#SaveIndonesia dari BRI China dan Kesalahan Fatal Tata Kelola Energi di Indonesia
Oleh : M. Firdaus (Direktur FORKEI)
Selain menghadapi problem OBOR/BRI China yang membawa skema investasi asing, utang luar negeri, dan penjajahan gaya baru, Indonesia juga menghadapi masalah berat bwrupa krisis energi. Sektor energi, khususnya BBM dan gas, yang dikuasai swasta dan asing, yang turut menambah beban rakyat adalah spirit pemerintah untuk mencabut subsidi, khususnya BBM, oleh Pemerintah. Subsidi untuk rakyat bahkan seolah kebijakan yang harus segera 'dikubur’ oleh Pemerintah di tengah terus membengkaknya potensi defisit APBN.
dalam sistem ekonomi kapitalis yang semakin liberal saat ini, subsidi memang merupakan kebijakan yang tidak populer bahkan dianggap kontraproduktif dengan semangat liberalisasi ekonomi. Indonesia yang saat ini tampak semakin bergerak ke arah ekonomi neoliberal sepertinya semakin berhasrat untuk mencabut subsidi ini. Apalagi besarnya subsidi sering dituduh sebagai penyebab terjadinya defisit APBN.
Jika ekonomi neoliberal cenderung 'mengharamkan’ subsidi, Islam justru sebaliknya. Islam memandang subsidi bukan hanya boleh, bahkan dalam kondisi tertentu wajib atas Pemerintah untuk mensubsidi rakyatnya. Subsidi dapat dianggap salah satu cara (uslûb) yang bisa dilakukan negara (Khilafah), karena termasuk pemberian harta milik negara (i'thâ’ud-dawlah) kepada individu rakyat. Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah memberikan harta dari Baitul Mal (Kas Negara) kepada para petani di Irak agar mereka dapat mengolah lahan petanian mereka. (An-Nabhani, 2004:119).
Atas dasar itu, negara bisa memberikan subsidi kepada individu rakyat yang bertindak sebagai produsen, seperti subsidi pupuk dan benih bagi petani, atau subsidi bahan baku kedelai bagi perajin tahu dan tempe, dan sebagainya. Bisa juga negara memberikan subsidi kepada individu rakyat yang bertindak sebagai konsumen seperti subsidi pangan (sembako murah), atau subsidi minyak goreng, dan sebagainya.
Subsidi boleh juga diberikan negara untuk sektor pelayanan publik (al-marafiq al-’ammah) yang dilaksanakan oleh negara misalnya: (1) jasa telekomunikasi (al-khidmat al-baridiyah) seperti telepon, pos, fax, internet; (2) jasa jasa transportasi umum (al-muwashalat al-’ammah) seperti kereta api, kapal laut, dan pesawat terbang. (Zallum, 2004: 104).
Subsidi untuk sektor energi (seperti BBM dan listrik) dapat juga diberikan negara kepada rakyat. Namun perlu dicatat, bahwa BBM dan listrik dalam Islam termasuk barang milik umum (milkiyah ‘âmmah). Dalam distribusinya kepada rakyat, Khalifah tidak terikat dengan satu cara tertentu. Khalifah dapat memberikannya secara gratis, atau menjual kepada rakyat dengan harga sesuai ongkos produksi, atau sesuai harga pasar, atau memberikan kepada rakyat dalam bentuk uang tunai sebagai keuntungan penjualannya, dan sebagainya. Di sini subsidi dapat juga diberikan agar BBM dan lisrik yang didistribusikan itu harganya semakin murah dan bahkan gratis jika memungkinkan. (Zallum, 2004: 83).
Semua subsidi yang dicontohkan di atas hukum asalnya boleh/mubah. Semua ini adalah hak Khalifah berdasarkan pertimbangan syariah sesuai dengan pendapat dan ijtihadnya demi kemaslahatan rakyat. (An-Nabhani, 2004: 224).
Namun, dalam kondisi terjadinya ketimpangan ekonomi, pemberian subsidi yang asalnya boleh/mubah ini menjadi wajib hukumnya, karena mengikuti kewajiban syariah untuk mewujudkan keseimbangan ekonomi (at-tawazun al-iqtishadi) (Thabib, 2004: 318; Syauman, t.t.: 73). Ini karena Islam telah mewajibkan beredarnya harta di antara seluruh individu dan mencegah beredarnya harta hanya pada golongan tertentu:
كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ اْلأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian. (QS al-Hasyr [59]: 7).
Nabi saw. pernah membagikan fai` Bani Nadhir (harta milik negara) hanya kepada kaum Muhajirin, tidak kepada kaum Anshar, karena Nabi saw. melihat ketimpangan ekonomi antara Muhajirin dan Anshar. (An-Nabhani, 2004: 249).
Karena itu, di tengah naiknya harga minyak mentah dunia sekarang dan lonjakan harga-harga kebutuhan pokok rakyat, subsidi bagi rakyat bukan hanya boleh/mubah, namun sudah menjadi wajib hukumnya atas Pemerintah, agar ketimpangan di masyarakat antara kaya dan miskin tidak semakin lebar.
Khusus untuk sektor pendidikan, keamanan dan kesehatan, Islam bahkan telah mewajibkan negara menyelenggarakan pelayanan ketiga sektor tersebut secara cuma-cuma bagi rakyat (Abdul Ghani, 2004).
Walhasil, sudah saatnya negeri ini melepaskan diri dari berbagai kebijakan ekonomi neoliberal—seperti privatisasi, utang luar negeri, pencabutan subsidi, dll—yang nyata-nyata merugikan rakyat banyak.
Sudah saatnya negeri Indonesia yang kaya-raya ini diatur oleh sistem ekonomi yang berbasis syariah, yang akan menjamin kemakmuran, kesejahteraan pemerataan dan keadilan bagi masyarakat. Itulah sistem ekonomi Islam; sebuah sistem yang hanya mungkin ditegakkan dalam wadah sistem politik dan pemerintahan Islam yang menerapkan syariah Islam secara total dalam kehidupan.[vm]
Posting Komentar untuk "#SaveIndonesia dari BRI China dan Kesalahan Fatal Tata Kelola Energi di Indonesia"