Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Negeri Serba Pajak


Oleh : Gayuh Rahayu Utami
(Anggota Komunitas Penulis Muslimah Peduli Umat Kota Malang)

Indonesia, negeri kaya raya dengan sumber daya alamnya, mulai emas, minyak, batubara, nikel,  kekayaan lautan yang melimpah ruah, sawah yang terhampar, hutan yang terbentang luas dan kekayaan alam lainnya. Tidak salah jika Indonesia berjuluk zamrud khatulistiwa. Namun sungguh ironis negeri yang kaya dengan sumber daya alam ini tidak mampu mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Banyak rakyat yanh masih hidup di bawah garis kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk miskin Indonesia pada Maret 2019 sebesar 25,14 juta penduduk. Dari jumlah tersebut, persentase penduduk miskin di desa mencapai 12,85 persen sementara kota sebesar 6,89 persen. Sementara jika dilihat dari sebaran provinsi, Papua menduduki provinsi termiskin di Indonesia dengan tingkat kemiskinan 27,53 persen dan DKI Jakarta menjadi provinsi dengan tingkat kemiskinan terendah yakni 3,47 persen. (www.cnnIndonesia.com) 

Kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah ternyata masih belum mampu membuat masyarakat Indonesia hidup sejahtera. Beban mayarakat semakin berat, apalagi hari ini rakyat di jerat dengan segala macam pajak. Terlihat dengan kasat mata bahwasanya banyak sektor yang dikenai pajak, antara lain pusat perbelanjaan, pajak kendaraan bermotor, rumah pribadi, pajak usaha mikro, toko online, bahkan kantong plastik pun juga dikenai pajak. Hampir semua lapisan masyarakat baik dari masyarakat menengah ke bawah sampai menengah ke atas dikenai pajak yang terkesan memalak rakyat. Rasanya semua elemen barang tidak pernah terlewatkan oleh pajak yang mencekik rakyat dan menyengsarakan rakyat.

Meskipun kantong plastik bisa dikatakan barang sepele, juga tidak terlewatkan oleh pajak. Menteri keuangan Sri Mulyani melakukan pendalaman tentang penerapan bea cukai plastik yang tidak ramah lingkungan. Sebagai informasi, pemerintah mengusulkan tarif cukai plastik sebesar Rp 30.000 per kilogram dan Rp 200 per lembar. Setelah dikenakan cukai maka nantinya harga jual kantong plastic menjadi Rp 450 – Rp 500 per lembar. (CNBC Indonesia, 2 Juli 2019 ). Menurut ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia ( YLKI) mengatakan cukai plastic tidak bisa diterapkan sebagai instrument untuk menggali pendapatan Negara. “Jangan jadikan cukai plastic untuk menambal kegagalan pemerintah dalam menggali pendapatan di sektor pajak. Kata Tulus. Lebih lanjut, penerapan cukai plastik hanyalah kebijakan transisi dimana nantinya produsen plastic wajib memproduksi plastik yang ramah lingkungan. Terakhir, dana yang diperoleh dari cukai plastic 10% nya harus dikembalikan untuk upaya preventif dan promotif seperti sosialisasi pengurangan konsumsi plastic kepada masyarakat.(bisnis.com, 7 Juli 2019).

Jika kita telaah bersama kondisi perpajakan di negeri ini  adalah buah dari sistem kalipitalis yang berasal dari Barat. Dalam sistem kapitalis pajak merupakan salah satu sektor utama penopang ekonomi negara. Maka tidak heran negeri ini memberlakukan pajak ke dalam banyak sektor. Setidaknya beberapa jenis pajak di negeri ini adalah : 

1. Pajak-pajak Pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi :
Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM), Bea Meterai, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

2. Pajak-pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain meliputi :

Pajak Propinsi
  • Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
  • Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
  • Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor;
  • Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.

Pajak Kabupaten/Kota
  • Pajak Hotel;
  • Pajak Restoran;
  • Pajak Hiburan;
  • Pajak Reklame;
  • Pajak Penerangan Jalan;
  • Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C;
  • Pajak Parkir.

Pada era kapitalis seperti yang kita rasakan hari ini, pajak dikenakan pada semua sektor, tanpa melihat mana kepemilikan individu, dampak lingkungan yang akan terjadi,  dan kepemilikan umum serta tidak  memandang dari sudut pandang halal haram. Selain itu tidak memperhatikan kategori masyarakat mana yang wajib dikenai pajak. Semuanya main tabrak saja. Inilah kebobrokan sistem kapitalis yang menjadikan pajak sebagai penopang pendapatan negara. 

Berbeda halnya dengan sistem Islam. Di dalam sistem Islam pajak atau lebih dikenal dengan sebutan dharibah tidak akan dikenakan kepada masyarakat jika baitul mall masih mencukupi, dan hanya akan ditarik jika baitul mall membutuhkan dana untuk membiayai pengeluaran yang pengeluaran tersebut tidak bisa ditunda maka di diperbolehkan memungut dhoribah kepada warganya. Sedangkan sistem pajak dalam Islam dikenakan pada orang yang hidupnya sudah berkecukupan serta memperhatikan kepemilikan umum dan kepemilikan individu, pajak juga tidak diterapkan secara terus menerus, pajak hanya akan diambil bila negara memerlukan dana pemasukan untuk membiayai pengeluan negara. Pajak juga bukan penopang perekonomian dalam negara yang menerapkan sistem Islam karena dalam Islam sumber pendapatan negara diperoleh dari harta rampasan perang (ghanimah), harta kekayaan yang diambil musuh tanpa melakukan peperangan (fa’i), zakat, kharaj, dan jizyah. Sistem yang dicontohkan Rasulullah sampai Khulfaur Rasyidin inilah bisa membawa kita kepada kesejahteraan dan keberkahan.

Sebagai orang yang beriman dan mau berpikir secara mustanir (cemerlang) sudah selayaknya kita memilih aturan dari Allah karena aturan dari Allah yang akan membawa keberkahan dan kemuliaam umat. Dicabut keberkahan di muka bumi seperti yang kita rasakan saat ini karena kita tidak menerapkan hukum Allah. Untuk itu marilah kita bersungguh-sungguh agar hukum Allah diterapkan dalam institusi negara sehingga rahmatan lil alamin bisa terwujud. [vm]

Posting Komentar untuk "Negeri Serba Pajak"

close