Meninggalkan Parpol ‘Semprul’
Oleh : Lukman Noerochim, P.hD.
Sistem politik demokrasi tampak telanjang kerusakannya. Petahana dan oposisi kadang cair, kadang panas, tergantung selera dan kepentingan. Jika situasi deadlock, kadang bisa selesai dengan negosiasi, rekonsiliasi, bagi-bagi jatah kursi, sehingga seolah-olah situasi baik-baik saja.
Pemerintahan tampak seperti korporasi, ketika para politikus dan para pengusaha bekerja sama berebut jabatan dan kekuasaan, bisa dikatakan para politikus adalah pengelola bisnis ‘demokrasi’ sedangkan para pengusaha adalah para pemilik modalnya, lalu terjadilah politik balik modal, akhirnya korupsi merajalela demi bayar ongkos utang kampanye.
Ditambah lagi, partai-partai yang diklaim pro rakyat tersebut, tidak begitu menonjol perjuangannya untuk membela kepentingan rakyat yang mayoritas adalah umat Islam. Sementara masih pelan penentangan yang terbuka dan konsisten terhadap kebijakan-kebijakan zolim yang mensengsarakan rakyat seperti kenaikan BBM dan privatisasi kesehatan dan pendidikan. Partai-partai turut bertanggung jawab – sedikit atau banyak- dengan lahirnya UU yang pro pemilik modal dan anti rakyat seperti UU Migas, UU Kelistrikan, UU Penanaman Modal dan lainnya.
Semua ini seharusnya menjadi masukan berharga. Partai bukanlah sekedar kepentingan pragmatis dari elit-elit partai untuk meraih suara dan mempertahankan posisi kekuasaannya. Bukan pula persoalan laku atau tidak laku, sekedar menang atau kalah.
Khususnya keberadaan partai Islam adalah tuntuan berdasarkan aqidah Islam dan kewajiban syariah Islam. Karena itu butuh kesabaran meskipun belum menang, perjuangan harus tetap berlanjut tanpa menggadaikan ideologi. Logika pasar tidak boleh dianut partai Islam.
Kita harus mengakui, bahwa partai-partai yang berkuasa lebih bercorak sekular. Konsekuensinya, aturan yang berlaku adalah sisa peninggalan kolonial Belanda. Juga, Ekonomi yang kapitalistik, yakni menjadikan kesenjangan yang sangat antara si kaya dan si miskin, begitupun kekayaan alam negeri ini di kuasai asing yang semuanya dilegalkan oleh partai-partai tadi, lewat anggotanya yang ada di parlemen.
Berikutnya, partai-partai Islam yang ada tidak memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas dan tegas. Contohnya, ketika mensikapi fenomena kepala negara perempuan hanya berkomentar, “Ini masalah fikih, semua terserah rakyat.” Pada saat didesak pendapatnya tentang Formalisasi Syariah Islam, menjawab, “Syariah Islam itu kan keadilan, kebebasan dan kesetaraan.” Kalau demikian jawabannya, maka umat akan menilai bahwa, partai-partai Islam tersebut, tidak ada bedanya dengan partai-partai pada umumnya.
Selanjutnya partai-partai secara umum hanya diperuntukan bagi pemenangan pemilu. Konsekuensinya kegiatannya terkait persoalan rakyat hanya digiatkan menjelang pemilu saja. Disamping tidak memiliki metode yang jelas. Sehingga terjadi koalisi yang kurang sehat, seperti koalisi partai Islam dengan partai nasionalis anti Islam dan bahkan di daerah tertentu ada partai Islam yang berkoalisi dengan partai non-Islam. Aneh.
Terakhir, tidak adanya ikatan yang kuat diantara para anggotanya. Ikatan yang ada hanya kepentingan, konsekuensinya kita lihat banyaknya partai-partai Islam yang berpecah belah dan tidak kompak. Maka harus diakui, bangsa ini mengalami krisis figur, bahkan termasuk perilaku sebagian anggota/ pengurus partai yang tidak mencerminkan partai Islam sesungguhnya. Seperti, aliran dana untuk DPR termasuk yang tidak jelas asalnya, juga diterima oleh sebagian partai Islam. Padahal kita semua tahu hukum risywah (suap) adalah haram.
Inilah visualisasi partai-partai di era demokrasi, termasuk partai Islam pro parlemen. Karenanya, siapapun harus belajar dari kesalahan-kesalahan tersebut.[vm]
Posting Komentar untuk "Meninggalkan Parpol ‘Semprul’"