Open Mind Terhadap Khilafah
Oleh : Achmad Fathoni
(Direktur el-Harokah Research Center)
Sebagaimana diberitakan di laman tempo.co pada Rabu (19/6/2019) bahwa Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyebut saat ini ideologi Pancasila semakin tergerus. Salah satu penyebabnya, kata dia, masyarakat yang tertarik dengan konsep khilafah. Lebih lanjut menurut Ryamizard, dari penelitian yang dilakukan Kementerian Pertahanan, Pancasila diragukan oleh berbagai kalangan masyarakat. Di tingkat mahasiswa, ada 23,4 persen yang setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam atau khilafah. Kemudian 23,3 persen pelajar SMA juga setuju khilafah. Sedangkan di kalangan pegawai swasta, ada 18,1 persen pegawai yang tak setuju dengan ideologi Pancasila. Di kalangan Pegawai Negeri Sispil ada 19,4 persen. Bahkan di jajaran pegawai BUMN, Kemenhan menemukan 9,1 persen yang tidak setuju dengan ideologi negara. “Kurang lebih 3 persen, ada TNI terpengaruh dan tak setuju Pancasila. Ini memprihatinkan sekali, “kata Ryamizard
(https://nasional.tempo.co/read/1216436/menteri-pertahanan-paparkan-data-3-persen-tni-dukung-khilafah).
Pernyataan tersebut sangat tendensius, sangat provokatif, dan ditengarai terpapar paham Islam phobia (anti Islam). Karena hal itu sama saja dengan menuduh seakan-akan penyebab persoalan yang dihadapi bangsa ini adalah khilafah. Tanpa mau menilai secara objektif dan pikiran jernih apa dan bagaimana khilafah itu. Serta tanpa melihat mengapa sebagian masyarakat sangat “gandrung” dengan khilafah dan “emoh” dengan yang lain. Tuduhan itu bak panggang jauh dari api dengan konsep dan realitas khilafah yang sebenarnya. Tuduhan yang jauh dari sikap objektif tersebut, justru menunjukkan kekalahan intelektual para pendengki dan penentang khilafah. Pernyataan yang sangat tendensius tersebut, yang sangat kental dengan semangat Islam phobia (anti Islam), tentu tidak layak terucap dari lisan penguasa negeri dengan jumlah populasi muslim terbesar di dunia saat ini. Oleh karenanya, pernyataan tersebut harus ditolak oleh publik, terutama kaum muslimin, dengan argumentasi sebagai berikut.
Pertama, secara historis Khilafah (di masa lalu) sangat berjasa kepada negeri dan bangsa ini. Sekitar September 975 H / 1567 M, Laksamana Turki di Suez, Kurtoglu Hizir Reis, diperintahkan berlayar menuju Aceh dengan sejumlah ahli senapan api, tentara, dan artileri. Pasukan ini diperintahkan berada di Aceh selama masih dibutuhkan Sultan. Namun dalam perjalanan, armada besar ini hanya sebagian yang sampai ke Aceh karena dialihkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman yang berakhir tahun 979 H / 1571. Menurut catatan sejarah, pasukan Khilafah Turki Utsmani yang tiba di Aceh pada tahun 1566 – 1577 M sebanyak 500 orang tentara, termasuk ahli-ahli senjata api, penembak, dan ahli-ahli teknik. Dengan bantuan ini, Aceh menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1568 M (Sumber: Marwati Djuned Pusponegoro, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Jakarta: Balai Pustaka, 1984 hal. 54).
Khilafah Turki Utsmani bersifat pro-aktif dalam memberikan perhatian kepada penderitaan kaum muslimin di Indonesia dengan cara membuka perwakilan pemerintahannya (Konsulat) di Batavia pada akhir abad ke-19. Kepada kaum muslimin yang ada di Batavia para konsul Turki berjanji akan memperjuangkan hak-hak orang-orang Arab sederajat dengan orang-orang Eropa. Selain itu, Turki juga akan mengusahakan agar seluruh kaum Muslimin di Hindia Belanda terbebas dari penindasan Belanda (Sumber: Snouck Hurgronje, 1994, Nasehat-nasehat C. Snouck Hurgronje semasa kepegawaiannya kepada pemerintah Hindia Belanda; 1889-1936, Jakarta: INIS, hal. 1631).
Lebih dari itu, Khilafah Utsmani bahkan pernah berjasa dalam membantu rakyat nusantara saat terjadi bencana banjir di Batavia, ketika masa penjajahan Belanda. Tepatnya pada tahun 1916, Sultan Muhammad V mengirim bantuan 25.000 Kurush koin emas, yang senilai dengan 91.500 US Dollar atau sekitar Rp. 1.189.500.000 (atau sekitar 1,2 triliun). Tentu saja pemberian bantuan itu didorong oleh semangat membantu meringankan saudara sesama Muslim yang mengalami musibah. Arsip pengiriman bantuan milik Khilafah Utsmani ini masih tersimpan rapi sampai sekarang di Turki. Inilah bukti bahwa rakyat Nusantara atau Indonesia sangat berhutang jasa dan kebaikan dari Khilafah Islamiyah yang waktu itu direpresentasikan oleh Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki.
