islam jelas telah mewajibkan agar pengelolaan dan distribusi atas sumberdaya alam yang menguasasi hajat hidup orang banyak berada di bawah kekuasaan negara demi menjamin kesejahteraan rakyatnya. Apalagi sumberdaya alam yang menguasasi hajat hidup orang banyak itu memang milik rakyat. [vm]

Posting Komentar untuk "Krisis Energi dan Belt Road Iniative (BRI) China yang Unfair"

close