Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Berdamai dengan Kebathilan


Oleh : Bhakti Aditya (Islamic Social Worker)

Hari ini, stasiun dan MRT menjadi saksi bisu pemandangan haru. Dua pucuk tokoh yang berseteru di gala Pilpres 2019 telah berserikat dan 'mufakat'. "Hari ini tidak ada lagi cebong dan kampret, yang ada hanya Garuda Indonesia".

Kita menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Bahkan mungkin kita juga turut ambil bagian dari friksi antara dua kubu, 01 dan 02. Sampai-sampai sebagian kita rela disebut 'Kamvret' agar mendapat label pembela 'kebenaran' dan memastikan diri berada di kelompok yang benar. Hal tersebut juga disandarkan kepada prosa 'Semut Ibrahim' yang menegaskan sekecil apa pun kontribusi kita terhadap sesuatu (kebenaran atau kebathilan) akan menentukan positioning kita.

Semangat 'Semut Ibrahim' ini nampaknya tidak hanya diwujudkan melalui cuitan di twitter atau postingan di Facebook belaka. Aksi solidaritas digalang di berbagai wilayah Indonesia. Lebih-lebih di jantung kota Jakarta.  Kejadian 22-23 Mei 2019 yang masih menyisakan darah dan air mata, menjadi fakta yang seakan ingin ditunjukkan oleh pendukung 02, bahwa loyalitas mereka tidak main-main. Mereka juga menggelorakan 'isy kariiman aw mut syahiidan' sebagai penegasan posisi mereka.

Sebetulnya, kalau kita mau jujur, tidak ada manusia yang benar-benar ridho terhadap kebathilan. Kecuali hati mereka memang telah mati.

Sejak isu kecurangan 01 hingga saat 01 dimenangkan MK, semua mata melihat betapa terang dan jelasnya antara kebenaran dan kebathilan. Akhirnya, orang-orang waras memilih untuk tetap pada pendirian mereka. Berdiri di kubu kebenaran. Hanya kebetulan, 02 menjadi pihak yang diduga dizhalimi, sehingga dirasa senasib sepenanggungan.

Sebagai kumpulan manusia 'senasib sepenanggungan', tentu pembelaan terhadap satu sama lain begitu kuat. Meski, sejak awal sudah dirasakan, sebagian anggota 'koalisi' memang berdiri di atas kepentingan mereka.

Prabowo sendiri sebetulnya sudah sempat menenangkan dirinya dan berusaha percaya bahwa ketika dirinya mengikuti titah 'ulama yang hanif--Malahan sebagiannya sampai bertemu dan menitipkan amanah kepadanya--, dirinya akan meraih apa yang diharapkan. Pada sebuah kontestasi, tentu kemenangan lah yang menjadi tujuan utama siapa pun yang mengikuti kontes tersebut. Tak luput juga Prabowo.

Setelah seluruh perjuangan ditunaikan bersama. Ternyata satu persatu mereka yang memiliki kepentingan pribadi mulai frustasi. Akhirnya mereka pun putar haluan. Fikirnya, daripada tidak mendapatkan apa-apa. Hingga tibalah saatnya Prabowo berdiri 'sendiri' menentukan nasibnya.

Sempat ibu-ibu berdemo agar Prabowo menolak tawaran rekonsiliasi dari kubu Jokowi. Sayangnya, dijawab kecut oleh Prabowo hari ini (14/7).

Perkiraan saya, Prabowo terjebak dalam dikotomi Cebong dan Kampret. Padahal, ini pertarungan antara haq dan bathil. Antara kebenaran dan kebathilan.

Jika anda membaca judul tulisan ini, dan membaca tulisan saya hingga paragraf terakhir ini, saya sebetulnya sudah tidak perlu lagi menjelaskan tentang "Berdamai dengan Kebathilan". Anda sudah tau jawaban anda sendiri. Selamat bagi anda yang tetap mempertahankan akal sehat anda. Syukur-syukur ditambah dengan pemahaman bahwa satu-satunya jalan perubahan hanyalah Islam Kaaffah yang diterapkan oleh Khalifah dalam sistem Khilafah.

Bergantung pada manusia memang dipastikan hanya 'bikin kecewa'. Oh ini paragraf terakhirnya. Maafkan saya.[vm]

Posting Komentar untuk "Berdamai dengan Kebathilan"

close