Kedua, Khilafah yang dapat mewujudkan persatuan yang hakiki. Dengan adanya Khilafah itu persatuan yang hakiki akan bisa terwujud, bisa menyatukan berbagai suku dan bangsa dalam satu naungan. Bahkan dua per tiga dunia pernah dinaungi khilafah Islam dalam kurun waktu berabad-abad lamanya. Keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian terwujud dengan sebenar-benarnya. Pemeluk agama lain tetap boleh hidup secara damai tanpa diusik keyakinan agamanya, kerahmatan Islam telah terwujud secara nyata bagi seluruh umat manusia. Dan yang pasti itu bukanlah hanya isapan jempol, tetapi Khilafah itu pernah eksis di percaturan politik dunia selama kurun waktu lebih dari 13 abad. Dan hal itu juga diakui oleh banyak para sejarawan Barat. Bahkan menurut banyak sejarawan bahwa Barat sangat berhutang jasa dalam kemajuan peradaban kepada negara khilafah. Sebut saja Montgomery Watt dalam bukunya The Influence of Islam on Medieval Europe (1994) menyatakan, “Peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri, tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi motornya, kondisi Barat tidak akan ada artinya”. Jika demikian faktanya, lalu apa yang ditakutkan dengan Khilafah?.
Justru dengan penerapan ideologi Kapitalisme-Sekuler-Demokrasi, telah dan sedang menjadikan negeri dan bangsa ini terancam dis-integrasi. Sebut saja, Provinsi Timor-Timur pada tahun 1999 lepas dari pangkuan Indonesia, karena konspirasi negara-negara penjajah. Provinsi Aceh senantiasa bergolak ingin memisahkan diri dari Indonesia. Apalagi Papua, senantiasa diprovokasi oleh kekuatan negara-negara penjajah Barat untuk lepas dari Indonesia. Jika demikian faktanya, pertanyaan besarnya lalu siapakah sesungguhnya yang memecah belah dan membahayakan negeri ini? Ideologi Kapitalisme-Sekuler-Demokrasi yang diterapkan negeri ini ataukah Khilafah yang telah berjasa membantu memerdekakan negeri ini dari penjajahan negara-negara Barat?
Ketiga, sikap open mind (pemikiran terbuka) dan Possitive Thingking (berpikir positif) terhadap khilafah. Sebagaimana adagium: “Di dunia ini tidak ada yang berubah, kecuali perubahan itu sendiri”. Tentu semua pihak sepakat bahwa negeri ini dalam sejarahnya senantiasa mengalami perubahan. Termasuk di dalamnya perubahan sistem politik dan ketatanegaraan. Di negeri ini pernah mengalami beberapa kali perubahan Undang-Undang Dasar, mulai dari UUD 1945, UUD Sementara Tahun 1950, UUD RIS (Republik Indonesia Serikat), UUD 1945 Amandemen (bahkan beberapa kali terjadi amendemen). Juga pernah terjadi perubahan sistem pemerintahan, baik sistem presidensial maupun parlementer. Termasuk juga pernah mengalami perubahan bentuk negara, baik negara kesatuan juga negara serikat. Bahkan dua ideologi dunia pernah mempengaruhi corak pemerintahan di negeri ini, dari corak kapitalisme (di era orde baru), corak sosialisme (di era orde lama), dan juga corak Kapitalis-Liberal (di era reformasi). Walhasil perubahan itu senantisa mewarnai perjalanan sejarah negeri ini.
Memang benar, dalam satu atau dua dekade terakhir, muncul wacana yang berkembang yaitu sistem Islam atau sitem Khilafah, yang disuarakan oleh tokoh-tokoh Islam dan sebagian ormas Islam. Dan memang dalam sejarahnya sistem itu pernah berjaya di seantero dunia selama kurun waktu yang sangat panjang, lebih dari 13 abad lamanya. Dan memang secara konseptual, sistem Islam (khilafah) itu merupakan bagian penting yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam, terutama dalam bagian fiqh siyasah yang telah banyak dijelaskan secara detail oleh para ulama’ salaf (terdahulu) maupun ulama’ khalaf (kontemporer) dalam banyak kitab-kitab. Dan secara faktual-historis, sistem khilafah pernah diterapkan secara nyata dalam percaturan politik dunia. Dengan demikian, secara objektif tidak ada yang perlu dipersoalkan dan dikhawatirkan jika sistem khilafah itu dikaji dan didiskusikan oleh semua pihak, sebagai sebuah konsep/gagasan alternatif yang lebih baik. Hal itu sebagai upaya menjawab kebuntuan solusi akibat penerapan Sistem Kapitalisme-Demokrasi yang telah menyebabkan sengkarut persoalan bangsa ini.
Dengan demikian, sudah selaknya semua pihak bersikap open mind, mengedepankan sikap objektif dan intelektual dalam meyikapi ide khilafah. Serta menjauhkan sikap curiga, negative thingking, dan prejudis terhadap gagasan khilafah. Terlepas adanya sikap pro dan kontra, gagasan khilafah itu juga sudah didiskusikan oleh para pakar-pakar politik dunia. Mislanya, lembaga think tank Amerika Serikat, The National Intelligence Council (NIC) pada Desember 2004 memprediksi bahwa tahun 2020 akan muncul ‘New Chaliphate’ (Khilafah Baru) di pentas dunia. Laporan itu dipublikasikan setebal 123 halaman dengan judul “Mapping The Global Future”. Semoga dengan sikap open mind terhadap khilafah akan dapat membuka cakrawala pandangan yang tepat tentang ide Khilafah. Wallahu a’lam.[vm]
Posting Komentar untuk "Open Mind Terhadap Khilafah "